Ketika hujan, naluri anak ingin merasakan bagaimana asyiknya
bermain di bawah guyuran hujan, tapi kebanyakan orang tua tidak mengizinkan. Saat
anak bermain air yang dicampur lumpur, banyak orang tua yang melarangnya,
karena alasan kotor. Saat anak bermain tanpa memakai sandal, orang tua juga
mengingatkan, agar anak pakai sandal.
Memang anak tidak jadi mengurungkan niatnya bermain hujan,
tidak jadi bermain lumpur, dan dengan perasaan tidak nyaman, anak segera
mengambil sandal. Padahal dari dalam hati anak menyimpan sebuah keyakinan, aku akan baik-baik saja melakukan semua
kegiatanku!
Akhirnya apa yang terjadi? Ketika tumbuh dewasa kehidupannya
bermasalah. Mereka menjadi pribadi yang plin
plan. Tidak mudah mengambil keputusan. Tidak punya inisiatif. Naluri rasa
ingin tahunya dimatikan. Setiap langkah anak dihentikan atas nama cinta. Setiap
mau berinisiatif dimandekkan atas nama sayang. Imajinasinya distop atas nama
perhatian.
Padahal anak bisa mengukur kemampuannya. Saat memanjat kursi
atau meja, secara naluri anak sudah bisa mengukur diri mampu atau tidak
memanjat. Demikian pula ketika akan turun tangga. Dia sejatinya sudah bisa
mengukur sampai pada level aman tidaknya tangga itu untuk dipijak.
Saya ada kisah menarik tentang pengalaman putri saya. Di
usianya yang belum dua tahun, Echa, sudah bisa berlari. Tapi ketika mendekati
tangga, ia sudah bisa mengontrol gerakan dengan menghentikan langkahnya.
Berdiri sejenak, kemudian jongkok sambil tangan dan kakinya meraba memastikan
apakah bagian bawah aman untuk dipijak. Saya biarkan dia mengeksplorasi diri
sesuai dengan kadar kemampuannya. Sampai akhirnya ketika melewati jalan yang
sama, ia langsung turun dari tangga dengan penuh percaya diri.
Seringkali orang tua melihat dari sudut pandang orang dewasa.
Alih-alih ingin membangun karakter, malah justru menghancurkannya.
Ketika kita melarang otomatis pesan yang disampaikan dalam
kalimat larangan itu akan terblokir di batang otak. Informasi yang seharusnya mereka dapatkan jadi terblokir. Dan ketika
terus melakukan pelarangan, yang terjadi bukanlah membangun inisiatif tapi
malah mematikannya. Mereka hanya mau bergerak ketika ada perintah.
Kata “jangan” tampil sebagai kosakata favorit dalam melarang.
Kata ini biasanya diikuti dengan kata kerja yang maknanya negatif. Sementara
bagi anak usia 0-7 tahun kata jangan itu abstrak. Otak mereka tidak bisa memproses.
Akhirnya yang diproses itu kata yang ada pada bagian akhirnya. Jangan menangis.
Maka yang ditangkap anak adalah menangis.
Otak anak dalam rentang waktu itu masih dalam proses
perkembangan. Masih belum bisa membedakan mana benar mana salah. Informasi yang
memuat kata jangan belum bisa dicerna di bawah usia 0-7 tahun yang disebut Jean Piaget sebagai tahapan pra operasional.
Dan baru mulai bisa dicerna pada usia tahapan operasional konkret di kisaran
usia 7-11 tahun.
Lalu bagaimana dengan kata JANGAN dalam Al Qur’an? Ada baiknya
anda bisa buka link http://sayangianak.com/ini-jawaban-dari-pelarangan-kata-jangan-dalam-pengasuhan-anak-dalam-al-quran/
Menghindari kata jangan, terutama pada anak usia dini, akan
membuat anak kreatif, punya pilihan, punya inisiatif, dan melihat semua hal
dalam sisi positifnya, termasuk memaknai ayat-ayat Allah. Dengan demikian, anak
akan tidak memukul teman karena dalam Al Qur’an dikatakan bahwa Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik (2:195)
Dengan meminimalisir kata jangan, anak diajarkan tidak sombong,
karena Allah mengatakan “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang
yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati (25:63)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar