Selasa, Agustus 23, 2016

Nasehat Satu Menit




DALAM SEBUAH KESEMPATAN LINGKARAN CINTA, sang ustadz mengawali pembicaraan, “Addin an nasihah. Agama itu nasehat. Silahkan masing-masing menyiapkan nasehat untuk semua yang hadir di sini. Saya beri waktu satu menit saja.”

 Ada 5 peserta yang hadir. Itu artinya dalam lima menit akan ada 5 nasehat. Semua peserta saling tatap. Bingung. Mereka hadir dalam lingkaran itu menyiapkan diri  untuk menyerap ilmu, untuk mendengarkan, bukannya menyampaikan nasehat. Sama sekali tidak ada rencana untuk itu, apalagi dengan waktu yang sangat terbatas; hanya satu menit.

Karena dipaksa keadaan, satu persatu mereka pun berbicara sebisanya. Dari kelima peserta,  4 diantaranya memaparkan nasehat lebih dari satu menit. Itu pun belum masuk kepada intinya. Sengaja sang ustadz tidak memberi isyarat waktu telah habis. Ini semata dilakukan untuk mengukur sejauh mana para murid-muridnya mengatur waktu, mengendalikan diri.

Dengan gugup peserta pertama memulai memberikan nasehat, “Hidup itu…,” ia diam beberapa saat. Lumayan lama. “Hidup itu…” kembali ia mengulangi pernyataan yang sama. Tiga puluh detik sudah berlalu.  Hidup adalah ujian…” ia kembali diam. “Setiap orang pasti punya masalah. Dan tidak akan pernah lepas dari masalah. Karena Allah tidak akan menimpakan masalah di luar batas kemampuannya….”

Peserta tersebut menghabiskan waktu lebih dari satu menit. Tibalah giliran peserta berikutnya. Tapi tetap gugup. Bahkan ada di antara peserta lain yang tidak bisa memanfaatkan waktu satu menit untuk memberikan nasehat. Selalu saja lebih dari satu menit. Peserta lain yang menyimak kurang begitu menangkap apa yang disampaikan. Detik-detik terbuang percuma.

Mungkin kita pernah mengalaminya. Bicara banyak, tetapi sering keluar dari tema bahasan. Tidak runut, yang mendengar tidak memahami apa  yang dibicarakan. Kita juga pasti pernah melihatnya, saat di acara seminar-seminar, terutama sesi tanya jawab, ada peserta mengajukan pertanyaan yang diawali dengan pendahuluan yang begitu panjang. Ia lupa kalau dirinya sedang bertanya, bukan menjelaskan. Padahal setelah puas menjelaskan barulah keluar pertanyaan, yang diawali 5W + 1 H itu.

Kita juga pasti pernah melihat ada seseorang ketika bicara seperti sedang berada di jalan bebas hambatan. Kita sebagai pendengar seperti tidak punya kesempatan untuk menghentikannya. Ia bicara terus seolah-olah tidak memberi kesempatan kita bicara. Padahal kalau kita lihat dari substansi, isi pembicaraannya bukanlah daging! Begitu banyak kata-kata yang diucapkan, tapi tidak berkualitas.

***

Kembali kepada nasehat satu menit dalam satu sesi lingkaran cinta itu. Empat peserta gagal memberikan nasehat satu menit. Rata-rat alebih. Waktu satu menit dirasa kurang. Sampai akhirnya tiba giliran peserta terakhir yang  bicara. Dia tarik nafas panjang, dan benar-benar  ingin memanfaatkan waktu satu menit untuk memberikan nasehat. Dia ingin berbeda dengan keempat teman lainnya yang lebih dari satu menit. Perlahan-lahan dia mulai membuka mulutnya. Kemudian mulai bersuara, “Belajarlah untuk bisa mendengarkan orang lain.”

Semua peserta lain terdiam, menyimak dengan serius kata-kata apa berikutnya yang akan keluar.

“Baik. Kami siap mendengarkan. Terus nasehatnya apa?”

“Iya, itu tadi nasehat saya.”

Pulang dari kajian ternyata yang paling mudah diingat nasehatnya adalah, “Belajarlah untuk bisa mendengarkan orang lain. Tidak ada satu menit, tapi paling membekas di antara nasehat-nasehat lain. 

Apa kunci dari kisah di atas? Biarkan Albert Einsten yang menjawabnya. Einsten pernah menyampaikan, "If you can't explain it simply, you don't understand it well enough."Jika kita tidak bisa menjelaskan dengan sederhana, itu artinya kitabelum paham dengan apa yang kita sampaikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN