Senin, Oktober 31, 2016

Sandal-sandal Di Masjid Pun Tertata Rapi…



Sebelum subuh tiba anak-anak SMART EKSELENSIA Bogor sudah memadati masjid untuk menunaikan shalat tahajud berjamaah. Ada nuansa menggetarkan dada manakala menyaksikan betapa tertibnya pelaksanaan shalat. Padahal shalat tertib masih menjadi masalah sebagian besar sekolah-sekolah berasrama yang memiliki jumlah siswa yang begitu banyak.

Tapi saya melihat sesuatu yang berbeda ketika berkesempatan mengunjungi sekolah yang berada di bawah naungan Dompet Dhuafa ini. Kesempatan ini saya dapatkan manakala saya menjadi peserta pelatihan Training for Trainer Guru Abad 21 yang diselenggarakan Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa pada 27-29 Oktober 2016.

Dalam hati saya bertanya-tanya, bagaimana bisa sekolah ini mendidik murid-muridnya bisa tertib saat shalat di masjid? Hasil pengamatan saya selama tiga hari, ternyata saya menemukan ada satu rahasia yang mungkin tidak dimiliki sekolah lain.

Saya melihat ada pembagian tugas yang sudah terjadwal rapi. Setiap hari petugasnya berbeda. Setiap anak mendapat giliran. Ada anak-anak yang bertugas menjadi muadzin, memimpin dzikir alma’tsurat. Saya juga menemukan hal baru, ketika shalat akan dimulai, ada anak SMART membacakan tata tertib shalat di masjid. Mulai dari membaca doa masuk masjid, masuk dengan mendahulukan kaki kanan, melaksanakan shalat tahiyatul masjid sebelum duduk, melaksanakan shalat qabliyah, menjawab seruan adzan, berdzikir/berdoa di antara adzan dan iqomah, tidak bicara, bercanda atau batuk-batukan yang disengaja karena dapat membatalkan shalat, dan lain sebagainya. Itulah yang membuat suasana ibadah menjadi lebih khusyuk. 

Lantas bagaimana menyiasati kalau ada anak SMART yang mengantuk saat berdzikir? SMART Ekselensia juga sepertinya sudah ada kesepakatan. Ketika mengantuk, ada anak yang bertugas mengingatkan dengan menyentuh pundak perlahan. Jika mengantuknya parah, anak yang mengantuk diminta berdiri sampai batas waktu tertentu. Ini mungkin menjadi satu strategi agar anak tetap terjaga dan tidak tertidur setelah subuh.

Suasana disiplin memang menjadi komitmen sekolah ini. Dan bedanya sangat terlihat dan begitu terasa. Bahkan dari hal paling sederhana sekalipun seperti misalnya bagaimana sandal tertata dengan rapi di depan masjid. Jika di masjid-masjid kita menemukan banyak posisi sandal  tidak beraturan, tetapi tidak untuk di masjid sekolah SMART Ekselensia. Sandal-sandal tertata rapi, dengan posisi 180 derajat arah ketika masuk masjid. Sandal diletakkan sedemikian rupa agar pas keluar masjid, sudah siap langsung pakai.

Tak ada salahnya jika apa yang diterapkan di SMART Ekselensia ini juga diterapkan di sekolah-sekolah lain. Tampaknya sederhana, tapi efeknya sangat terasa. Semoga bisa menginspirasi.

Jumat, Oktober 28, 2016

Menjadi Guru yang Naik Kelas

Suasana TFT Guru Abad 21 Makmal Pendidikan 27-29 Oktober
JAM TERBANG ADALAH PENGALAMAN YANG TAK BISA DIBELI SIAPAPUN. UNTUK MENDAPATKANNYA HARUS MENGALAMI SENDIRI DAN TAK BISA DIWAKILKAN. Semakin tinggi jam terbang seseorang maka akan semakin mahal nilai pengalaman yang didapatkan.

Itulah pelajaran yang saya dapatkan manakala mengikuti Training for Trainer Guru Abad 21 yang diselenggarakan Makmal Pendidikan Dompet Dhuafa pada 27-29 Oktober 2016 di Bogor, Jawa Barat.

Selama tiga hari kami dibimbing tiga trainer Makmal Pendidikan, seperti Trainer Guru Kreatif Najim Rida Sya’bani, Top’s Trainer Zayd Sayfullah, dan Trainer Guru Bahagia Zainal Umuri. Mereka sharing pengalaman sekaligus berbagi tips kepada 20 guru untuk dididik dan disiapkan menjadi trainer handal dan professional sesuai kompetensi yang dimiliki masing-masing.  

Guru dan trainer adalah dua profesi yang memiliki kesamaan sekaligus perbedaan. Sama-sama hebatnya. Baik trainer maupun guru sama-sama menyampaikan pelajaran. Perbedaan yang ada terletak pada keluwesan ruang gerak dan dinamisnya. Trainer menyampaikan materi  yang sama pada peserta pelatihan yang berbeda. Sementara guru menyampaikan materi pada murid yang sama dalam kurun waktu satu tahun setidaknya.

Secara dampak dari intensitas pertemuan antara guru murid, semestinya guru jauh lebih ngefek daripada trainer yang ngisi training tidak setiap hari. Guru semestinya tahu benar karakter satu persatu anak dibandingkan dengan trainer yang hanya menyampaikan pelajaran kepada audiens secara global.

Namun faktanya kondisi ini sepertinya berbalik. Terlalu banyak guru yang menganggap trainer lebih hebat dari guru. Pengalaman saya tergabung dalam sebuah tim training di berbagai kesmepatan pelatihan, yang disampaikan trainer ya itu-itu saja. Sampai-sampai saya hafal di luar kepala apa yang akan disampaikan saat trainer mengisi training. Saya sampai hafal benar kalimat pembuka yang pasti disampaikan trainer, termasuk joke-joke yang digunakan setiap kali ngisi training, bahkan termasuk batuknya sekalipun sampai hafal pada menit ke berapa, hehehe…. (kalimat bagian akhir ini abaikan, hehehe…)

Sebagai guru mestinya kita bangga, karena punya banyak waktu tatap muka di kelas dengan murid-murid kita. Itulah kesempatan yang tidak didapatkan semua orang. Ketika para trainer berlomba meningkatkan jam terbang, guru sudah dengan sangat mudahnya mendapatkan jam terbang dengan jumlah pertemuan paling tidak 24 jam dalam sepekan. Bayangkan, jika sebulan guru sudah memiliki pengalaman 96 jam terbang. Dalam satu tahun dia sudah memiliki 1.152 jam terbang. Dalam kurun 5 tahun 5.760 jam. Dalam tempo 10 tahun dia sudah memiliki 11.152 jam terbang mengajar sebagai guru.

Jam terbang yang cukup untuk bisa disebut sebagai expert di bidangnya. Karena dalam dunia public speaking, seseorang untuk bisa disebut sebagai expert paling tidak memiliki 10.000 jam terbang. Dan dunia pendidikan tidak lepas dari public speaking, satu seni kemampuan berbicara yang mutlak harus dimiliki oleh seorang guru.

Angka 11.152 jam itu hanya dihitung dari jam mengajar di sekolah saja. Bisa  jadi kemampuan guru akan semakin meningkat ketika guru naik kelas menjadi trainer atau inspirator bagi guru-guru yang lain. Anda siap?

Minggu, Oktober 23, 2016

4 Pelajaran Moral Dari Kegiatan Makan Siang



Pada satu kesempatan saya pernah mengamati bagaimana cara anak-anak SD Al Biruni makan siang. Mereka duduk rapi melingkari meja di atas kursi masing-masing. Makanan sudah siap tersaji; ada nasi, sayur sawi, ikan dan tempe goreng. 

“Teman-teman, siapa yang hari ini memimpin kegiatan makan siang?” tanya Bu Izzah.

Azzam yang merasa bertugas langsung mengambil posisi siap memimpin. Di sinilah pemandangan menarik terjadi. Selesai memimpin doa, Azzam memberikan informasi kepada teman-temannya. Dengan penuh percaya diri Azzam menyampaikan informasi kepada teman-temannya.

“Alhamdulilah, rezeki kita hari ini ada nasi. Nasi ini mengandung karbohidrat. Berguna untuk menghasilkan energy untuk kita melakukan kegiatan.”

Kemudian Azzam lanjut menginformasikan lauk pauk yang akan mereka nikmati.

“Alhamdulilah lauk kita hari ini ada tempe. Tempe ini terbuat dari kedelai, mengandung protein nabati. Ada juga sayur sawi dan tahu. Ada juga ikan yang mengandung protein hewani.”

It’s amazing! Benar-benar tidak biasa. Saya berpikir, bahwa inilah pembelajaran yang sebenarnya. Belajar berbahasanya dapat, belajar sainsnya apalagi. Penanaman nilai-nilai karakternya begitu terlihat dengan begitu gamblang. Melalui kegiatan makan siang ini saya mendapatkan pelajaran moral nomor satu; kegiatan makan siang di sekolah, ternyata tidak sekedar memindahkan status perut dari lapar menjadi kenyang.

kegiatan snack pagi, makan buah
Di PAUD Buana Kids temuan pengamatan saya tidak kalah menarik. Anak-anak terlihat mengambil nasi sesuai kebutuhan. Lalu wadah nasi itu digeser kepada anak di sebelahnya sampai semua dapat giliran. Sampai pada suatu ketika nasi ternyata tidak bergerak. Masih berada di atas meja, karena tidak ada anak  yang duduk di atas kursi sebelah anak yang baru saja mengambil nasi. Pemiliki kursi itu sedang ada di kamar kecil.

Sempat ada anak yang meminta nasi itu bergerak ke arahnya. Tapi pada saat itu pula ada anak yang mengingatkan, “Sabar menunggu giliran. Teman kita sedang ada di kamar kecil.” Luar biasanya nasi tetap tidak berpindah sampai anak itu datang. Pelajaran moral nomor dua. Sabar menunggu giliran.

Cara guru-gurunya berbahasa juga menarik dipelajari sekaligus dikaji. Ketika anak mengambil nasi terlalu banyak, guru akan menyampaikan,

“Apakah Azzam sudah mengambil nasi sesuai kebutuhan?”

Ketika anak menjawab sudah. Guru lanjut bertanya lagi, “Apakah Azam perlu makan banyak hari ini?”

Ketika anak menjawab iya, guru memberikan konsekuensi. “Bertanggung jawab dengan nasi yang sudah diambil.”

Sebaliknya ketika ada anak mengambil nasi terlalu sedikit guru akan menyampaikan, “Apakah sudah mengambil nasi sesuai kebutuhan?”

Saat anak menjawab sudah, sang guru meyakinkan lagi.

“Syifa tadi sudah berkegiatan dan akan melanjutkan kegiatan. Syifa perlu energi yang banyak,” kata gurunya menggiring Syifa untuk mengambil keputusan. Anak tersebut tetap pada pilihannya. Makan sedikit. Sampai akhirnya guru memberikan pilihan “Baik. Nanti Syifa bisa nambah jika diperlukan.”
Entah karena hebatnya guru yang bisa membaca anaknya, yang terjadi anak tersebut memang benar-benar nambah makannya. Pelajaran moral nomor tiga; makanlah sesuai kebutuhan.

Dan dari serangkaian pelajaran moral dari kegiatan makan siang ini, sampailah pada satu tahap kesimpulan. Biarkan anak-anak mengambil keputusan sendiri. Tugas kita sebagai guru dan orang tua adalah membantu memberikan pertimbangan. Kelak dari sinilah akan lahir para pemimpin yang berani mengambil keputusan yang didasari atas dasar pertimbangan. Tidak dictator. Tidak serampangan. Dan inilah yang menjadi pelajaran moral nomor empat, menjadi leader itu harus berani menentukan pilihan, kudu berani mengambil keputusan.

Oya satu lagi yang terlewat, selesai makan siang, anak-anak bergerak mencuci piringnya masing-masing. Dan saya yakin anda akan sepakat jika kegiatan mencuci piring sendiri ini bisa menjadi pelajaran moral yang kelima.

Selasa, Oktober 18, 2016

Sudahkah Kita Berbuat untuk Kebahagiaan Mereka?



Ini kisah kala saya masih menjadi guru. Saya pernah mengadakan penelitian kecil-kecilan. Respodennya murid-murid saya sendiri. Di awal saya sudah menyampaikan kepada anak-anak untuk menjawab semua pertanyaan dengan jujur. Saya sampaikan kepada mereka, “Seandainya harus memilih, kalian mau pilih mana, bicara jujur atau dipaksa jujur?”
Serempak anak-anak menjawab, “Jujur.” Penggiringan jawaban saya berhasil. Hehehe…

Pertanyaan pertama dimulai, “Apakah kamu sayang ibu dan ayah?”

Seratus persen jawabannya adalah ya. Pertanyaan saya lanjutkan.

“Apa buktinya kalau kamu sayang sama ayah ibu?”

Dengan polos mereka menjawab, karena selalu memberi apa yang aku minta. Karena ayah selalu memberikan kalung dan gelang emas, ibu membelikan aku baju, mainan, sepatu.
Saya masih menganggap wajar ketika penilaian anak menilai kasih sayang masih dengan materi. Bagi mereka mendapatkan apa yang diinginkan dari orang tua adalah tanda sayang. Tanda cinta orang tua kepada anaknya.

Saya kembali melanjutkan pertanyaan. “Bayangkan 15 tahun lagi kamu adalah orang yang berhasil dalam kehidupan. Jadi orang sukses. Kamu bisa membeli apa saja yang  kamu mau. Bisa mendapatkan apa saja dengan kesuksesan yang kamu miliki. Apa yang akan kamu berikan kepada ayah dan ibumu?”

Mereka antusias menuliskan impian-impiannya. Tita menuliskan, “Jika aku sukses, aku akan membelikan ibu sebuah mobil, motor, tas, dan uang sebanyak satu juta rupiah. Aku juga akan membelikan ayah motor, baju  koko, peci dan uang satu juta rupiah.”

Indri menuliskannya begini, “Jika aku sukses aku akan membelikan umi dan ayah rumah, mobil, uang, tiket haji/umroh, TV, sandal, HP, makanan, mukenah, sarung, kulkas, meja makan, kursi, kasur, meja kaca, dan lemari.”

Sementara Azka hanya menuliskan dua hal ,”Jika aku sukses, aku akan mendaftarkan ayah dan ibu naik haji. Aku juga akan memberikan ayah ibu kasih sayang.”

Lantas, saya memberikan sebuah pertanyaan lanjutan. “Coba hitung berapa usia ayah ibu kamu lima belas tahun mendatang? Katakanlah usia ayah kamu sekarang 40 tahun, jika lima belas tahun lagi berarti usianya 55 tahun. Jika ada yang usianya sekarang 50 tahun, maka dalam waktu 15 tahun ke depan, berarti usianya 65 tahun. Itu pun jika diberi umur panjang oleh Allah. Pertanyaannya adalah apakah semua yang kamu berikan ketika kamu sukses, bisa membahagiakan orang tua kalian?”

Suasana hening. “Bagaimana seandainya kalau ayah ayah ibu kalian sakit-sakitan? Apa masih berguna mobil mewah yang kamu berikan? Kamu sukses, tapi dengan kesuksesan yang kamu miliki apakah bisa membahagiakan orang tua kamu?”

Mereka mikir. Eh, lama-lama malah nangis. 

#Edisi muhasabah sambil merenung sudahkah kita berbuat untuk kebahagiaan mereka?

Senin, Oktober 17, 2016

Kreatif Memilih Bahasa



Wajah Aisyah sumringah. Ia baru saja mengkreasikan tasnya menjadi lebih cantik dengan tambahan warna hijau, jingga, dan merah. Ia ingin menunjukkan hasil karyanya kepada ibu tercinta. “Ibu, tasku cantik ya,” ucap Aisyah sambil memperlihatkan tas yang sudah ia warnai dengan crayon.

Melihat tasnya jadi berubah ‘cantik’ sang ibu mencoba mengapresiasi. Reaksi ibu sudah bagus. Tidak menunjukkan ekspresi marah maupun melarang.

“Oh, iya bagus sekali ya. Anak ibu memang kreatif, tapi lain kali kalau mewarnai di buku gambar ya…”

Sayang, mendengar jawaban dari ibunya, rona wajah Aisyah berubah. Yang semula sumringah jadi terlihat kecewa. Sang ibu menjadi bertanya-tanya. Apa ada yang salah dengan caranya mengingatkan?

Mari kita telusuri bagaimana cara ibu mengapresiasi.

Sekilas kita amati, yang ibu sampaikan terlihat tidak ada masalah. Namun sebenarnya ada satu kata yang membuat reaksi anaknya berubah; kata tapi. Kata “tapi” bersifat meniadakan, menghilangkan arti dari kalimat atau frasa sebelumnya. Awalnya mengangkat tapi setelah itu menjatuhkan. Sifat meniadakan itu tidak akan terjadi ketika ada penambahan fakta lagi yang bisa menguatkan alasan yang menunjuk kepada fakta. Seperti misalnya

Oh anak  ibu menemukan tempat baru untuk mewarnai ya. Tapi sebaiknya kita mewarnai di tempat yang sesuai ya. Ada kertas yang bisa digunakan untuk menggambar dan mewarnai

Kalimat di atas memang ada kata tapi. Tetapi pada bagian terakhir ada fakta yang lebih menguatkan tentang fungsi sebuah kertas.

Bisa pula kita perlihatkan fakta yang lain, “warna krayon di tas akan pudar jika kena air.”
Jika tertarik ingin menggali lebih dalam bisa mengajak anak berdiskusi. Dan kita harus siap melakukan improvisasi untuk memberikan jawaban dengan bahasa yang tepat. Misalnya dengan melemparkan pertanyaan.

“Fungsi tas untuk apa Aisyah?”

“Aisyah nyaman dengan tas yang sudah diwarnai crayon?”

Jika Aisyah jawab, “Nyaman” bisa kita berikan pertanyaan lanjutan,

“Apakah benar fungsi tas untuk diwarnai?”

Atau dengan pertanyaan, 

“Apakah Aisyah sudah menggunakan tas sesuai fungsinya?”

Bisa tambahkan fakta-fakta lain untuk menguatkan.

Tas Aisyah akan lebih indah warnanya bukan dengan krayon, karena krayon untuk mewarnai kertas.

Kalau Aisyah akan mewarnai, Aisyah bisa menggunakan kertas yang sudah ibu sediakan

Warna krayon pada tas bisa luntur ketika kena air. Jadi keindahannya bisa hilang.

Kalau Aisyah mewarnai di kertas, kertasnya bisa ibu pajang di dinding. Jadi bisa dilihat ayah juga

Intinya bawa ke arah fakta. Biasanya ketika anak tahu mengerjakan sesuatu yang tidak pada mestinya, akan nyengir, apalagi kalau di sekolah sudah jadi pembiasaan saat kegiatan jurnal pagi dan siang di sekolah.

Faktor intonasi ketika mengucapkan juga tidak kalah penting. Memberikan apresiasi sudah bagus, asal tidak berlebihan. Cukup sewajarnya saja. Penyampaian pun mesti tulus.

Mentalitas Menghadapi USBN