Anak usia dini tidak butuh PR. Mereka butuh bermain. (nspt4kids.com) |
Salah satu pakar yang merasakan
kecemasan itu adalah George H. Wood, Direktur Eksekutif Forum for Education and
Democracy. Wood mengatakan anak-anak kehilangan kegembiraan main dan
kreativitas keingintahuan. Waktu main yang diperoleh anak sering berupa
permainan di video, gadget, yang dirancang orang dewasa dan olahraga tim yang
juga dikelola orang dewasa. Praktis tak ada waktu main bebas.
Dampaknya mereka tumbuh menjadi orang
dewasa yang lemah secara intelektual, emosional, juga emosional. Penyebabnya
adalah kebijakan otoritas pendidikan yang memacu kejar tayang pengajaran
keaksaraan dan matematika. D Indonesia lebih kita kenal calistung.
Kepanikan yang sama juga terjadi
di China. Benar, negeri ini termasuk sukses memproduksi mainan tiruan dalam
jumlah massal dengan eksploitasi buruh yang dibayar murah, tapi, para pengusaha
di sana kesulitan mendapatkan pegawai, yang mampu memecahkan masalah dan
membawa solusi kreatif serta inovatif.
Di Indonesia yang terjadi adalah
sebaliknya. Banyak orang tua cemas jika lulus TK, anaknya belum bisa calistung.
Alasannya untuk masuk SD terutama sekolah favorit, salah satu syaratnya harus
sudah bisa membaca, menulis, dan menghitung. Bahkan sampai ada yang sebelum
masuk SD, anak diikutkan privat membaca. Sungguh kecemasan yang bertolakbelakang.
Ketika di Amerika, justru menyoroti agar anak punya banyak waktu main, tapi
justru di Indonesia yang disorot adalah bagaimana agar anak tidak terlalu
banyak main saat belajar di TK, karena tuntutan anak bisa membaca di usia dini.
Terlepas dari belum lurusnya
sudut pandang orang tua mengenai kebutuhan bermain anak, ilustrasi di atas
setidaknya menggambarkan betapa masa bermain menempati posisi yang sedemikian penting
bagi anak-anak. Terutama untuk masa depannya. Lantas, apa yang terjadi jika
masa bermain anak tidak tuntas? Atau bermain namun tidak sesuai dengan kebutuhan
tahap perkembangan anak? Bisa dipastikan dia akan bermasalah dengan
kehidupannya, seperti yang dialami para pengusaha China yang kerepotan mencari
pegawai.
Anak-anak sudah semestinya
mendapatkan hak untuk menuntaskan masa bermain, dan tidak dibebani dengan
tuntutan akademik di sekolah. Lebih-lebih untuk pendidikan anak usia dini. Biarkan
anak tumbuh sesuai tahap perkembangannya. Main adalah sunatullah dalam proses perkembangan anak. Bermain adalah
kebutuhan, dan kebutuhan harus dituntaskan! Jika tidak, mereka akan berupaya
memenuhi kebutuhan bermainnya ketika mereka sudah tak kanak lagi, kelak ketika
mereka tumbuh dewasa, besarnya nagih!
Sudah begitu banyak contoh yang
bisa kita ambil pelajaran di dalamnya. Coba perhatikan, masih banyak kita
temukan orang-orang dewasa yang perilakunya seperti anak-anak. Padahal di usia
dewasa harusnya sudah bisa lebih fokus kepada hal-hal yang lebih bermanfaat. Orang
dewasa yang punya perilaku anak-anak bisa dipastikan punya pengalaman yang
tidak tuntas masa bermainnya. Biasanya kurang bisa menentukan skala prioritas,
kurang inisiatif, termasuk kurang bisa memenej
keperluan diri. Mereka punya masalah dalam klasifikasi waktu, termasuk
membedakan kegiatan mana yang bermanfaat, mana yang mudharat. Waktu, kesempatan, bahkan kesehatan dirinya terancam
lenyap untuk kegiatan yang sia-sia.
Jean Piaget (1951) mengemukakan
hasil penelitiannya yang intensif selema beberapa tahun, bahwa anak-anak adalah
pembelajar aktif melalui dua aktivitas; main dan imitasi. Dalam main, anak-anak
bertindak menurut perilaku mereka yang telah terbentuk dan mengadaptasi
realitas untuk menyesuaikan diri dengannya dalam suasana yang menyenangkan.
Sedangkan dalam imitasi, anak-anak berlaku seakan-akan seperti orang lain dalam
rangka memahami dunia di sekitar mereka.
Masa bermain di sini adalah main
yang bermakna, main yang bertujuan, tidak sekedar melakukan aktivitas yang
menyenangkan. Dalam perspektif metode sentra, setiap main memiliki prosedur
kerja yang ketat dan harus diikuti sesuai urutan dan aturan main, seperti
memilih teman, memilih pekerjaan, kemudian kerja fokus dan tuntas, sesudah itu
melaporkan hasil kerja, dan kemudian beres-beres merapikan kembali kelas dan
membuang sampah pada tempatnya.
Sayangnya orang tua banyak yang
beranggapan bahwa anak belajar bukan lewat bermain. Kebanyakan berpendapat
bahwa main membuat anak tidak punya aturan. Padahal justru lewat mainlah anak
akan memahami aturan, karena dalam bermain mereka menghadapi orang lain dan
belajar berinteraksi dengan menggunakan bahasa dan main peran.
Mengapa bermain itu penting itu
sudah tidak terbantahkan. Melalui bermain anak-anak akan merasakan belajar
sebagai aktivitas yang menyenangkan dan menghibur, karena belajar sejatinya
tidak hanya menempatkan informasi ke dalam pikiran anak-anak kemudian meminta
anak menyebutkan informasinya. Anak-anak harus main dengan informasi baru untuk
memahami informasi itu sendiri.
Jadi ketika masih ada PAUD yang memberikan PR kepada anak-anaknya sebaiknya stop sekarang juga. Karena anak PAUD tidak butuh PR. Yang mereka butuhkan adalah bermain, bermain, dan bermain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar