https://media.licdn.com |
Tapi di titik lain, terdapat pemandangan berbeda. Anak
datang ke sekolah masih dalam pelukan. Matanya sembab seperti habis menangis. Seperti
tidak siap datang ke sekolah. Sambutan guru-guru belum direspon baik karena anak yang belum siap. Ibunya yang
mengantar terlihat gelisah karena harus segera berangkat kerja. Khawatir kalau-kalau
telat absen sidik jari.
Selang beberapa saat, ada pula anak yang diantar oleh
ayah bundanya. Anak tersebut menangis, tidak mau lepas dari pegangan orang tua.
Sama seperti orang tua yang lain, kedua orang tua tersebut juga seperti sedang
dikejar waktu harus segera berangkat kerja. Dan rata-rata mereka hadir pada
waktu mepet, dalam kondisi ‘crowded,’
bahkan sampai telat.
Orang tua yang sudah terdesak, akhirnya mengambil
jalan pintas. Dengan angkuhnya, melepas paksa kemudian segera meninggalkan
anaknya di sekolah. Dan itu dilakukan tanpa mengucapkan kata-kata pamitan
kepada anaknya. Bahkan ada yang diam-diam, ‘melarikan diri’ saat anaknya tidak
melihatnya. Namun siasat itu tidak berhasil karena larinya sang ibu kalah cepat
dengan tatapan mata sang anak yang mendapati ibunya sudah tidak di tempat. Dalam
hitungan detik anak tersebut langsung mengejar ibunya diiringi dengan tangisan
yang memekik.
Apa yang menarik di sini? Sama sekali tidak ada yang
menarik, hehe…. Yang justru ada adalah
tantangan. Ini menantang buat kita sebagai guru dan orang tua.
Tidak ada yang salah dengan anak. Justru sebaliknya, saat
anak bermasalah, yang pertama kali dievaluasi itu orang tuanya. Sebenarnya
kalau kita tarik ke belakang, ada begitu banyak masalah yang melingkari orang
tua kenapa anaknya bisa sampai tidak siap bersekolah. Setiap hari memberikan
respon yang beragam mulai dari menangis, tantrum, tidak mau lepas dari
pengawasan orang tua.
Pertama adalah karena
kurangnya menanamkan trust
(kepercayaan) kepada anak. Trust adalah sikap dasar psikososial yang perlu
ditanamkan sedini mungkin terhadap anak. Proses penanaman trust bahkan harus
sudah dimulai sejak anak dalam kandungan, sampai anak usia satu tahun. Trust (percaya) akan muncul oleh adanya pengalaman yang
terus-menerus, berkesinambungan dalam pemenuhan kebutuhan dasar oleh orang tuanya. Apabila anak terpenuhi kebutuhan
dasarnya dengan memberikan perhatian, kasih sayang, maka anak akan berpendapat
bahwa dunianya dapat dipercaya atau diandalkan. Rasa percaya diri anak tumbuh,
anak lekas menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Sebaliknya apabila
pengasuhan yang diberikan tidak memenuhi kebutuhan dasar yang diperlukan, tidak
konsisten atau sifatnya negatif, anak akan cemas dan mencurigai lingkungannya.
Yang kedua adalah
perilaku berbahasa. Pada kasus ini, saat anaknya ‘bermasalah’ ketika mau
berangkat sekolah. Ayah atau ibunya yang mengantar biasanya diam. Tidak mengeluarkan
kata-kata. Kalau pun bicara, yang terucapkan kecenderungannya negative, memarahi
anak, bahkan sampai melakukan intervensi fisik. Diam adalah tahapan perilaku
berbahasa paling rendah. Ini disebabkan karena ketidakmampuannya mengendalikan
diri. Ketidakmampuan mengungkap-kan kata-kata. Hasilnya bukannya menyelesaikan,
tapi justru malah memformalinkan masalah yang dialami anak sekaligus dirinya.
mas perlu dilengkapi juga dengan data viewer. itu minimal bikin semangat untuk ngiis blog. manfaat lainnya, siapa tahu menarik pemasang iklan. Kalau di blog saya meski belum ada iklannya, terkadang ada penulis atau penerbit yang ngasih buku buat diriview.
BalasHapusOke mas. Thanks masukannya. Nanti saya otak atik lagi.
BalasHapus