Senin, Agustus 01, 2016

Ayah yang Sibuk



Pengalaman pertama Like naik perahu - foto by Ihda N Fitri
KETIKA LIKE TUMBUH SEMAKIN BESAR, dan Echa semakin menggemaskan di usianya yang sudah satu setengah tahun, rutinitasku tiap pagi menjadi lebih mengasyikkan. Diam-diam saya mulai, bahkan sangat menik-matinya. Menikmati kesibukkan dipendeknya waktu pagi sebelum berangkat kerja. 

Repot? Jangan tanya. Tapi ini kerepotan yang luar biasa mengasyikkan, karena benar-benar mengasah kemampuan saya mengatur waktu di pagi hari yang sangat terbatas. Mungkin jika diukur, level kesibukan saya di pagi hari jauh lebih sibuk dari urusan pekerjaan saya di kantor. Bermain-main, sesekali jalan-jalan pagi sambil membeli sarapan, menyiapkannya baju, memandikan, sampai mengantarnya ke sekolah, dan menjemputnya kembali saat pulang sekolah.

Sesekali mengerjakan dua tiga pekerjaan dalam sekali waktu. Memasak air untuk mandi, sambil menyeterika baju, sekaligus menyuapi anak-anak sarapan. Lantas mengantar anak ke sekolah, dan kami saling bercerita dalam perjalanan. Sorenya pas pulang sekolah, kami kembali bertukar cerita. Ia ceritakan semua pengalaman di sekolah, menyetorkan hafalan surat-surat pendek, menyanyikan lagu yang baru ia hafal, dan memeragakan tepuk yang baru saja diajarkan oleh gurunya.

Sampai di rumah, kembali saya bercengkerama bersama anak-anak. Bermain bersama, bahkan lebih semarak lagi karena ada adiknya yang berusia 1,2 tahun. Tidak hanya bermain, kami juga ikut mengerjakan pekerjaan rumah bersama. Manakala saya tengah sibuk mencuci piring, tiba-tiba Like datang sambil berkata, “Ayah, bolehkah aku membantu ayah mencuri piring?” Dengan senyum bangga, saya mempersilahkan ikut berbasah-basahan. Ketika mau menanak nasi, dia juga ikut membantu mencuci beras bersama. Saya ceritakan bagaimana cara mencuci beras dengan benar, mengukur takaran air seruas jari, sampai memencet tombol ON pada alat penanak nasi.

Like saat masih bayi
Bahkan termasuk ketika saya tengah sibuk menjemur pakaian, anakku ikut turun tangan. Istriku pun terlihat sangat menikmati pemandangan di pagi hari. Saya biarkan istri menikmati pertunjukan ayah yang sibuk mengurus anak dan pekerjaan rumah. Saya pun jarang minta bantuan istri untuk menyiapkan sarapan, memandikan anak, menyiapkan baju, sampai menyuapi anak. Istriku tercinta, hanya turun tangan ketika saya benar-benar kewalahan.

Sungguh, saya bersyukur masih bisa menikmati pagi dengan kegiatan yang sedemikian sibuk. Kepuasan yang hadir jauh lebih puas dibandingkan dengan hanya menghabiskan waktu untuk menikmati kopi pagi sambil baca koran, atau hanya mendengarkan kicauan burung dalam sangkar. Ada kebanggaan tersendiri sebagai seorang ayah yang saya rasakan ketika mengerjakan semua itu. Sungguh, saya benar-benar menikmatinya.

Oya, satu lagi. Saking akrabnya, kita bahkan saling mengingatkan ketika salah satu diantara kita berbuat salah. Seperti saat ia secara tak sadar makan sambil berdiri kemudian saya menegurnya, “Sepertinya ada  yang makan sambil berdiri.” Ia pun tak segan-segan mengingatkan ketika saya salah. Waktu itu saya buru-buru mengantarnya ke sekolah, sampai-sampai saya menerobos lampu lalu lintas yang menyala merah. Like, yang masih usia playgroup, langsung mengingatkan, “Ayah… lampu merah…. harusnya berhenti. Nanti dimarahin polisi….” Spontan, saya langsung meminta maaf padanya, dan bilang tidak akan mengulangi lagi menerobos lampu merah. 

*) Kado ulang tahun buat Like. Per 1 Agustus ini, Like genap 4 tahun. Semoga jadi anak salehah. Tulisan ini adalah versi asli sebelum diterbitkan Majalah Ummi, edisi bulan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN