Guru memainkan perannya sebagai fasilitator dalam sebuah game, "Merebut Singgasana" - foto by Araf Hakim |
Pasti tidak menyenangkan jika
suasana kelas wajah gurunya kurang ekspresif. Susah senyum. Cemberut. Muka
seperti ditekuk. Wajah guru yang tampan atau cantik pun akan tertutup jika
menampilkan wajah yang kurang senyum. Belum lagi dengan kata-kata yang
terucapkan terbilang datar, terkesan sangat biasa, tidak tulus terucap, hanya
sebatas formalitas saja. Kata-kata yang diucapkan tidak dengan hati, pasti
tidak akan memiliki kekuatan yang menggerakkan.
Coba raba-raba ingatan kita. Adakah
kita pernah menemukan teman-teman guru-guru yang sama sekali tidak ekspresif!
Saya yakin ada, mungkin guru kita, teman kita sesama guru. Tapi mudah-mudahan
bukan anda.
Bagaimana lingkungan memandang
mereka? Tentu akan memandang yang nadanya kurang lebih sama. Tidak
menyenangkan. Tidak mengesankan. Dalam buku yang akan saya rilis dalam waktu
dekat, Hanya Satu Menit; anda bisa menaklukkan hati murid, ada satu
bagian kecil bagaimana saya membeberkan strategi saya dalam memikat hati murid.
Salah satu rahasianya adalah kita, sebagai guru, harus tampil sebagai seorang aktor!
Sebagai actor atau aktris guru
harus pandai memainkan berbagai peran dalam menampilkan beragam macam ekspresi.
Tidak hanya wajah, tapi juga suara. Termasuk intonasinya. Tentu tidak sinkron,
ketika ada guru menyampaikan sebuah pesan yang baik, tapi diucapkan dengan
wajah yang kurang ekspresif. Seperti misalnya, “Kalau ingin berprestasi,
teruslah berlatih,” kata guru dengan ekspresi lemah karena kelelahan mengajar. Atau
begini, “Pak guru baik-baik saja,” ucap seorang guru dengan ekspresi lesu! Tentu
tetap tidak menarik.
Selaras! Begitulah seharusnya
seorang expressive teacher! Selaras
antara wajah, ucapan, dan tindakan dengan ekspresi yang sesuai. Dunia yang kita hadapi adalah anak-anak yang begitu
ceria hari-harinya. Bisa dibayangkan jika anaknya ceria, tapi gurunya menampilkan
ekspresi seperti tersiksa. Tapi jika sampai sekarang masih belum bisa selaras
juga itu artinya ada satu mata rantai yang belum tuntas dalam fase
kehidupannya. Dia belum benar-benar menjiwai perannya sebagai seorang guru.
Cobalah sesekali sapa murid kita
dengan wajah penuh cahaya saat mereka tengah duduk santai di kala istirahat.
Berikan sebuah kata-kata pembuka yang membuat mereka penasaran ingin
mendengarkan lanjutan yang ingin kita sampaikan. Jika murid kita menampilkan
eskpresi ingin tahu, itu sebuah pertanda kalau kita berhasil. Tapi jika tidak,
murid kita malah menampilkan wajah sebaliknya, dengan mengatakan, “Tumben…!!!”
itu sebuah pertanda ekspresi kita perlu dievaluasi.