Selasa, Juli 12, 2016

Sekolah Konsepsional dan Sekolah Transaksional


Tanggal 18 Juli merupakan awal dimulainya Tahun Pelajaran 2016-2017. Sebagian orang tua sudah mulai mendaftarkan anak-anaknya di sekolah. Saya kira belum telat bagi kita untuk mengetahui seberapa berkualitas sekolah yang dipilih. Hal yang harus dicermati adalah apakah sekolah yang dipilih merupakan sekolah konsepsional atau malah sekolah transaksional? Mana yang harus dipilih? Ada baiknya mari kita uraikan keduanya.

Sekolah Konsepsional

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesa Konsepsional memiliki makna berdasarkan konsepsi, pikiran, dan cita-cita. Sekolah konsepsional bisa diartikan sebagai sekolah yang berdiri atas dasar konsep, ide dan cita-cita. Bisa pula diartikan yang memiliki konsep jelas, terukur, dalam kurun waktu tertentu, dan dengan segala indikatornya. Sekolah model ini punya arah yang jelas, lebih tepatnya punya visi.
Inilah sekolah yang layak dipilih. Sekolah yang menawarkan konsep untuk mematangkan muridnya secara menyeluruh. Tidak hanya kecerdasan kognitif, tapi juga memberikan porsi yang sama terhadap afektif dan psikomotornya. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak-anak untuk mengasah semua potensi kecerdasannya.

Inilah sekolah yang pantas dipilih. Sekolah yang memberikan kesempatan guru-gurunya untuk mengikuti jenjang pelatihan sesuai kebutuhan yang akan diterapkan dalam pembelajaran. Sekolah yang merancang semua kegiatan sebagai media belajar, sekolah yang guru-gurunya memanfaatkan menit-menit pertama kedatangan sekolah sampai menit-menit terakhir saat pulang sekolah sebagai pembelajaran, bahkan termasuk jam istirahat sekalipun. Sekolah yang para arsitek peradabannya memiliki mindset bahwa mendidik adalah pekerjaan mulia, yang bisa mencetak tiket ke syurga.  

Inilah sekolah yang semestinya menjadi pilihan. Sekolah yang lebih menitikberatkan pada kompetensi setiap muridnya dan tidak menjadikan kompetisi sebagai tujuan utamanya. Sekolah yang lebih mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Sekolah yang tidak hanya mencetak anak didiknya menjadi pinter, tapi juga berkarakter.

Satu contoh gambaran sekolah konsepsional misalnya, kelas 1-3 targetnya adalah bisa membaca, menulis, dan menghitung. Jadi yang ditekankan dalam pembelajaran kelas bawah itu ya didesain sedemikian rupa agar anak-anak bisa menguasai konsep calistung. Muatan kognitif lain diajarkan seperlunya, sebutuhnya, tidak menjadi fokus, meski dari kurikulum pemerintah sekalipun. Selama ini yang terjadi anak-anak kelas bawah tetap disertakan dalam ujian tertulis, dimana saat mengerjakan gurunya teriak-teriak membacakan soal. 

Contoh lain yang bisa disebut sebagai sekolah konsepsional, sekolah yang menerapkan konsep begitu lulus sekolah dasar, murid-murid muridnya bisa membaca Al Qur’an dengan tartil sesuai kaidah tajwid dan makhraj yang benar, mantap hafalan bacaan shalatnya, prakteknya benar. Maka dalam kurikulum pembelajaran didesain sedemikian rupa untuk bisa mencapai target-target tersebut. Sekolah mestinya berani memanggil orang tua yang anaknya belum shalat lima waktu, mengingat pendidikan itu harus sinergi antara pendidikan di sekolah dan juga di rumah.

Contoh lagi, sekolah menargetkan siswanya hafal Juz 30 Al Qur’an begitu lulus sekolah dasar, dengan alokasi pembelajaran 10 jam perminggu, misalnya. Maka, apapun kurikulumnya pertahankan jam awal yang sudah terkonsep. Jangan sekali-kali diubah, dengan cara mengurangi karena penyesuaian kurikulum baru.

Contoh paling real sekolah konsepsional bisa kita temukan di pendidikan anak usia dini. Lebih spesifik lagi yang menerapkan metode sentra seperti sekolah Batutis di Pekayon, Bekasi. Yudhistira ANM Massardi (2012:327) menyatakan, dalam metode sentra, setiap hari anak bermain di sentra yang berbeda, agar karakter, budi pekerti, dan kecerdasan jamaknya terbangun secara serentak dan seimbang.

Di Kabupaten Tegal sendiri sekolah yang menerapkan metode sentra adalah PAUD Buana Kids. PAUD ini menjadikan Sekolah Batutis di Pekayon, Bekasi sebagai mentornya. Bahkan, tahun pelajaran baru ini merintis SD Al Biruni yang juga menerapkan konsep sentra, dimana kelasnya hanya terdiri maksimalnya 12 siswa.

Sekolah Transaksional

Sekolah harus bisa meyakinkan bahwa semua kegiatan yang dilaksanakan adalah sesuai dengan konsep yang diyakini benar dan sudah teruji kualitasnya. Jika ada sekolah yang dengan mudah mengubah konsep yang telah dimatangkan itu sama artinya dengan sekolah transaksional. Menerima masukan dari orang tua terkait konsep pendidikan kemudian langsung bergerak menjalankan masukan itu, ini ciri sekolah transaksional. Setiap masukan tetap ditampung, dan bisa menjadi bahan masukan saat raker menjelang tahun pelajaran baru, sekaligus sebagai bahan evaluasi.

Sadar atau tidak, kini banyak ditemukan sekolah yang semula konsepsional berubah menjadi transaksional. Seiring dengan penerimaan masyarakat terhadap sekolah tersebut, menjadikan banyak permintaan untuk menambah jumlah rombongan belajar (kelas). Parahnya lagi banyak orang tua semakin irasional. Berani bayar mahal untuk biaya pendidikan yang ditawarkan. Hasilnya jumlah siswa bertambah banyak, sementara dari mutu dan kualitas mengalami pergeseran, karena konsentrasi guru yang terbagi.

Sekolah tersebut menjadi semakin jauh dari konsepsional yang dulu sempat dicanangkan diawal. Semua kegiatan diikuti dengan niatan hanya ingin terlihat eksis padahal tidak semua kegiatan dibutuhkan. 

Saya meyakini, sekolah-sekolah yang sudah melenceng dari konsepsinya, sebenarnya menyadari bahwa sekolahnya sudah terjebak pada ranah transaksional. Mereka paham benar, bagaimana model sekolah konsepsional itu, tapi tiadanya kesamaan visi di kalangan pengelola termasuk para gurunya sekalipun membuat arah perubahan untuk kembali kepada sekolah konsepsional menjadi sangat lambat, terhambat, bahkan tersendat.

*) Artikel ini dimuat Radar Tegal, 12 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN