Selasa, Oktober 04, 2016

Anak PAUD Tidak Butuh PR!



Anak usia dini tidak butuh PR. Mereka butuh bermain. (nspt4kids.com)
Dalam buku Crisis in the Kindergarten, Why Children Need to Play in School yang diterbitkan Alliance for Childhood (2009) menuliskan dalam dua dekade terakhir TK Di Amerika Serikat berubah secara radikal. Anak-anak kini menghabiskan waktu jauh lebih banyak untuk diajari dan dites aksara dan matematika.  Banyak pakar pendidikan cemas menyoroti kian susutnya waktu istirahat dan kesempatan main secara alamiah bagi anak-anak usia dini.

Salah satu pakar yang merasakan kecemasan itu adalah George H. Wood, Direktur Eksekutif Forum for Education and Democracy. Wood mengatakan anak-anak kehilangan kegembiraan main dan kreativitas keingintahuan. Waktu main yang diperoleh anak sering berupa permainan di video, gadget, yang dirancang orang dewasa dan olahraga tim yang juga dikelola orang dewasa. Praktis tak ada waktu main bebas.

Dampaknya mereka tumbuh menjadi orang dewasa yang lemah secara intelektual, emosional, juga emosional. Penyebabnya adalah kebijakan otoritas pendidikan yang memacu kejar tayang pengajaran keaksaraan dan matematika. D Indonesia lebih kita kenal calistung.
Kepanikan yang sama juga terjadi di China. Benar, negeri ini termasuk sukses memproduksi mainan tiruan dalam jumlah massal dengan eksploitasi buruh yang dibayar murah, tapi, para pengusaha di sana kesulitan mendapatkan pegawai, yang mampu memecahkan masalah dan membawa solusi kreatif serta inovatif.

Di Indonesia yang terjadi adalah sebaliknya. Banyak orang tua cemas jika lulus TK, anaknya belum bisa calistung. Alasannya untuk masuk SD terutama sekolah favorit, salah satu syaratnya harus sudah bisa membaca, menulis, dan menghitung. Bahkan sampai ada yang sebelum masuk SD, anak diikutkan privat membaca. Sungguh kecemasan yang bertolakbelakang. Ketika di Amerika, justru menyoroti agar anak punya banyak waktu main, tapi justru di Indonesia yang disorot adalah bagaimana agar anak tidak terlalu banyak main saat belajar di TK, karena tuntutan anak bisa membaca di usia dini.

Terlepas dari belum lurusnya sudut pandang orang tua mengenai kebutuhan bermain anak, ilustrasi di atas setidaknya menggambarkan betapa masa bermain menempati posisi yang sedemikian penting bagi anak-anak. Terutama untuk masa depannya. Lantas, apa yang terjadi jika masa bermain anak tidak tuntas? Atau bermain namun tidak sesuai dengan kebutuhan tahap perkembangan anak? Bisa dipastikan dia akan bermasalah dengan kehidupannya, seperti yang dialami para pengusaha China yang kerepotan mencari pegawai.

Anak-anak sudah semestinya mendapatkan hak untuk menuntaskan masa bermain, dan tidak dibebani dengan tuntutan akademik di sekolah. Lebih-lebih untuk pendidikan anak usia dini. Biarkan anak tumbuh sesuai tahap perkembangannya. Main adalah sunatullah dalam proses perkembangan anak. Bermain adalah kebutuhan, dan kebutuhan harus dituntaskan! Jika tidak, mereka akan berupaya memenuhi kebutuhan bermainnya ketika mereka sudah tak kanak lagi, kelak ketika mereka tumbuh dewasa, besarnya nagih!

Sudah begitu banyak contoh yang bisa kita ambil pelajaran di dalamnya. Coba perhatikan, masih banyak kita temukan orang-orang dewasa yang perilakunya seperti anak-anak. Padahal di usia dewasa harusnya sudah bisa lebih fokus kepada hal-hal yang lebih bermanfaat. Orang dewasa yang punya perilaku anak-anak bisa dipastikan punya pengalaman yang tidak tuntas masa bermainnya. Biasanya kurang bisa menentukan skala prioritas, kurang inisiatif, termasuk kurang bisa memenej keperluan diri. Mereka punya masalah dalam klasifikasi waktu, termasuk membedakan kegiatan mana yang bermanfaat, mana yang mudharat. Waktu, kesempatan, bahkan kesehatan dirinya terancam lenyap untuk kegiatan yang sia-sia.

Jean Piaget (1951) mengemukakan hasil penelitiannya yang intensif selema beberapa tahun, bahwa anak-anak adalah pembelajar aktif melalui dua aktivitas; main dan imitasi. Dalam main, anak-anak bertindak menurut perilaku mereka yang telah terbentuk dan mengadaptasi realitas untuk menyesuaikan diri dengannya dalam suasana yang menyenangkan. Sedangkan dalam imitasi, anak-anak berlaku seakan-akan seperti orang lain dalam rangka memahami dunia di sekitar mereka.

Masa bermain di sini adalah main yang bermakna, main yang bertujuan, tidak sekedar melakukan aktivitas yang menyenangkan. Dalam perspektif metode sentra, setiap main memiliki prosedur kerja yang ketat dan harus diikuti sesuai urutan dan aturan main, seperti memilih teman, memilih pekerjaan, kemudian kerja fokus dan tuntas, sesudah itu melaporkan hasil kerja, dan kemudian beres-beres merapikan kembali kelas dan membuang sampah pada tempatnya.

Sayangnya orang tua banyak yang beranggapan bahwa anak belajar bukan lewat bermain. Kebanyakan berpendapat bahwa main membuat anak tidak punya aturan. Padahal justru lewat mainlah anak akan memahami aturan, karena dalam bermain mereka menghadapi orang lain dan belajar berinteraksi dengan menggunakan bahasa dan main peran.
Mengapa bermain itu penting itu sudah tidak terbantahkan. Melalui bermain anak-anak akan merasakan belajar sebagai aktivitas yang menyenangkan dan menghibur, karena belajar sejatinya tidak hanya menempatkan informasi ke dalam pikiran anak-anak kemudian meminta anak menyebutkan informasinya. Anak-anak harus main dengan informasi baru untuk memahami informasi itu sendiri.

Jadi ketika masih ada PAUD yang memberikan PR kepada anak-anaknya sebaiknya stop sekarang juga. Karena anak PAUD tidak butuh PR. Yang mereka butuhkan adalah bermain, bermain, dan bermain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN