B'right Teacher. Foto by Araf Hakim |
Maka
pengusaha tua itu memberi ketiga putranya masing-masing satu juta rupiah.
Ketiganya harus menggunakan uang tersebut untuk membeli sesuatu yang bisa
memenuhi ruang kosong. Yang berhasil memenuhi ruangan itu dialah pemenangnya.
Anak
pertama pergi dan menghabiskan uang itu dengan membeli kertas bekas lalu
dipenuhinya ruangan kosong itu dengan cacah-cacah kertas berkarung-karung. Tapi
ruangan itu hanya terisi setengahnya. Anak kedua menggunakan uang itu untuk
membeli rumput dari peternak kambing, namun ternyata hanya memenuhi tiga
perempat ruangan tersebut.
Sementara
anak ketiga pergi ke sebuah warung depan rumah dan membeli tiga batang liling seharga
Rp. 3000. Pada malam hari, ia memanggil ayahnya. Dimatikannya listrik. Dari
sakunya ia mengeluarkan lilin, diberdirikannya di tiga titik, lalu satu persatu
disulutnya korek api. Sejurus kemudian, ia menoleh kepada ayahnya dan berkata, ”Lihat,
ruangan ini penuh cahaya. Silahkan dinilai, apakah ada celah kosong yang tidak
terterangi?” katanya sambil tersenyum. Ayahnya gembira, senang penuh bahagia,
lalu menetapkannya sebagai direktur utama.
Kisah
di atas diolah dari Kumpulan Kisah Cerita Sang Katak Antony De Mello. Ia
berhasil menemukan cara tak lazim, namun efektif, dan hemat: cerdas, orisinil, dan sangat mudah.
Berseni, jitu, dan luar biasa.
Aktivitas
mengajar bila dihayati sampai ke tingkat
seni, pasti mendatangkan kecintaan dan kegairahan. Ini bersumber dari berbagai
aktivitas mengajar yang interaktif, kreatif, dan artistik, yang sejatinya
menyenangkan hati murid-muridnya. Mengajar dengan seni adalah sebuah kompetensi
mengajar dengan mutu tinggi, baik dilihat dari segi esensi, teknik, proses, maupun
kebaruan dan kesegarannya. Mengajar tanpa seni hanya berujung pada proses
mengajar yang membosankan, monoton, kering, dan tanpa daya tarik. Harus diakui
inilah yang terjadi setiap hari dalam puluhan ribu ruang kelas sekolah kita
dari Sabang sampai Merauke. Jangan biarkan kondisi ini berlarut-larut!
Mengemas
pengajaran yang menyenangkan sejatinya bukan semata tugas guru TK, melainkan
tugas semua guru mulai dari Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Kita
tahu, anak-anak TK menjadikan bermain sebagai media belajar, sehingga yang ada
dalam benak mereka adalah keceriaan,
permainan dan kebersamaan. Sekolah harus bisa menumbuhkan rasa bahagia
bagi anak. Di sanalah dunia serba mungkin berada. Ketika kecil dengan mudah
anak-anak mengatakan, “Saya ingin jadi presiden!” “Saya ingin jadi menteri!” “Saya
ingin wartawan!” “Saya ingin jadi guru!”
Gordon
Mackenzie seorang tenaga kreatif di Hallmark Cards pernah mengisahkan
perjalanannya yang sering bertandang ke sekolah-sekolah dasar dan mengajukan
pertanyaan, “Adakah seniman di ruangan ini?” Di Taman kanak-kanak, nyaris semua
anak angkat tangan. Di kelas dua SD, tinggal tiga perempat. Di kelas 3 SD,
hanya segelintir. Di kelas 6 SD, hampir-hampir tidak ada murid yang
mengacungkan tangan. Kalau pun ada, maka yang lain akan menganggapnya sebagai
perilaku menyimpang.
Bagi
anak-anak, mencapai semua yang diinginkan seolah serba mungkin. Namun, semakin
bertambah umur, ketika anak-anak semakin dewasa, semuanya berubah. Yang ada
bukan keoptimisan, melainkan sebuah ketidakberdayaan, pendidikan di sekolah
pada jenjang yang lebih tinggi telah mengajarkan kepesimisan itu, sehingga
kalimat yang terdengar, ketika ditanya mau jadi apa, malah bergedek, bingung
menentukan pilihan, atau paling mentok
bilang, “Kita lihat saja nanti.” Paling parah dibahasakan begini, “Ya,
tergantung nasib!”
Jawaban
model begini dapat berakibat fatal. Karena mereka menjadi tak punya mimpi, tak
punya visi, menyerah kalah pada nasib, merasa tidak bisa mendapat yang lebih
baik, seolah-olah seluruh anugerah yang diberikan hanya cukup untuk mencapai
level nasib biasa-biasa saja.
Realita
di atas ternyata sejalan dengan pengamatan Ratna Megawangi, pendiri Indonesia
Heritage, dimana ia mengamati berbagai peristiwa semakin menunjukkan banyaknya
manusia tanpa nurani, neurosis, dengan sifat-sifat arogan, menindas, tak mau
kalah, agresif, dan tak toleran. Sistem pendidikan yang ada menciptakan suasana
penuh tekanan, kecemasan, minder, tak punya harga diri, apatis, dan persaingan
tak sehat. Sejak dini anak dididik mengalahkan lawan, pelajaran terfragmentasi,
serta tidak menumbuhkan semangat dan motivasi. Yang berkembang hanya kecerdasan
mekanis (mechanical intellegencies) bukan
kecerdasan kreatif (creative
intellegencis) atau pun kearifan (wisdom).
Anak pintar yang biasanya rangking satu jatuh ke rangking tiga, langsung down (patah semangat).
Secara
sistemik pun, murid-murid telah dikirikan
sedemikian rupa, dimana kreativitas dan imajinasi mereka seakan dibatasi oleh
materi-materi yang kekiri-kirian. Kembali saya tegaskan bahwa secara sistem,
anak-anak telah dikirikan, dengan membiarkan mereka belajar melalui pembatasan.
Kreativitas dan imajinasi mereka dipasung.
Contoh
real membuktikan fenomena itu. Bisa kita temukan bahwa seluruh murid-murid
sekolah di seluruh Indonesia jika diminta menggambar pemandangan, pastilah yang
muncul dalam pikiran mereka adalah menggambar gunung, sawah, dan terdapat
matahari juga burung-burung yang sedang terbang. Padahal kita tahu yang namanya
pemandangan di negeri kita ini, tidak hanya daerah pegunungan.
Anak-anak
yang tinggal di pesisir pantura, bisa saja menggambar keindahan pantai, laut,
samudera, atau menggambar aktivitas nelayan yang sedang menjala ikan. Anak-anak
yang tinggal di Sumatra dan Kalimantan bisa menggambar sungai-sungai dan
keindahannya. Anak yang tinggal di
dataran tinggi bisa menggambar indahnya
nuansa perbukitan, pegunungan, dan sawah-sawahnya yang membentang hijau.
Tapi
entah bagaimana awalnya kenapa ketika anak-anak diminta menggambar pemandangan yang
digambar kok daerah pegunungan? Lebih parah lagi semua gambar hampir senada,
ada gambar gunung, ada jalan yang
berkelok-kelok, ada sawah, dan juga matahari dan awan. Lebih lengkap lagi ada
gambar burung yang lagi terbang.
Rasa-rasanya ada yang tak beres dengan pola pengajaran guru yang
mengajar.
Permasalahan
tidak sampai di situ. Bercerita juga tidak luput dari pembatasan. Kreativitas
dan imajinasi mereka dikerangkeng sedemikian rupa. Maka tak heran jika
anak-anak sekolah diminta untuk mengarang sebuah cerita, kalimat pembukanya
adalah “Pada suatu hari…. ” Itu ternyata belum seberapa, karena murid-murid pun
kian terperosok ke dunia kiri, ketika seharian belajar di sekolah, pulangnya
dibekali PR untuk menambah kesibukkan mereka.
Lebih
mengherankan lagi, di dalam kelas pada zaman sekarang ini masih saja ada guru
yang mengajar dengan tulisan, padahal sehari-hari murid-murid dibombardir oleh
visual sehingga pola pikir mereka berpikir pula secara visual.
Belum
lagi ditambah masalah ketika masuk kelas, guru kurang cermat mengawali kelas,
dengan langsung mengatakan, “Ayo sekarang buka buku kalian pada halaman…” Guru
berbicara, anak-anak patuh dan harus tunduk mendengarkan. Ketika ada yang
bergerak-gerak dan berlarian kesana kemari. Langsung dibentak, dipelototi,
bahkan sampai dijewer atau disabet pantatnya karena dianggap bandel.
Saat
mengajar tidak jarang ditemukan guru hanya duduk di kursi belakang meja. Kalau
pun berdiri juga tidak berpindah-pindah bahkan bisa jadi tanpa sadar lantai
bisa amblas gara-gara kelamaan berdiri di satu titik. Hehehe…
Tanpa
terasa saya telah menuliskan banyak catatan kelam yang rupanya tidak
menyenangkan bagi guru. Adakah semua itu bisa diubah? Saya akan menegaskan di
sini, pasti bisa! Menjadi guru zaman sekarang mesti harus berani mengambil
terobosan. Tinggalkan cara lama yang kurang efektif, dan berpikirlah cara baru.
Model yang pas sekarang adalah gaya mengajar guru sama dengan gaya belajar
anak. Saya menyebutnya dengan seruan jadilah guru kanan! Be a right teacher!
Tidak
ada cara lain selain menjadi guru kanan, yakni dengan meramu materi dengan
gurauan dan permainan. Dua hal ini tidak terpisahkan dari cerita, kreativitas,
imajinasi, dan intuisi yang semuanya berakar pada otak kanan.
Model
cara berpikir otak kanan biasanya muncul tak terduga, bahkan tidak terpikirkan
sebelumnya baik oleh sendiri atau orang lain.
Mengenai kreativitas,
sederhananya saya gambarkan pada sebuah kisah berikut ini;
Seorang
guru pernah menanyakan cita-cita pada kelima muridnya. “Apa-apa cita-cita
kalian setelah besar nanti?” tanya guru.
“Aku ingin jadi guru!” kata anak pertama.
“Aku ingin jadi dokter!” ujar anak kedua.
“Aku ingin jadi ustadz!” seru anak ketiga.
“Aku ingin jadi pelukis” teriak anak keempat.
Anak kelima sedikit berbeda. Dengan lugas dan
cerdas dia menjawab,
“Aku
ingin menjadi seorang pengusaha yang sukses dan berjiwa sosial. Setelah
bisnis-bisnis saya mapan, akan saya bangun sekolah dan tempat ibadah agar guru
dan para ustadz bisa mengajar. Akan saya bangun juga rumah sakit agar dokter
bisa bekerja. Saya bangun juga sanggar kesenian, agar para seniman bisa
berkarya dan para pelukis bisa melukis dan memajang karyanya di sanggar!”
Itulah
mindset kanan. Mampu berpikir jauh ke
depan, dengan mempertimbangkan semua lini dan merangkul segalanya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar