sumber ilustrasi : https://farm6.staticflickr.com |
Akhirnya saya berhasil datang
tepat waktu mengantar anak sekolah. Tapi tampaknya saya terlalu cepat. Sekolah
masih sepi. Gerbang masih ditutup. Belum ada
guru yang menyambut. Tidak lama kemudian ada yang membuka gerbang.
Saya pun bertanya kepada yang
membuka gerbang, “Hari ini anak-anak pulang jam berapa bu?” Ini saya tanyakan karena
saat itu adalah hari pertama sekolah. Mendengar pertanyaan saya ia hanya diam,
seperti kebingungan menjawab pertanyaan saya. Dalam hati, ini guru kok, tidak tahu informasi sekolah. Saya ulang
pertanyaannya, barangkali belum mendengar jelas apa yang saya katakan. Tapi
saya tetap mendapat respon yang sama. Guru itu terlihat bingung. Kembali saya
ulangi pertanyaannya dengan nada agak keras. “Bu, hari ini anak-anak pulang jam
berapa?” Ia terlihat semakin bingung.
Saya merasa waktu habis sia-sia. Hari
semakin siang, sementara aku harus berangkat ke tempat kerja, akhirnya saya pergi
dengan rasa kesal. Pertanyaan sederhana saya tidak terjawab.
Beberapa hari setelah peristiwa
itu, saya dapat kabar, kalau orang yang membuka gerbang itu bukan guru, tapi cleaning service. Informasi tambahan yang
saya dapat juga dia punya masalah dalam pendengarannya. Ketika mengajak
komunikasi harus dengan nada agak keras.
Duar!! Mendengar itu saya seperti
disambar geledek! Saya salah menilai. Sangat menyesal. Terlalu dini menilai tidak
responsif. Tidak peka. Tidak memberikan pelayanan yang terbaik kepada saya
sebagai orang tua murid. Tapi jauh dari itu semua, ternyata saya sendiri yang
bermasalah. Ketika saya ingin segera dapat jawaban atas pertanyaan yang saya
lemparkan, itu pertanda saya tidak sabaran. Saat saya sempat muncul prasangka
tidak baik, pertanda saya tidak berpikir positif. Sabar dan berpikir positif.
Dua sikap yang masih belum benar-benar menyerap dalam urat nadi kehidupan saya.
Padahal dibalik kekurangannya,
banyak yang salut dengan semangatnya bekerja. Ia paling gesit untuk urusan
bersih-bersih. Ada jelaga sedikit saja langsung dibersihkan. Lantai kotor
langsung dipel. Bahkan kipas angin juga ia bersihkan. Selesai bersih-bersih, apakah
dia istirahat? Ternyata tidak. Ia ikut membantu pekerjaan dapur.
Ighfirnii Ya Ghaffar. Ternyata saya telah salah menilai seseorang.
Saya merasa dulu berhak marah karena tidak mendapatkan jawaban yang seharusnya
saya dapatkan. Parahnya pada saat itu saya merasa diri paling benar. Saya begitu
mudahnya menaruh prasangka kepada orang yang belum saya kenal baik. Padahal
alasan saya saat itu tidaklah masuk akal.
Saya teringat sebuah hadits, yang
isinya, “Temukan tujuh puluh dalih untuk menganggap benar perilaku saudaramu
yang tampak keliru di matamu… Dan jika setelah tujuh puluh alasan terasa tidak
masuk akal juga, maka katakan pada dirimu : ‘Saudaraku ini punya ‘udzur yg
mungkin tidak kuketahui.”
Hadits ini seakan menyiratkan pesan, boleh kok kita bersuudzon
pada orang lain, asalkan kita sudah mengantongi 70 alasan. Susah? Pasti. Itulah
hebatnya rasulullah mengajarkan sekaligus mengajak kita untuk selalu berpikir
positif, dan tidak mudah berprasangka negatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar