Senin, Agustus 22, 2016

Kenapa Harus Full Day?


Makan buah bersama. Salah satu kegiatan di Full Day School. 

“Test the water” Pak Mendikbud Muhadjir Effendy sudah cukup menimbulkan gelombang reaksi dari masyarakat terkait gagasannya yang berupaya menerapkan Full Day School di level SD dan SMP. Ada yang setuju, ada pula yang menolak.  

Sebenarnya konsep Full Day School bukanlah hal baru. Di Indonesia, sudah ada yang menerapkan konsep ini. Mulai dari level SD, SMP, sampai SMA. Bahkan ada yang sampai di level PAUD sekalipun. Sebagian besar sekolah dengan model full day school ini sudah cukup diterima, bisa menjadi solusi bagi orang tua yang sibuk bekerja, sementara anak-anak tetap berada dalam sebuah lingkungan pendidikan yang kondusif.

Bahkan, rata-rata sekolah ini menjadi sekolah yang paling banyak dicari orang tua karena kualitasnya yang terstandar. Di kota-kota manapun, sekolah ini mutunya rata-rata setara. Meski terbilang cukup mahal, tapi sudah cukup diterima karena kualitas outputnya. Sekolah-sekolah ini setiap tahunnya hampir menolak murid.

Saya melihat ada niat yang mulia jika Full Day School ini benar-benar diterapkan pemerintah. Karena selama ini FDS, ini hanya menyasar kalangan menengah atas, dan kurang terjangkau masyarakat menengah bawah. Meski begitu ada beberapa sekolah model ini yang menerapkan pendidikan gratis, dengan output yang sama-sama berkualitas.

Anggapan bahwa jika anak seharian di sekolah akan membuat anak lelah, jenuh, dan bosan, saya kira 
tidaklah tepat. Apalagi sampai ada anggapan di sekolah waktu bermain kurang, karena lebih banyak menghabiskan waktunya untuk fokus belajar.

Karena sudah tersistem dengan baik, maka sekolah ini tentu sudah mendesain sedemikian rupa proses pembelajaran yang ramah anak sesuai dengan masa pertumbuhan anak. Bagaimana mengemas pengajaran dengan konsep permainan. Bagaimana menciptakan kreasi permainan yang tujuannya adalah belajar. Dan yang tidak kalah penting adalah proses penanaman pendidikan karakter anak yang lebih memiliki porsi lebih jika dibandingkan dengan pendidikan konvensional.

Dan memang benar-benar diterapkan, butuh energi besar untuk mengubah mindset guru-gurunya. Ibarat seperti memutar haluan kapal pesiar. Tidak mudah, pasti. Penuh tantangan, sudah tentu. Seperti halnya peralihan kurikulum, tentu butuh persiapan sangat matang untuk menerapkan kurikulum baru. Dan itu dimulai dari mindset! Perubahan mindset harus dibarengi pula dengan kesiapan sarana yang memadai sebagai penunjang pembelajaran selama di sekolah. 

Ya, kita hidup di sebuah zaman dimana generasi berakhlak menjadi kian dirindukan. Kehidupan globalisasi telah melanda dengan nyata. Sudah sesiap apa kita sebagai orang tua untuk memberikan bekal generasi penerus bangsa ini?

Orang tua mana yang tidak resah, manakala tidak sedang dalam pengawasannya, anak-anak mereka ditemani televisi,  game online, atau gadget? Orang tua mana yang tega menitipkan anaknya hanya kepada seorang pembantu yang belum tentu bisa mendidiknya dengan penuh cinta, sementara sebagai orang tua menuntut anak-anaknya mendapat pola pengasuhan yang penuh kasih sayang. 

Kita begitu reaktif ketika melihat satu persoalan yang muncul. Ketika Pak Menteri mewacanakan konsep sekolah sehari penuh, kita begitu reaktifnya. Padahal faktanya ketika anak-anak pulang cepat sekalipun, masih ada orang tua yang mengikutan anak-anaknya untuk ikut les atau bimbel. Prasangka baik saya, berarti selama ini, jam belajar di sekolah konvensional ini dinilai kurang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN