Senin, Juli 11, 2016

Menganankan Profesi Guru!



B'right Teacher. Foto by Araf Hakim
Seorang pengusaha yang sudah tua memutuskan untuk pensiun memanggil ketiga putranya dan berkata, “Saya tidak akan membagi perusahaan ini menjadi tiga dan memberikannya kepada kalian. Hal yang ingin kuketahui adalah: diantara kalian siapakah enterpreneur yang paling baik? Oleh karena itu, saya akan menguji kalian satu persatu. Siapa  yang memenangkan ujian ini akan menjadi direktur utama. Sedangkan dua yang lain akan menjadi wakil-wakilnya.



Maka pengusaha tua itu memberi ketiga putranya masing-masing satu juta rupiah. Ketiganya harus menggunakan uang tersebut untuk membeli sesuatu yang bisa memenuhi ruang kosong. Yang berhasil memenuhi ruangan itu dialah pemenangnya.

Anak pertama pergi dan menghabiskan uang itu dengan membeli kertas bekas lalu dipenuhinya ruangan kosong itu dengan cacah-cacah kertas berkarung-karung. Tapi ruangan itu hanya terisi setengahnya. Anak kedua menggunakan uang itu untuk membeli rumput dari peternak kambing, namun ternyata hanya memenuhi tiga perempat ruangan tersebut.

Sementara anak ketiga pergi ke sebuah warung depan rumah dan membeli tiga batang liling seharga Rp. 3000. Pada malam hari, ia memanggil ayahnya. Dimatikannya listrik. Dari sakunya ia mengeluarkan lilin, diberdirikannya di tiga titik, lalu satu persatu disulutnya korek api. Sejurus kemudian, ia menoleh kepada ayahnya dan berkata, ”Lihat, ruangan ini penuh cahaya. Silahkan dinilai, apakah ada celah kosong yang tidak terterangi?” katanya sambil tersenyum. Ayahnya gembira, senang penuh bahagia, lalu menetapkannya sebagai direktur utama.

Kisah di atas diolah dari Kumpulan Kisah Cerita Sang Katak Antony De Mello. Ia berhasil menemukan cara tak lazim, namun efektif, dan  hemat: cerdas, orisinil, dan sangat mudah. Berseni, jitu, dan luar biasa. 

Aktivitas mengajar bila dihayati sampai  ke tingkat seni, pasti mendatangkan kecintaan dan kegairahan. Ini bersumber dari berbagai aktivitas mengajar yang interaktif, kreatif, dan artistik, yang sejatinya menyenangkan hati murid-muridnya. Mengajar dengan seni adalah sebuah kompetensi mengajar dengan mutu tinggi, baik dilihat dari segi esensi, teknik, proses, maupun kebaruan dan kesegarannya. Mengajar tanpa seni hanya berujung pada proses mengajar yang membosankan, monoton, kering, dan tanpa daya tarik. Harus diakui inilah yang terjadi setiap hari dalam puluhan ribu ruang kelas sekolah kita dari Sabang sampai Merauke. Jangan biarkan kondisi ini berlarut-larut!

Mengemas pengajaran yang menyenangkan sejatinya bukan semata tugas guru TK, melainkan tugas semua guru mulai dari Taman Kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Kita tahu, anak-anak TK menjadikan bermain sebagai media belajar, sehingga yang ada dalam benak mereka adalah keceriaan,  permainan dan kebersamaan. Sekolah harus bisa menumbuhkan rasa bahagia bagi anak. Di sanalah dunia serba mungkin berada. Ketika kecil dengan mudah anak-anak mengatakan, “Saya ingin jadi presiden!” “Saya ingin jadi menteri!” “Saya ingin wartawan!” “Saya  ingin jadi guru!”

Gordon Mackenzie seorang tenaga kreatif di Hallmark Cards pernah mengisahkan perjalanannya yang sering bertandang ke sekolah-sekolah dasar dan mengajukan pertanyaan, “Adakah seniman di ruangan ini?” Di Taman kanak-kanak, nyaris semua anak angkat tangan. Di kelas dua SD, tinggal tiga perempat. Di kelas 3 SD, hanya segelintir. Di kelas 6 SD, hampir-hampir tidak ada murid yang mengacungkan tangan. Kalau pun ada, maka yang lain akan menganggapnya sebagai perilaku menyimpang.

Bagi anak-anak, mencapai semua yang diinginkan seolah serba mungkin. Namun, semakin bertambah umur, ketika anak-anak semakin dewasa, semuanya berubah. Yang ada bukan keoptimisan, melainkan sebuah ketidakberdayaan, pendidikan di sekolah pada jenjang yang lebih tinggi telah mengajarkan kepesimisan itu, sehingga kalimat yang terdengar, ketika ditanya mau jadi apa, malah bergedek, bingung menentukan pilihan, atau paling  mentok bilang, “Kita lihat saja nanti.” Paling parah dibahasakan begini, “Ya, tergantung nasib!”

Jawaban model begini dapat berakibat fatal. Karena mereka menjadi tak punya mimpi, tak punya visi, menyerah kalah pada nasib, merasa tidak bisa mendapat yang lebih baik, seolah-olah seluruh anugerah yang diberikan hanya cukup untuk mencapai level nasib biasa-biasa saja.

Realita di atas ternyata sejalan dengan pengamatan Ratna Megawangi, pendiri Indonesia Heritage, dimana ia mengamati berbagai peristiwa semakin menunjukkan banyaknya manusia tanpa nurani, neurosis, dengan sifat-sifat arogan, menindas, tak mau kalah, agresif, dan tak toleran. Sistem pendidikan yang ada menciptakan suasana penuh tekanan, kecemasan, minder, tak punya harga diri, apatis, dan persaingan tak sehat. Sejak dini anak dididik mengalahkan lawan, pelajaran terfragmentasi, serta tidak menumbuhkan semangat dan motivasi. Yang berkembang hanya kecerdasan mekanis (mechanical intellegencies) bukan kecerdasan kreatif (creative intellegencis) atau pun kearifan (wisdom). Anak pintar yang biasanya rangking satu jatuh ke rangking tiga, langsung down (patah semangat).  

Secara sistemik pun, murid-murid telah dikirikan sedemikian rupa, dimana kreativitas dan imajinasi mereka seakan dibatasi oleh materi-materi yang kekiri-kirian. Kembali saya tegaskan bahwa secara sistem, anak-anak telah dikirikan, dengan membiarkan mereka belajar melalui pembatasan. Kreativitas dan imajinasi mereka dipasung.

Contoh real membuktikan fenomena itu. Bisa kita temukan bahwa seluruh murid-murid sekolah di seluruh Indonesia jika diminta menggambar pemandangan, pastilah yang muncul dalam pikiran mereka adalah menggambar gunung, sawah, dan terdapat matahari juga burung-burung yang sedang terbang. Padahal kita tahu yang namanya pemandangan di negeri kita ini, tidak hanya daerah pegunungan.

Anak-anak yang tinggal di pesisir pantura, bisa saja menggambar keindahan pantai, laut, samudera, atau menggambar aktivitas nelayan yang sedang menjala ikan. Anak-anak yang tinggal di Sumatra dan Kalimantan bisa menggambar sungai-sungai dan keindahannya. Anak  yang tinggal di dataran tinggi bisa menggambar indahnya  nuansa perbukitan, pegunungan, dan sawah-sawahnya yang membentang hijau.

Tapi entah bagaimana awalnya kenapa ketika anak-anak diminta menggambar pemandangan yang digambar kok daerah pegunungan? Lebih parah lagi semua gambar hampir senada, ada gambar gunung, ada jalan  yang berkelok-kelok, ada sawah, dan juga matahari dan awan. Lebih lengkap lagi ada gambar burung yang lagi terbang.  Rasa-rasanya ada yang tak beres dengan pola pengajaran guru yang mengajar.

Permasalahan tidak sampai di situ. Bercerita juga tidak luput dari pembatasan. Kreativitas dan imajinasi mereka dikerangkeng sedemikian rupa. Maka tak heran jika anak-anak sekolah diminta untuk mengarang sebuah cerita, kalimat pembukanya adalah “Pada suatu hari…. ” Itu ternyata belum seberapa, karena murid-murid pun kian terperosok ke dunia kiri, ketika seharian belajar di sekolah, pulangnya dibekali PR untuk menambah kesibukkan mereka.

Lebih mengherankan lagi, di dalam kelas pada zaman sekarang ini masih saja ada guru yang mengajar dengan tulisan, padahal sehari-hari murid-murid dibombardir oleh visual sehingga pola pikir mereka berpikir pula secara visual.
Belum lagi ditambah masalah ketika masuk kelas, guru kurang cermat mengawali kelas, dengan langsung mengatakan, “Ayo sekarang buka buku kalian pada halaman…” Guru berbicara, anak-anak patuh dan harus tunduk mendengarkan. Ketika ada yang bergerak-gerak dan berlarian kesana kemari. Langsung dibentak, dipelototi, bahkan sampai dijewer atau disabet pantatnya karena dianggap bandel.
Saat mengajar tidak jarang ditemukan guru hanya duduk di kursi belakang meja. Kalau pun berdiri juga tidak berpindah-pindah bahkan bisa jadi tanpa sadar lantai bisa amblas gara-gara kelamaan berdiri di satu titik. Hehehe…

Tanpa terasa saya telah menuliskan banyak catatan kelam yang rupanya tidak menyenangkan bagi guru. Adakah semua itu bisa diubah? Saya akan menegaskan di sini, pasti bisa! Menjadi guru zaman sekarang mesti harus berani mengambil terobosan. Tinggalkan cara lama yang kurang efektif, dan berpikirlah cara baru. Model yang pas sekarang adalah gaya mengajar guru sama dengan gaya belajar anak. Saya menyebutnya dengan seruan jadilah guru kanan! Be a right teacher!

Tidak ada cara lain selain menjadi guru kanan, yakni dengan meramu materi dengan gurauan dan permainan. Dua hal ini tidak terpisahkan dari cerita, kreativitas, imajinasi, dan intuisi yang semuanya berakar pada otak kanan. 
Model cara berpikir otak kanan biasanya muncul tak terduga, bahkan tidak terpikirkan sebelumnya baik oleh sendiri atau orang lain. 

Mengenai kreativitas, sederhananya saya gambarkan pada sebuah kisah berikut ini;

Seorang guru pernah menanyakan cita-cita pada kelima muridnya. “Apa-apa cita-cita kalian setelah besar nanti?” tanya guru.

“Aku ingin jadi guru!” kata anak pertama.

“Aku ingin jadi dokter!” ujar anak kedua.

“Aku ingin jadi ustadz!” seru anak ketiga.

“Aku ingin jadi pelukis” teriak anak keempat.

Anak kelima sedikit berbeda. Dengan lugas dan cerdas dia menjawab,
“Aku ingin menjadi seorang pengusaha yang sukses dan berjiwa sosial. Setelah bisnis-bisnis saya mapan, akan saya bangun sekolah dan tempat ibadah agar guru dan para ustadz bisa mengajar. Akan saya bangun juga rumah sakit agar dokter bisa bekerja. Saya bangun juga sanggar kesenian, agar para seniman bisa berkarya dan para pelukis bisa melukis dan memajang karyanya di sanggar!”

Itulah mindset kanan. Mampu berpikir jauh ke depan, dengan mempertimbangkan semua lini dan merangkul segalanya!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN