sumber ilustrasi : https://farm1.staticflickr.com |
MASA DEPAN TIDAK SELAMANYA
BERJALAN MULUS. ARAL RINTANGAN DATANG SILIH BERGANTI. Sikap dalam menghadapi
semua persoalan itulah yang menjadi
tantangan tersendiri bagi orang tua. Bagaimana mengajarkan anak-anaknya
agar tidak memiliki mental lemah, tak
mau merasakan sedikit keprihatinan.
Boleh jadi saat ini kehidupan
kita baik-baik saja, bahkan bisa dibilang penuh keberlimpahan. Namun kita tak
pernah tahu bagaimana masa depan itu akan terjadi. Apakah tetap dalam kondisi
keberlimpahan atau malah sebaliknya.
Kita harus menyiapkan anak-anak
untuk menghadapi masa depan dalam segala kondisi. Jika orang yang hidupnya penuh dengan keprihatinan maka
ketika diberikan keberlimpahan tentu akan sangat siap. Namun siapkah orang-orang
yang saat ini hidup dalam keberlimpahan untuk hidup dalam ketiadaan? Sekali
lagi hanya orang-orang yang bermental bajalah yang bisa sukses menjalani hidup. Ingat, terlalu banyak kisah
sukses orang-orang hebat yang diawali
dengan keprihatinan. Namun belum begitu banyak orang yang mampu bertahan mendapatkan ujian
kemiskinan.
Ada dua tipe
anak mandiri. Pertama karena keadaan. Yang kedua adalah karena ingin lepas dari
zona nyaman. Kondisi yang pertama sangat memungkinkan dialami oleh anak untuk
belajar hidup mandiri, prihatin. Anak model begini biasanya lekas dewasa,
karena posisinya sebagai anak sadar benar bukan anak dari orang tua yang
berada.
Sebisa mungkin
ia berusaha mandiri, tanpa harus merepotkan orang tua, dia akan merasa sangat
bersalah ketika tak bisa melakukan semuanya sendiri, tapi ia justru merasa
bangga ketika ia sudah mandiri bahkan sudah bisa memberikan sesuatu untuk orang
tuanya. Anak model begini mau bekerja apa saja untuk bertahan hidup. Karakter
sudah terbentuk saat menjalani hari-harinya yang begitu pahit. Besar
kemungkinan, anak-anak seperti ini memiliki motivasi sukses yang tinggi, karena
belajar dari pengalaman kehidupan orang tuanya. Hidupnya bisa dibilang penuh
keprihatinan, anak-anak ini memiliki cita-cita yang besar, untuk bisa
mengentaskan kehidupan kelluarganya pada taraf kesejahteraan yang lebih baik.
Sementara
kedua adalah anak yang ingin mandiri. Ia sebenarnya termasuk anak yang ingin
keluar dari zona nyaman. Dalam artian tak ingin selalu dianggap anak kecil.
Orang tua anak tipe ini biasanya over protective, terlalu berlebihan saat mendidik anaknya. Selalu merasa cemas akan
keberadaan anak, alih-alih membuat anak merasa nyaman, tapi justru ia merasa
sangat taka man. Ia merasa segala
gerak-geriknya diawasi. Ia merasakan ketidaknyamanan, ketika misalnya jatuh
dari sepeda saja, reaksi orang tuanya terlampau berlebihan.
Sejujurnya
anak model begini merasa tak nyaman. Siapapun pasti merasakan ketidaknyaman
ketika segala macam gerak-geriknya diawasi oleh orang lain. Kisah ini dialami
oleh Hanif, anak satu-satunya dalam keluarganya. Wajar jika perhatian kedua
orang tuanya hanya terpusat kepada Hanif. Pengawasan orang tua yang berlebihan
justru membuat Hanif merasa tak nyaman, sampai akhirnya melakukan
pemberontakan. Ia merasa tak dipercaya lagi sebagai anak. Ia sadar benar, hidup
itu tak akan selamanya berjalan mulus. Tapi apa yang ia alami justru semakin lurus-lurus
saja, nggak ada tantangan.
Maka timbullah
gerakan perlawanan, dengan mencoba sebisanya untuk tidak menggantungkan kepada
orang tuanya. Ia belajar mandiri. Bekerja apa saja untuk mencukupi kebutuhan
sendiri. Ia merasa hanya dengan diberi kepercayaan itulah ia bisa hidup yang
sebenarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar