Kamis, Januari 04, 2018

Tidak Mau Sekolah Gara-gara Upin Ipin


Kalau sudah begini, siapa yang repot?

sumber ilustrasi : lescopaque.com
Inikah dampak dari tontonan dan gadget? Kisah ini bermula dari seorang anak yang datang bersama orang tuanya untuk mendaftar TK A di PAUD Buana Kids. Awal kedatangannya anak ini terlihat ceria. Tapi keceriaan itu berubah saat ia diajak untuk melihat-lihat pembelajaran di kelas. Begitu melihat suasana anak-anak belajar bersama gurunya, anak tersebut langsung berubah ekspresi dari  yang ceria menjadi ketakutan.

Ia berontak, menangis, dan tidak mau lepas dari genggaman orang tuanya seraya berteriak, “Nggak mau!! Aku nggak mau sekolah!! Gurunya galak kayak di Upin Ipin!” Kami berada pada satu sisi dilematis, ingin tertawa karena mendengar alasannya tidak mau sekolah, tapi di sisi lain merasa prihatin dengan apa yang terjadi padanya. Ini pasti ada yang tidak beres.  Dan setelah ditelusuri lebih lanjut, orang tuanya mengamini kalau di rumah anaknya sering menghabiskan waktu bermain gadget dan nonton TV, terutama serial Upin Ipin.

Terekam dalam memori anak kalau sekolah adalah tempat yang tidak mengasyikkan, karena ada sosok kepala sekolah galak, dan itu benar-benar tertancap di memorinya, sedemikian kuatnya karakter kepala sekolah dalams serial itu, bahkan mengalahkan guru Yasmin yang dikenal baik. 

Ini kontraproduktif,  padahal guru-guru di Buana Kids yang saya tahu dikenal ramah-ramah, jangankan kepada anak baru yang lagi perlu adaptasi, kepada anak-anak yang lama pun tetap dalam keramahannya. Sama sekali tidak ada kesan galak seperti halnya karakter ibu kepala sekolah di Film Upin Ipin. Dari keprihatinan ini saya melihat ketakutan anak ini sudah pada level berlebihan. Dan menyedihkannya ini gara-gara Upin Ipin.

Sebenarnya ada dengan film serial ini? Ternyata setelah saya amati ada setidaknya beberapa poin krusial yang perlu menjadi perhatian para orang tua ketika anaknya menikmati tayangan ini.

Pertama, tidak ada figur ayah dan ibu.

Peran ayah, apalagi ibu tentu memegang peranan penting dalam tahap perkembangan anak. Kasih sayang orang tua tidak tercerminkan dalam serial ini. Peran orang tua digantikan oleh neneknya yang penyayang sekaligus bijak. Dalam dunia nyata, peran kakek dan nenek, pun kadang menjadi persoalan tersendiri dalam pengasuhan anak terutama dalam memperlakukan seorang cucu. Seperti misalnya tidak sepahamnya dalam konsep mendidik anak. Sama ayah ibu tidak boleh menonton TV, ketika bermain di rumah mbah, anak bisa nonton TV sepuasnya, bahkan difasilitasi. Anak yang tidak mendapatkan asupan kasih sayang yang utuh dari sosok ayah dan ibunya, konsep diri anak cenderung lemah. Hasilnya anak menjadi tidak percaya diri. Dan biasanya akan bermasalah dalam kehidupannya.

Kedua, sering menampilkan konflik.

Dalam serial Upin Ipin Kak Rose dikenal sebagai Kakak yang galak, selalu berseberangan dengan adik-adiknya sehingga sering terjadi konflik diantara mereka. Di setiap episode selalu saja ada konflik yang dimainkan antara Upin Ipin degan Kak Rose. Ini menarik dari alur cerita, tapi berdampak kurang baik terhadap psikologis anak. Di sekolah pun demikian, ada satu tokoh kepala sekolah yang sedemikian kuat digambarkan sebagai guru yang galak, marah-marah, dan jarang menampilkan ekspresi ramah kepada murid-muridnya. Sedemikian kuat karakter kepala sekolah, dampaknya ya seperti yang dialami oleh anak yang kami kisahkan di bagian awal tulisan ini.

Ketiga, Upin Ipin tidak suka makan sayuran.

Gara-gara Upin Ipin yang hanya suka makan ayam goreng, anak yang kami kisahkan di atas jadi tidak doyan makan sayuran, padahal belum mencoba. Padahal sayuran diperlukan untuk nutrisi tumbuh kembang anak. Banyak orang tua yang kewalahan, sampai akhirnya menyerah, sekaligus pasrah. “Daripada anak tidak makan,” katanya.

Dan yang terakhir, mengajarkan kekacauan bahasa.

Serial Upin Ipin ini tayang dengan bahasa Malaysia. Meskipun ada terjemahan Bahasa Indonesianya, tapi itu sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi penonton yang sebagian besar adalah anak-anak. Mereka ini kuat secara visual dan juga kuat audio. Lagipula kebanyakan penonton serial ini adalah anak usia dini yang belum bisa membaca.

Sekarang sudah begitu banyak anak yang terkontaminasi dengan bahasa Upin Ipin, bahkan termasuk anak yang saya
kisahkan di atas. Ketika ditanya, “Mau makan tidak?” dengan enteng jawab anak itu. “Tak, Nak,” dengan maksud menyampaikan “Tidak mau,”

Ini jelas mengacaukan kerangka berpikir anak dalam berbahasa. Bahasa ibu yang belum begitu kuat sudah tercemar dengan bahasa asing. Padahal ada satu hasil penelitian Adnan Baharits, Pakar Pendidikan Universitas Ummul Quro, Mekkah menyampaikan “Di awal usia pendidikan, bahasa asli akan mengalami dampak negatif ketika didesak dengan bahasa baru. Sehingga disarankan untuk mengajarkan satu bahasa saja pada usia SD, sampai sempurna fase pertumbuhannya dan menguasai wawasan yang cukup”

Satu pesan saya, jaga jarak anak-anak kita dengan tayangan TV dan gadget. Jangan dulu merasa senang, kalau anak hanya duduk tenang di depan televisi atau bermain gadget, karena tidak semua tayangan anak itu ramah anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN