DALAM SEBUAH KESEMPATAN LINGKARAN CINTA, sang ustadz mengawali
pembicaraan, “Addin an nasihah. Agama
itu nasehat. Silahkan masing-masing menyiapkan nasehat untuk semua yang hadir
di sini. Saya beri waktu satu menit saja.”
Ada 5 peserta yang hadir. Itu artinya dalam lima menit akan ada
5 nasehat. Semua peserta saling tatap. Bingung. Mereka hadir dalam lingkaran
itu menyiapkan diri untuk menyerap ilmu,
untuk mendengarkan, bukannya menyampaikan nasehat. Sama sekali tidak ada
rencana untuk itu, apalagi dengan waktu yang sangat terbatas; hanya satu menit.
Karena dipaksa keadaan, satu persatu mereka pun berbicara
sebisanya. Dari kelima peserta, 4 diantaranya
memaparkan nasehat lebih dari satu menit. Itu pun belum masuk kepada intinya. Sengaja
sang ustadz tidak memberi isyarat waktu telah habis. Ini semata dilakukan untuk
mengukur sejauh mana para murid-muridnya mengatur waktu, mengendalikan diri.
Dengan gugup peserta pertama memulai memberikan nasehat, “Hidup itu…,” ia diam beberapa saat.
Lumayan lama. “Hidup itu…” kembali ia
mengulangi pernyataan yang sama. Tiga puluh detik sudah berlalu. “Hidup adalah
ujian…” ia kembali diam. “Setiap
orang pasti punya masalah. Dan tidak akan pernah lepas dari masalah. Karena Allah
tidak akan menimpakan masalah di luar batas kemampuannya….”
Peserta tersebut menghabiskan waktu lebih dari satu menit. Tibalah giliran peserta berikutnya.
Tapi tetap gugup. Bahkan ada di antara peserta lain yang tidak bisa
memanfaatkan waktu satu menit untuk memberikan nasehat. Selalu saja lebih dari
satu menit. Peserta lain yang menyimak kurang begitu menangkap apa yang
disampaikan. Detik-detik terbuang percuma.
Mungkin kita pernah mengalaminya. Bicara banyak, tetapi
sering keluar dari tema bahasan. Tidak runut, yang mendengar tidak memahami
apa yang dibicarakan. Kita juga pasti pernah
melihatnya, saat di acara seminar-seminar, terutama sesi tanya jawab, ada
peserta mengajukan pertanyaan yang diawali dengan pendahuluan yang begitu
panjang. Ia lupa kalau dirinya sedang bertanya, bukan menjelaskan. Padahal
setelah puas menjelaskan barulah keluar pertanyaan, yang diawali 5W + 1 H itu.
Kita juga pasti pernah melihat ada seseorang ketika bicara
seperti sedang berada di jalan bebas hambatan. Kita sebagai pendengar seperti
tidak punya kesempatan untuk menghentikannya. Ia bicara terus seolah-olah tidak
memberi kesempatan kita bicara. Padahal kalau kita lihat dari substansi, isi
pembicaraannya bukanlah daging! Begitu banyak kata-kata yang diucapkan, tapi tidak
berkualitas.
***
Kembali kepada nasehat satu menit dalam satu sesi lingkaran
cinta itu. Empat peserta gagal memberikan nasehat satu menit. Rata-rat alebih.
Waktu satu menit dirasa kurang. Sampai akhirnya tiba giliran peserta terakhir yang bicara. Dia tarik nafas panjang, dan
benar-benar ingin memanfaatkan waktu
satu menit untuk memberikan nasehat. Dia ingin berbeda dengan keempat teman
lainnya yang lebih dari satu menit. Perlahan-lahan dia mulai membuka mulutnya.
Kemudian mulai bersuara, “Belajarlah untuk bisa mendengarkan orang lain.”
Semua peserta lain terdiam, menyimak dengan serius kata-kata
apa berikutnya yang akan keluar.
“Baik. Kami siap mendengarkan. Terus nasehatnya apa?”
“Iya, itu tadi nasehat saya.”
Pulang dari kajian ternyata yang paling mudah diingat
nasehatnya adalah, “Belajarlah untuk bisa
mendengarkan orang lain.” Tidak ada satu menit, tapi paling membekas
di antara nasehat-nasehat lain.
Apa kunci dari kisah di atas? Biarkan Albert Einsten yang menjawabnya. Einsten pernah menyampaikan, "If you can't explain it simply, you don't understand it well enough."Jika kita tidak bisa menjelaskan dengan sederhana, itu artinya kitabelum paham dengan apa yang kita sampaikan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar