Selasa, September 20, 2016

Ayah Bunda Dilarang Melarang!


Ketika hujan, naluri anak ingin merasakan bagaimana asyiknya bermain di bawah guyuran hujan, tapi kebanyakan orang tua tidak mengizinkan. Saat anak bermain air yang dicampur lumpur, banyak orang tua yang melarangnya, karena alasan kotor. Saat anak bermain tanpa memakai sandal, orang tua juga mengingatkan, agar anak pakai sandal.

Memang anak tidak jadi mengurungkan niatnya bermain hujan, tidak jadi bermain lumpur, dan dengan perasaan tidak nyaman, anak segera mengambil sandal. Padahal dari dalam hati anak menyimpan sebuah keyakinan, aku akan baik-baik saja melakukan semua kegiatanku!

Akhirnya apa yang terjadi? Ketika tumbuh dewasa kehidupannya bermasalah. Mereka menjadi pribadi yang plin plan. Tidak mudah mengambil keputusan. Tidak punya inisiatif. Naluri rasa ingin tahunya dimatikan. Setiap langkah anak dihentikan atas nama cinta. Setiap mau berinisiatif dimandekkan atas nama sayang. Imajinasinya distop atas nama perhatian.

Padahal anak bisa mengukur kemampuannya. Saat memanjat kursi atau meja, secara naluri anak sudah bisa mengukur diri mampu atau tidak memanjat. Demikian pula ketika akan turun tangga. Dia sejatinya sudah bisa mengukur sampai pada level aman tidaknya tangga itu untuk dipijak.
Saya ada kisah menarik tentang pengalaman putri saya. Di usianya yang belum dua tahun, Echa, sudah bisa berlari. Tapi ketika mendekati tangga, ia sudah bisa mengontrol gerakan dengan menghentikan langkahnya. Berdiri sejenak, kemudian jongkok sambil tangan dan kakinya meraba memastikan apakah bagian bawah aman untuk dipijak. Saya biarkan dia mengeksplorasi diri sesuai dengan kadar kemampuannya. Sampai akhirnya ketika melewati jalan yang sama, ia langsung turun dari tangga dengan penuh percaya diri.

Seringkali orang tua melihat dari sudut pandang orang dewasa. Alih-alih ingin membangun karakter, malah justru menghancurkannya.

Ketika kita melarang otomatis pesan yang disampaikan dalam kalimat larangan itu akan terblokir di batang otak. Informasi yang seharusnya  mereka dapatkan jadi terblokir. Dan ketika terus melakukan pelarangan, yang terjadi bukanlah membangun inisiatif tapi malah mematikannya. Mereka hanya mau bergerak ketika ada perintah.

Kata “jangan” tampil sebagai kosakata favorit dalam melarang. Kata ini biasanya diikuti dengan kata kerja yang maknanya negatif. Sementara bagi anak usia 0-7 tahun kata jangan itu abstrak. Otak mereka tidak bisa memproses. Akhirnya yang diproses itu kata yang ada pada bagian akhirnya. Jangan menangis. Maka yang ditangkap anak adalah menangis.

Otak anak dalam rentang waktu itu masih dalam proses perkembangan. Masih belum bisa membedakan mana benar mana salah. Informasi yang memuat kata jangan belum bisa dicerna di bawah usia 0-7 tahun yang disebut  Jean Piaget sebagai tahapan pra operasional. Dan baru mulai bisa dicerna pada usia tahapan operasional konkret di kisaran usia 7-11 tahun.

Lalu bagaimana dengan kata JANGAN dalam Al Qur’an? Ada baiknya anda bisa buka link http://sayangianak.com/ini-jawaban-dari-pelarangan-kata-jangan-dalam-pengasuhan-anak-dalam-al-quran/

Menghindari kata jangan, terutama pada anak usia dini, akan membuat anak kreatif, punya pilihan, punya inisiatif, dan melihat semua hal dalam sisi positifnya, termasuk memaknai ayat-ayat Allah. Dengan demikian, anak akan tidak memukul teman karena dalam Al Qur’an dikatakan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (2:195)

Dengan meminimalisir kata jangan, anak diajarkan tidak sombong, karena Allah mengatakan “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati (25:63)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN