Minggu, Juli 10, 2016

Ayah, Izinkan Aku Membeli Waktumu.



Dalam sebuah kamar seorang anak sedang belajar sendirian. Setiap malam ia menghabiskan waktu belajarnya tanpa ada yang menemani. Ibunya tak punya banyak waktu menemani belajar. Demikian pula ayahnya. Mereka sering pergi keluar kota untuk kepentingan pekerjaan. 

Setiap pagi ia selalu diantar ke sekolah. Ada becak khusus yang sudah dipesan setiap pagi  untuk mengantarkan anak ini ke sekolah. Demikian juga pulangnya. Uang saku amatlah banyak.

Tapi meski semua keinginan dipenuhi. Segala kebutuhannya tercukupi anak itu merasa kesepian. Sangat kesepian. Sering ia mendengar kisah teman-temannya ketika belajar selalu ditemani ayahnya. Ia ingin sekali ayahnya menemaninya belajar. Sampai suatu ketika, anak itu pun berniat menyambutnya saat pulang kantor nanti. Ayahnya biasa pulang pada malam hari sekitar pukul 21.00. Menjalani rutinitas yang demikian padat. Kadang-kadang malah lembur sampai pulang jam sebelas malam.

Begitu ayahnya pulang, sang anak sudah menyambutnya di depan pintu, betapa bahagianya melihat suara langkah kaki ayahnya yang semakin mendekat. Tepat ketika pintu terbuka, sang anak menyambut ayahnya dengan penuh suka cita, tapi melihat wajah ayah sangat lusuh, ia tak tega mengungkapkan keinginannya. Di matanya, ayahnya kelihatan sangat capek. Malam pertama ia gagal mengutarakan keinginannya. 

Kesempatan itu ia ulangi lagi keesokan harinya. Ketika ayahnya pulang, anak itu melihat ayahnya tak selusuh kemarin. Akhirnya ia mengajukan permintaan, “Ayah, temani aku belajar ya malam ini,” pinta sang anak manja.

“Ayah, baru pulang kerja, nak. Masih capek. Kamu belajar sama mamah dulu ya,” jawab ayah meminta pengertian anaknya. Wajah ceria anak itu berubah. Ia kecewa berat atas penolakan ayahnya menemaninya belajar. Dugaannya tentang ayah yang bisa menemaninya belajar salah besar.

“Tapi yah…”

“Nanti lain kali ayah sempatkan ya.”

Benar-benar kecewa anak itu. Mendengar jawaban itu, roman muka wajahnya kembali redup. Ia kembali ke kamar dengan muka ditekuk. Pintu kamar langsung dikunci. Malam itu ia tak jadi belajar. Tak jadi mengerjakan PR. Ia langsung memeluk bantal di atas kasur, kedua pipinya basah.

Malam berikut, anak itu untuk ketiga kalinya, menanti kepulangan ayahnya pulang dari kerja. Namun melihat ayahnya yang begitu capek, membuatnya ia terbata-bata menyampaikan keinginannya.

“Ayah, bisa menemani aku belajar?”

“Kamu kan tahu sendiri seperti apa wajah ayah sekarang. Ayah baru pulang dari luar kota. Belajar sama ibu ya.

Begitu  terus sampai akhirnya, bilang sama ibunya.

“Bu, kenapa sih ayah nggak bisa menemani aku belajar?”

“Ayah kan setiap hari kerja, jadi waktunya sangat berharga,”

Penjelasan ibu tak cukup memuaskan anak itu. Sampai akhirnya ia disadarkan dengan kalimat waktu ayah sangat berharga untuk pekerjaannya. Ia menyimpulkan berarti ia tidak berharga dimata ayah.

Dari situlah, anak itu mulai berpikir. Setiap hari ketika dapat uang saku, tak pernah dipakai buat jajan. Uang saku selalu disimpan di tempat khusus. Sejak peristiwa itu, anak itu sudah tidak meminta lagi sama ayahnya untuk menemaninya belajar. Karena ia yakin pasti akan mendapat jawaban yang sama. Terus menerus, ia menyimpan uang sakunya sampai sebulan lamanya.

Merasa sudah cukup, ia memberanikan kembali untuk bicara kepada ayahnya. Tepat ketika ayahnya 
pulang kerja, sang anak langsung memberikan uang yang telah ia kumpulkan selama ini dari hasil uang sakunya.

“Untuk apa uang ini sayang?”

“Itu uang buat ayah.”

“Buat ayah? Maksudmu?”

“Untuk membeli waktu ayah agar bisa menemani aku belajar malam ini?”

Sejak saat itu mata sang ayah berkaca-kaca. Ia bagai ditampar berkali-kali dengan sepenggal kalimat yang diucapkan anaknya. Seketika langsung memeluk anaknya sambil meminta maaf atas perlakuannya selama ini.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN