Selasa, Oktober 04, 2016

Ketika Semua Keinginan Anak Dikabulkan



Dengan wajah penuh kecemasan seorang ibu datang ke sekolah. Terlihat sang ibu seperti menguatkan diri untuk mengucapkan sesuatu. Setelah tenang, barulah ia mulai mengisahkan jika kedatangannya bermaksud mengajukan cuti sekolah anaknya yang berusia 4 tahun. Alasannya, ia sudah kewalahan menghadapi anaknya yang kain hari makin susah diatur, tambah nakal, anaknya bahkan mendesak terus untuk tidak mau sekolah.

“Ibu yakin keputusan untuk cuti adalah yang terbaik? Apa bukannya tambah parah, bahkan ibu malah semakin repot?” kata Bu Sundari. Si ibu bingung. Membenarkan pertanyaan itu.

Akhirnya si ibu mulai bercerita, akar dari masalahnya kenapa anaknya sekarang mulai susah diatur, tidak mau berangkat sekolah, sampai akhirnya mau ambil cuti sekolah.

Tapi yang jelas dari kisahnya baik ayah maupun ibunya selalu menuruti semua kemauannya. Dia mengamuk kalau tidak dituruti. Dan itu menjadi senjata untuk mendapatkan kemauannya. Saat anaknya  tidak nurut kekerasannya mulai muncul. Baik verbal mapun fisik. Ditambah lagi dengan mulai munculnya rasa cemburu dengan kehadiran adiknya. Sementara setiap hari kehadiran ayah tidak ia rasakan. Ayahnya pelaut. Belum lagi lingkungan keluarga besarnya yang menuntut untuk keras mendidik anaknya, menuntut anaknya sekolah bisa calistung, dan membandingkan dengan yang lain. Lengkap sudah pola pengasuhan yang anak terima.

Barulah sesuatu yang tidak diharapkan itu terjadi. Semakin hari semakin tinggi permintaannya. Awalnya sederhana. Pas sekolah minta dibelikan es krim. Pulang minta jalan-jalan. Belakangan permintaannya semakin tinggi, dia sedang minta dibelikan sepeda motor mini seperti yang disewakan di alun-alun. Alasannya, capek gowes sepeda! Daripada rewel terus, ayahnya berencana membelikan. 

Jangan-jangan kalau masih dituruti dengan begitu mudahnya, kelak kalau dewasa dia minta sepeda motor, minta mobil, minta rumah, minta nikah. Seolah semua itu bisa ia dapatkan tanpa kerja keras.

Si ibu mulai sadar, bahwa polanya semakin salah. Lantas harus dimulai dari mana untuk mengubah semuanya. Jika dilihat dari perspektif metode sentra, dari kasus ini, ada pola berbahasa yang harus diluruskan. Melakukan serangan verbal apalagi fisik sudah tidak dibenarkan. 

Metode Sentra menerapkan larangan 3M dalam mendidik anak. Tanpa memarahi, tanpa menyuruh, tanpa melarang. Keras dalam mendidik anak sudah harus diluweskan. Usia anak 4 tahun merupakan tahap pra operasional dalam tahap perkembangan anak. Di usia ini anak mulai muncul egosentrismenya. Didukung dengan rasa ingin tahu yang lagi tinggi-tingginya. Ketika tidak terfasilitasi semua kebutuhannya, maka dia akan terus mencari. Kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan untuk diperhatikan, kebutuhan ingin dihargai, menjadi kebutuhan mutlak yang harus didapatkan anak. Dan saya melihat, anak tersebut tidak mendapatkannya. 

Kebutuhan kasih sayang tidak utuh dia dapatkan, karena ketiadaan sosok ayah. Sementara kasih sayang dan perhatian ibu, sudah teralihkan dengan kehadiran adik bayi. Dan mulai sekarang, sebaiknya stop labeling, membandingkan dengan anak yang lain. Melabeli dia sebagai anak nakal, susah diatur, itu sebenarnya kita sendiri yang menciptakan. Anak hanya butuh perhatian. Tidak ada anak seusianya yang sudah mengklaim dirinya sebagai anak nakal. Misalkan dia bilang, “Lihat mah, aku ini anak nakal.” Tidak ada. Jangan paksa anak memahami kita sebagai orang tua. Kitalah yang harus memahami apa yang sebenarnya mereka butuhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN