Tanggal 18 Juli merupakan awal dimulainya Tahun Pelajaran 2016-2017. Sebagian orang tua sudah mulai mendaftarkan anak-anaknya di sekolah. Saya kira belum telat bagi kita untuk mengetahui seberapa berkualitas sekolah yang dipilih. Hal yang harus dicermati adalah apakah sekolah yang dipilih merupakan sekolah konsepsional atau malah sekolah transaksional? Mana yang harus dipilih? Ada baiknya mari kita uraikan keduanya.
Sekolah Konsepsional
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesa Konsepsional memiliki makna
berdasarkan konsepsi, pikiran, dan
cita-cita. Sekolah konsepsional bisa diartikan sebagai sekolah yang berdiri
atas dasar konsep, ide dan cita-cita. Bisa pula diartikan yang memiliki konsep
jelas, terukur, dalam kurun waktu tertentu, dan dengan segala indikatornya.
Sekolah model ini punya arah yang jelas, lebih tepatnya punya visi.
Inilah sekolah yang layak dipilih. Sekolah yang menawarkan
konsep untuk mematangkan muridnya secara menyeluruh. Tidak hanya kecerdasan
kognitif, tapi juga memberikan porsi yang sama terhadap afektif dan
psikomotornya. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak-anak untuk
mengasah semua potensi kecerdasannya.
Inilah sekolah yang pantas dipilih. Sekolah yang memberikan
kesempatan guru-gurunya untuk mengikuti jenjang pelatihan sesuai kebutuhan yang
akan diterapkan dalam pembelajaran. Sekolah yang merancang semua kegiatan
sebagai media belajar, sekolah yang guru-gurunya memanfaatkan menit-menit
pertama kedatangan sekolah sampai menit-menit terakhir saat pulang sekolah sebagai
pembelajaran, bahkan termasuk jam istirahat sekalipun. Sekolah yang para
arsitek peradabannya memiliki mindset
bahwa mendidik adalah pekerjaan mulia, yang bisa mencetak tiket ke syurga.
Inilah sekolah yang semestinya menjadi pilihan. Sekolah yang
lebih menitikberatkan pada kompetensi setiap muridnya dan tidak menjadikan kompetisi
sebagai tujuan utamanya. Sekolah yang lebih mengutamakan kualitas daripada
kuantitas. Sekolah yang tidak hanya mencetak anak didiknya menjadi pinter, tapi juga berkarakter.
Satu contoh gambaran sekolah konsepsional misalnya, kelas 1-3
targetnya adalah bisa membaca, menulis, dan menghitung. Jadi yang ditekankan
dalam pembelajaran kelas bawah itu ya didesain sedemikian rupa agar anak-anak
bisa menguasai konsep calistung. Muatan kognitif lain diajarkan seperlunya,
sebutuhnya, tidak menjadi fokus, meski dari kurikulum pemerintah sekalipun.
Selama ini yang terjadi anak-anak kelas bawah tetap disertakan dalam ujian
tertulis, dimana saat mengerjakan gurunya teriak-teriak membacakan soal.
Contoh lain yang bisa disebut sebagai sekolah konsepsional,
sekolah yang menerapkan konsep begitu lulus sekolah dasar, murid-murid muridnya
bisa membaca Al Qur’an dengan tartil sesuai kaidah tajwid dan makhraj yang
benar, mantap hafalan bacaan shalatnya, prakteknya benar. Maka dalam kurikulum
pembelajaran didesain sedemikian rupa untuk bisa mencapai target-target tersebut.
Sekolah mestinya berani memanggil orang tua yang anaknya belum shalat lima
waktu, mengingat pendidikan itu harus sinergi antara pendidikan di sekolah dan juga
di rumah.
Contoh lagi, sekolah menargetkan siswanya hafal Juz 30 Al
Qur’an begitu lulus sekolah dasar, dengan alokasi pembelajaran 10 jam
perminggu, misalnya. Maka, apapun kurikulumnya pertahankan jam awal yang sudah terkonsep.
Jangan sekali-kali diubah, dengan cara mengurangi karena penyesuaian kurikulum
baru.
Contoh paling real sekolah konsepsional bisa kita temukan di
pendidikan anak usia dini. Lebih spesifik lagi yang menerapkan metode sentra
seperti sekolah Batutis di Pekayon, Bekasi. Yudhistira ANM Massardi (2012:327)
menyatakan, dalam metode sentra, setiap hari anak bermain di sentra yang
berbeda, agar karakter, budi pekerti, dan kecerdasan jamaknya terbangun secara
serentak dan seimbang.
Di Kabupaten Tegal sendiri sekolah yang menerapkan metode
sentra adalah PAUD Buana Kids. PAUD
ini menjadikan Sekolah Batutis di Pekayon, Bekasi sebagai mentornya. Bahkan, tahun pelajaran baru ini merintis SD Al Biruni
yang juga menerapkan konsep sentra, dimana kelasnya hanya terdiri maksimalnya
12 siswa.
Sekolah Transaksional
Sekolah harus bisa meyakinkan bahwa semua kegiatan yang
dilaksanakan adalah sesuai dengan konsep yang diyakini benar dan sudah teruji
kualitasnya. Jika ada sekolah yang dengan mudah mengubah konsep yang telah
dimatangkan itu sama artinya dengan sekolah transaksional. Menerima masukan
dari orang tua terkait konsep pendidikan kemudian langsung bergerak menjalankan
masukan itu, ini ciri sekolah transaksional. Setiap masukan tetap ditampung,
dan bisa menjadi bahan masukan saat raker menjelang tahun pelajaran baru,
sekaligus sebagai bahan evaluasi.
Sadar atau tidak, kini banyak ditemukan sekolah yang semula
konsepsional berubah menjadi transaksional. Seiring dengan penerimaan
masyarakat terhadap sekolah tersebut, menjadikan banyak permintaan untuk
menambah jumlah rombongan belajar (kelas). Parahnya lagi banyak orang tua
semakin irasional. Berani bayar mahal untuk biaya pendidikan yang ditawarkan. Hasilnya
jumlah siswa bertambah banyak, sementara dari mutu dan kualitas mengalami
pergeseran, karena konsentrasi guru yang terbagi.
Sekolah tersebut menjadi semakin jauh dari konsepsional yang
dulu sempat dicanangkan diawal. Semua kegiatan diikuti dengan niatan hanya
ingin terlihat eksis padahal tidak semua kegiatan dibutuhkan.
Saya meyakini, sekolah-sekolah yang sudah
melenceng dari konsepsinya, sebenarnya menyadari bahwa sekolahnya sudah
terjebak pada ranah transaksional. Mereka paham benar, bagaimana model sekolah konsepsional
itu, tapi tiadanya kesamaan visi di kalangan pengelola termasuk para gurunya
sekalipun membuat arah perubahan untuk kembali kepada sekolah konsepsional
menjadi sangat lambat, terhambat, bahkan tersendat.
*) Artikel ini dimuat Radar Tegal, 12 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar