Nasi berkat. sumber : pelajarnupurworejo.org |
BANYAK UNDANGAN BERTEBARAN setelah lebaran.
Entah itu undangan nikah ataupun walimah. Anda juga, kan? Sudah mengaku saja. Sebagai orang yang sudah menikah, pasti turut
bahagia mendengar teman atau kerabat melangsungkan pernikahan. Entah menikah di
usia yang sudah mapan, maupun dalam usia yang relatif muda. Tidak masalah. Nah,
kalau yang belum nikah? Pastinya tetap
harus bahagia juga, sambil terus berdoa dan memantaskan diri agar segera bisa
mengundang dan menyelenggarakan walimah.
Banyaknya orang yang menikah di
bulan ini sudah tidak terbantahkan lagi. Sedemikian banyaknya orang
melangsungkan pernikahan, terkadang satu orang bisa menerima 2-5 undangan
bahkan lebih. Uniknya dari sekian banyak undangan, hari dan tanggal nyaris
dalam waktu yang berurutan, bahkan dalam hari yang sama. Maka tak mengherankan
dalam sehari seseorang bisa menghadiri lebih dari satu tempat undangan
pernikahan. Yang paling sibuk, jelas pak penghulunya.
Bagi yang nikah sih asyik-asyik
saja. Bagi yang diundang, tetap kudu bisa menyiasati pengeluaran. Harus rela
merelakan angpau lebaran buat menghadiri undangan, kalau dapat, hehehe… Harus
pandai mengatur pencernaan, karena kalau yang namanya undangan, itu tidak
jauh-jauh dari yang namanya makan-makan.
Alasan banyak orang menikah di
bulan ini lebih karena budaya masyarakat kita yang lebih banyak perantau ke
kota-kota besar. Kesempatan kumpul bersama keluarga yang peluang besar
kumpulnya pas momentum lebaran.
Tapi tahukah anda sebenarnya, ada
yang kecewa dengan hampir bersamaannya waktu pernikahan. Mereka kecewa karena
diacuhkan, diletakkan begitu saja, disentuhpun tidak, yang seharusnya dinikmati
tapi malah diabaikan. Mereka pantas dan layak kecewa. Mereka tak lain adalah
nasi berkat hasil kondangan atau kenduri. Istilah orang Jawa itu berkat slametan.
Dalam semalam, satu orang bisa
menghadiri dua sampai tiga kenduri.
Sesuai tradisi masyarakat kita, sepulang walimahan, membawa berkat.
Sesuai namanya, berkat itu asal katanya dari kata berkah. Saya yakin harapan
tuan rumah buah tangan kenduri dapat menghadirkan keberkahan. Entah itu
acaranya, maupun berkatnya itu sendiri dapat membawa keberkahan.
Kalau boleh saya cerita, berkat
dulu itu jauh lebih banyak berkahnya dibandingkan berkat sekarang. Masih segar
dalam ingatan saat saya masih kecil. Bapak pulang kenduri membawa berkat. Saya
bersama adik-adik saya dengan sabar menunggu kedatangan bapak membawa berkat.
Kami bahkan rela menunda waktu makan malam demi mengharap nasi berkat.
Begitu bapak pulang, kami
senangnya luar biasa, sesuatu yang kami nantikan akhirnya datang juga. Ibu
menyiapkan piring. Membagi sebutir telor menjadi empat bagian. Menyayat daging
menjadi empat bagian. Lalu nasi berkat itu kami nikmati bersama-sama. Nikmatnya
luar biasa. Kami yang biasa makan seadanya, paling banter tahu tempe, saat
dapat berkat, jadi saat yang paling dinanti untuk perbaikan gizi.
Tapi kenyataannya berkat sekarang
tidak seperti zaman saya dulu waktu kecil. Boleh jadi menunya lebih variatif, lebih
enak, tapi nilainya sangat beda dengan berkat zaman dulu. Berkat yang
sedemikian banyak justru malah lebih banyak terabaikan. Bukan hanya karena
jumlahnya yang banyak, tapi varian menunya juga nyaris sama. Sepotong daging
atau ayam, sebutir telor, mie atau bihun, sambal goreng tempe, kentang,
selembar kerupuk. Sehingga nyaris pula tidak mengundang selera makan.
Ibu-ibu yang kreatif, nasi berkat
bisa dikeringkan, diolah menjadi gendar atau karak. Bagi yang punya ternak
ayam, bisa langsung kasih makan ayam. Namun bagi yang tidak terampil mengolah makanan,
berkat-berkat itu beserta lauknya kadang lebih sering dibuang. Sayang sekali
kan?
Ini sebenarnya sudah disadari
oleh sebagian besar masyarakat kita. Bahkan beberapa sudah melakukan
penyiasatan. Misalnya, buah tangan kenduri disajikan mentah, bukan matang.
Semacam paket sembako. Jika biasanya walimah diselenggarakan malam hari habis
Maghrib atau Isya, sebagian sudah ada yang menyelenggarakan walimah habis
subuh. Ide ini kreatif karena bisa membuat bapak-bapak bisa bangun lebih pagi.
Tidak enak juga kan tidak datang walimah tetangga karena belum bangun, hehehe…
Atau pakai cara yang terbilang ekstrem. Pernikahan dilangsungkan secara
massal, resepsi dan walimahannya pun pada waktu bersamaan. Katakanlah dalam
satu desa, ada 20 pasang yang menikah. Atas dasar efektivitas, pernikahan
massal bisa jadi pilihan. Selain waktu
yang efektif, biaya juga termasuk relatif murah karena ditanggung bersama.
Sehingga bayang-bayang biaya pernikahan itu mahal tidak akan ada lagi.
Tentu untuk mewujudkannya butuh niat besar
untuk meyakinkan banyak keluarga yang akan menggelar pernikahan di bulan
Syawal. Tidak hanya itu pastinya dibutuhkan juga Wedding Organizer professional
untuk menghelat acara ini. Mungkin anda yang akan menangkap peluang ini.
Tegal, 13 Juli 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar