Rabu, Juli 13, 2016

Berkat Slametan


Nasi berkat.  sumber : pelajarnupurworejo.org

BANYAK UNDANGAN BERTEBARAN setelah lebaran. Entah itu undangan nikah ataupun walimah. Anda juga, kan? Sudah mengaku saja. Sebagai orang yang sudah menikah, pasti turut bahagia mendengar teman atau kerabat melangsungkan pernikahan. Entah menikah di usia yang sudah mapan, maupun dalam usia yang relatif muda. Tidak masalah. Nah, kalau yang belum nikah?  Pastinya tetap harus bahagia juga, sambil terus berdoa dan memantaskan diri agar segera bisa mengundang dan menyelenggarakan walimah.

Banyaknya orang yang menikah di bulan ini sudah tidak terbantahkan lagi. Sedemikian banyaknya orang melangsungkan pernikahan, terkadang satu orang bisa menerima 2-5 undangan bahkan lebih. Uniknya dari sekian banyak undangan, hari dan tanggal nyaris dalam waktu yang berurutan, bahkan dalam hari yang sama. Maka tak mengherankan dalam sehari seseorang bisa menghadiri lebih dari satu tempat undangan pernikahan. Yang paling sibuk, jelas pak penghulunya.

Bagi yang nikah sih asyik-asyik saja. Bagi yang diundang, tetap kudu bisa menyiasati pengeluaran. Harus rela merelakan angpau lebaran buat menghadiri undangan, kalau dapat, hehehe… Harus pandai mengatur pencernaan, karena kalau yang namanya undangan, itu tidak jauh-jauh dari yang namanya makan-makan.

Alasan banyak orang menikah di bulan ini lebih karena budaya masyarakat kita yang lebih banyak perantau ke kota-kota besar. Kesempatan kumpul bersama keluarga yang peluang besar kumpulnya pas momentum lebaran.

Tapi tahukah anda sebenarnya, ada yang kecewa dengan hampir bersamaannya waktu pernikahan. Mereka kecewa karena diacuhkan, diletakkan begitu saja, disentuhpun tidak, yang seharusnya dinikmati tapi malah diabaikan. Mereka pantas dan layak kecewa. Mereka tak lain adalah nasi berkat hasil kondangan atau kenduri. Istilah orang Jawa itu berkat slametan.

Dalam semalam, satu orang bisa menghadiri dua sampai tiga kenduri.  Sesuai tradisi masyarakat kita, sepulang walimahan, membawa berkat. Sesuai namanya, berkat itu asal katanya dari kata berkah. Saya yakin harapan tuan rumah buah tangan kenduri dapat menghadirkan keberkahan. Entah itu acaranya, maupun berkatnya itu sendiri dapat membawa keberkahan.

Kalau boleh saya cerita, berkat dulu itu jauh lebih banyak berkahnya dibandingkan berkat sekarang. Masih segar dalam ingatan saat saya masih kecil. Bapak pulang kenduri membawa berkat. Saya bersama adik-adik saya dengan sabar menunggu kedatangan bapak membawa berkat. Kami bahkan rela menunda waktu makan malam demi mengharap nasi berkat.

Begitu bapak pulang, kami senangnya luar biasa, sesuatu yang kami nantikan akhirnya datang juga. Ibu menyiapkan piring. Membagi sebutir telor menjadi empat bagian. Menyayat daging menjadi empat bagian. Lalu nasi berkat itu kami nikmati bersama-sama. Nikmatnya luar biasa. Kami yang biasa makan seadanya, paling banter tahu tempe, saat dapat berkat, jadi saat yang paling dinanti untuk perbaikan gizi.

Tapi kenyataannya berkat sekarang tidak seperti zaman saya dulu waktu kecil. Boleh jadi menunya lebih variatif, lebih enak, tapi nilainya sangat beda dengan berkat zaman dulu. Berkat yang sedemikian banyak justru malah lebih banyak terabaikan. Bukan hanya karena jumlahnya yang banyak, tapi varian menunya juga nyaris sama. Sepotong daging atau ayam, sebutir telor, mie atau bihun, sambal goreng tempe, kentang, selembar kerupuk. Sehingga nyaris pula tidak mengundang selera makan.

Ibu-ibu yang kreatif, nasi berkat bisa dikeringkan, diolah menjadi gendar atau karak. Bagi yang punya ternak ayam, bisa langsung kasih makan ayam. Namun bagi yang  tidak terampil mengolah makanan, berkat-berkat itu beserta lauknya kadang lebih sering dibuang. Sayang sekali kan?

Ini sebenarnya sudah disadari oleh sebagian besar masyarakat kita. Bahkan beberapa sudah melakukan penyiasatan. Misalnya, buah tangan kenduri disajikan mentah, bukan matang. Semacam paket sembako. Jika biasanya walimah diselenggarakan malam hari habis Maghrib atau Isya, sebagian sudah ada yang menyelenggarakan walimah habis subuh. Ide ini kreatif karena bisa membuat bapak-bapak bisa bangun lebih pagi. Tidak enak juga kan tidak datang walimah tetangga karena belum bangun, hehehe…

Atau pakai cara yang terbilang ekstrem. Pernikahan dilangsungkan secara massal, resepsi dan walimahannya pun pada waktu bersamaan. Katakanlah dalam satu desa, ada 20 pasang yang menikah. Atas dasar efektivitas, pernikahan massal bisa jadi pilihan.  Selain waktu yang efektif, biaya juga termasuk relatif murah karena ditanggung bersama. Sehingga bayang-bayang biaya pernikahan itu mahal tidak akan ada lagi.   

Tentu untuk mewujudkannya butuh niat besar untuk meyakinkan banyak keluarga yang akan menggelar pernikahan di bulan Syawal. Tidak hanya itu pastinya dibutuhkan juga Wedding Organizer professional untuk menghelat acara ini. Mungkin anda yang akan menangkap peluang ini.

Tegal, 13 Juli 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN