Makan buah bersama. Salah satu kegiatan di Full Day School. |
“Test the water” Pak Mendikbud Muhadjir
Effendy sudah cukup menimbulkan gelombang reaksi dari masyarakat terkait
gagasannya yang berupaya menerapkan Full Day School di level SD dan SMP. Ada
yang setuju, ada pula yang menolak.
Sebenarnya konsep Full Day School
bukanlah hal baru. Di Indonesia, sudah ada yang menerapkan konsep ini. Mulai
dari level SD, SMP, sampai SMA. Bahkan ada yang sampai di level PAUD sekalipun.
Sebagian besar sekolah dengan model full day school ini sudah cukup diterima, bisa
menjadi solusi bagi orang tua yang sibuk bekerja, sementara anak-anak tetap
berada dalam sebuah lingkungan pendidikan yang kondusif.
Bahkan, rata-rata sekolah ini
menjadi sekolah yang paling banyak dicari orang tua karena kualitasnya yang
terstandar. Di kota-kota manapun, sekolah ini mutunya rata-rata setara. Meski
terbilang cukup mahal, tapi sudah cukup diterima karena kualitas outputnya. Sekolah-sekolah
ini setiap tahunnya hampir menolak murid.
Saya melihat ada niat yang mulia
jika Full Day School ini benar-benar diterapkan pemerintah. Karena selama ini FDS,
ini hanya menyasar kalangan menengah atas, dan kurang terjangkau masyarakat
menengah bawah. Meski begitu ada beberapa sekolah model ini yang menerapkan pendidikan
gratis, dengan output yang sama-sama berkualitas.
Anggapan bahwa jika anak seharian
di sekolah akan membuat anak lelah, jenuh, dan bosan, saya kira
tidaklah tepat.
Apalagi sampai ada anggapan di sekolah waktu bermain kurang, karena lebih
banyak menghabiskan waktunya untuk fokus belajar.
Karena sudah tersistem dengan baik,
maka sekolah ini tentu sudah mendesain sedemikian rupa proses pembelajaran yang
ramah anak sesuai dengan masa pertumbuhan anak. Bagaimana mengemas pengajaran
dengan konsep permainan. Bagaimana menciptakan kreasi permainan yang tujuannya
adalah belajar. Dan yang tidak kalah penting adalah proses penanaman pendidikan
karakter anak yang lebih memiliki porsi lebih jika dibandingkan dengan
pendidikan konvensional.
Dan memang benar-benar diterapkan,
butuh energi besar untuk mengubah mindset guru-gurunya. Ibarat seperti memutar
haluan kapal pesiar. Tidak mudah, pasti. Penuh tantangan, sudah tentu. Seperti
halnya peralihan kurikulum, tentu butuh persiapan sangat matang untuk
menerapkan kurikulum baru. Dan itu dimulai dari mindset! Perubahan mindset harus dibarengi pula dengan kesiapan
sarana yang memadai sebagai penunjang pembelajaran selama di sekolah.
Ya, kita hidup di sebuah zaman
dimana generasi berakhlak menjadi kian dirindukan. Kehidupan globalisasi telah
melanda dengan nyata. Sudah sesiap apa kita sebagai orang tua untuk memberikan
bekal generasi penerus bangsa ini?
Orang tua mana yang tidak resah,
manakala tidak sedang dalam pengawasannya, anak-anak mereka ditemani
televisi, game online, atau gadget? Orang tua mana yang tega menitipkan
anaknya hanya kepada seorang pembantu yang belum tentu bisa mendidiknya dengan
penuh cinta, sementara sebagai orang tua menuntut anak-anaknya mendapat pola
pengasuhan yang penuh kasih sayang.
Kita begitu reaktif ketika melihat
satu persoalan yang muncul. Ketika Pak Menteri mewacanakan konsep sekolah
sehari penuh, kita begitu reaktifnya. Padahal faktanya ketika anak-anak pulang
cepat sekalipun, masih ada orang tua yang mengikutan anak-anaknya untuk ikut
les atau bimbel. Prasangka baik saya, berarti selama ini, jam belajar di
sekolah konvensional ini dinilai kurang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar