Minggu, Juli 24, 2016

Mengasah Mental Berani



sumber ilustrasi : https://farm1.staticflickr.com
MASA DEPAN TIDAK SELAMANYA BERJALAN MULUS. ARAL RINTANGAN DATANG SILIH BERGANTI. Sikap dalam menghadapi semua persoalan itulah yang  menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua. Bagaimana mengajarkan anak-anaknya agar  tidak memiliki mental lemah, tak mau merasakan sedikit keprihatinan.

Boleh jadi saat ini kehidupan kita baik-baik saja, bahkan bisa dibilang penuh keberlimpahan. Namun kita tak pernah tahu bagaimana masa depan itu akan terjadi. Apakah tetap dalam kondisi keberlimpahan atau malah sebaliknya. 

Kita harus menyiapkan anak-anak untuk menghadapi masa depan dalam segala kondisi. Jika orang  yang hidupnya penuh dengan keprihatinan maka ketika diberikan keberlimpahan tentu akan sangat siap. Namun siapkah orang-orang yang saat ini hidup dalam keberlimpahan untuk hidup dalam ketiadaan? Sekali lagi hanya orang-orang yang bermental bajalah yang bisa sukses menjalani hidup. Ingat, terlalu banyak kisah sukses orang-orang hebat  yang diawali dengan keprihatinan. Namun belum begitu banyak orang  yang mampu bertahan mendapatkan ujian kemiskinan.

Ada dua tipe anak mandiri. Pertama karena keadaan. Yang kedua adalah karena ingin lepas dari zona nyaman. Kondisi yang pertama sangat memungkinkan dialami oleh anak untuk belajar hidup mandiri, prihatin. Anak model begini biasanya lekas dewasa, karena posisinya sebagai anak sadar benar bukan anak dari orang tua yang berada.

Sebisa mungkin ia berusaha mandiri, tanpa harus merepotkan orang tua, dia akan merasa sangat bersalah ketika tak bisa melakukan semuanya sendiri, tapi ia justru merasa bangga ketika ia sudah mandiri bahkan sudah bisa memberikan sesuatu untuk orang tuanya. Anak model begini mau bekerja apa saja untuk bertahan hidup. Karakter sudah terbentuk saat menjalani hari-harinya yang begitu pahit. Besar kemungkinan, anak-anak seperti ini memiliki motivasi sukses yang tinggi, karena belajar dari pengalaman kehidupan orang tuanya. Hidupnya bisa dibilang penuh keprihatinan, anak-anak ini memiliki cita-cita yang besar, untuk bisa mengentaskan kehidupan kelluarganya pada taraf kesejahteraan yang lebih baik.

Sementara kedua adalah anak yang ingin mandiri. Ia sebenarnya termasuk anak yang ingin keluar dari zona nyaman. Dalam artian tak ingin selalu dianggap anak kecil. Orang tua anak tipe ini biasanya over protective, terlalu berlebihan saat  mendidik anaknya. Selalu merasa cemas akan keberadaan anak, alih-alih membuat anak merasa nyaman, tapi justru ia merasa sangat taka man.  Ia merasa segala gerak-geriknya diawasi. Ia merasakan ketidaknyamanan, ketika misalnya jatuh dari sepeda saja, reaksi orang tuanya terlampau berlebihan.

Sejujurnya anak model begini merasa tak nyaman. Siapapun pasti merasakan ketidaknyaman ketika segala macam gerak-geriknya diawasi oleh orang lain. Kisah ini dialami oleh Hanif, anak satu-satunya dalam keluarganya. Wajar jika perhatian kedua orang tuanya hanya terpusat kepada Hanif. Pengawasan orang tua yang berlebihan justru membuat Hanif merasa tak nyaman, sampai akhirnya melakukan pemberontakan. Ia merasa tak dipercaya lagi sebagai anak. Ia sadar benar, hidup itu tak akan selamanya berjalan mulus. Tapi apa yang ia alami justru semakin lurus-lurus saja, nggak ada tantangan.

Maka timbullah gerakan perlawanan, dengan mencoba sebisanya untuk tidak menggantungkan kepada orang tuanya. Ia belajar mandiri. Bekerja apa saja untuk mencukupi kebutuhan sendiri. Ia merasa hanya dengan diberi kepercayaan itulah ia bisa hidup yang sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN