Selasa, Agustus 30, 2016

Memberi Pijakan


sumber ilustrasi : https://tatigo.files.wordpress.com

Di sebuah mall, seorang anak menangis karena keinginannya minta es krim tidak dituruti. Ibunya kembali mengingatkan kesepakatan sebelum pergi ke mall. Sudah ada daftar belanja yang akan dibeli. Pergi ke mall hanya untuk membeli beras, minyak, gula, dan telor. Es krim tidak ada dalam daftar. Jadi tidak  bisa dibeli. 

Tangisan anak semakin menjadi. Tantrum. Orang lain yang menyaksikan drama itu sepertinya tidak tega melihat gadis kecil itu menangis. Pikirnya, berapa sih harga es krim, paling sepuluh ribu.  Tapi hebatnya sang ibu, tetap memegang teguh kesepakatan yang telah dibuat. Ketika ada ibu yang lain akan memberikan es krim karena kasihan, dengan halus sang ibu menolaknya.

Kenapa ibu bisa tetap pada pendirian dan tega membiarkan anak menangis dilihat banyak orang? Ternyata jawabannya cukup mengejutkan.

“Ini bukan masalah berapa harga sepotong es krim,” katanya.

Ternyata sebelum berangkat, sang ibu sudah memberi pijakan kepada putrinya, “Ibu mau ke mall, ini daftar belanja yang akan ibu beli. Kalau mau ikut, silahkan bisa temani ibu. Ibu hanya akan belanja yang ada dalam daftar yang sudah ibu tulis.”

Jalan-jalan di mall senang saja buat anak ikut. Pikir si anak mungkin di mall itu menyenangkan. Barangkali saja minta ini minta itu.

Ternyata benar. Ketika di mall keinginannya muncul. Si anak mulai tergoda. Sebagai ibu yang komitmen, sebisanya, sekuatnya harus tetap berpegang pada pijakan yang telah disepakati. Meski di mall, tertarik ingin beli mainan, atau keinginan lain yang tidak ada dalam daftar, meski nangis jangan turuti. 

Satu pelajaran yang saya dapatkan; komitmen! Ketika komitmen tidak kuat, maka anak akan menjadikan alasan dan menjadikan cara itu sebagai senjata, dan menuntut yang lebih tinggi lagi. Kalau saja sang ibu luluh, kemudian membelikannya es krim, maka si anak akan berpikir, berarti kalau aku mau sesuatu, harus dengan menangis seperti dulu saya mendapatkan es krim. Dia akan menjadikan pengalaman itu sebagai alasan untuk mendapatkan apa yang diinginkan.  

Tetap pada komitmen. Sekali bilang tidak, tidak. Tidak ada perjanjiannya. Tetap tidak. Mau ngamuk, mau nangis, tetap jangan dikasih. Itulah ibu yang kuat. Ibu yang hebat. Jika anak berhasil menunda keinginannya, kita apresiasi. “Alhamdulilah, kamu mau ikuti apa kata mama. Kamu boleh beli es krim, nanti kalau ayah sudah gajian ya…”

Kenapa banyak anak-anak mengancam orang tua, karena tidak ada konsekunesi yang kita terapkan.
Boleh jadi sekarang hanya minta es krim, tapi coba bayangkan kalau dia sudah besar. Nanti dia akan menaikkan level keinginannya lebih tinggi lagi. Minta gadget, minta motor, minta mobil, minta rumah lengkap sama perabotannya. Siapa yang tidak repot kalau bukan orang tua?

Ya, iyalah. Masa tetangga sih. Hehehe….

Tapi itu tidak akan terjadi jika anak-anak sudah lebih dulu diberi pijakan. Bahwa kita melakukan segala sesuatu di atas sebuah kesepakatan. Bahwa ada kerja keras untuk mendapatkan sesuatu yang kita inginkan dan kita butuhkan.

Manusiawi jika sebagai orang tua, kita ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Itu bukan berarti setiap yang anak-anak inginkan kita beri. Jika ingin memberi yang terbaik, penuhi hak-hak dasar anak seperti memberikan kasih sayang dengan tulus, memberikan perhatian. Jika tidak anak dapatkan, maka besarnya nagih. Dia akan menuntut dengan caranya sendiri.

Senin, Agustus 29, 2016

Pelajaran Dari Kertas Kado

Bu Uci membuka kado yang isinya diprediksi adalah jam dinding. Itu yang memang saya butuhkan untuk saya pasang di ruang pelatihan. Dan pelajaran besar baru saja dimulai. Bu Uci mulai membuka kado. Pelan sekali dan terlihat sangat hati-hati. Perlahan ia mencari solatip yang menempelkan kertas, membukanya perhalan dengan kasih sayang seolah tak ingin kertas itu terluka karena robek.

Saya yang melihatnya, sempat membatin, “Buka kado saja kok lama sekali bu.” Bu Uci masih dengan sabar membuka kado dengan sangat hati-hati, sementara saya sudah tidak sabar ingin cepat-cepat memasang jam dinding di tembok.


Sampai akhirnya saya tidak kuasa untuk bertanya.

“Bu, kenapa lama sekali buka kadonya. Kalau saya yang buka, sudah dari tadi jam dinding itu sudah terpasang,” kata saya tidak sabaran.

“Iya, pak. Barangkali kertas kadonya bisa dipakai lagi.” Dengan kalemnya Bu Uci menjawab pertanyaan itu, dan jawaban Bu Uci membuat saya merasa tertampar, betapa tidak sabarannya saya. Betapa serampangannya diri ini. Lantas saya berpikir, jika saya yang membuka kado itu, sudah pastilah rusak kertas kado beserta kardus pembungkusnya.

Fokus saya membuka kado hanya satu, bagaimana agar barang yang terbungkus dalam kado itu bisa saya dapatkan. Dan demi mendapatkan yang saya inginkan, saya justru malah mengabaikan yang lain. Membiarkan kertas kado kesakitan. Terkoyak. Disobek-sobek sampai menjadi bentuk yang tak beraturan. Belum cukup sampai disitu, saya lanjutkan dengan meremas bekas kertas kado itu lalu melemparnya ke dalam tong sampah. Dan kertas pembungkus kado itu dalam waktu singkat sudah berubah menjadi sampah. Itu artinya turut menambah volume sampah yang menjadi masalah di negeri ini.

Coba bayangkan, jika semua orang bertindak sekaligus bersikap sebagaimana Bu Uci melepas bungkus kado. Saya yakin, tidak akan lagi ditemukan sampah-sampah kertas berserakan. Hidupnya bermutu. Segala sesuatu yang dikerjakan berkualitas. Tapi sebaliknya jika berpikiran seperti saya, pastilah banyak kertas terbuang sia-sia. Ada begitu sampah kertas yang menggunung.

Padahal kita tahu dari apa kertas itu diproduksi kalau bukan dari pohon-pohon. Semakin banyak kertas yang dibuang sia-sia, maka semakin banyak pula pohon-pohon yang akan ditebang untuk memproduksi kertas. Itu artinya pasokan oksigen menjadi berkurang jika tidak dibarengi dengan kegiatan menanam pohon. Lihat! Dari aktivitas membuka kertas kado yang kelihatannya sepele ternyata dapat berdampak buruk terhadap lingkungan.

Selasa, Agustus 23, 2016

Nasehat Satu Menit




DALAM SEBUAH KESEMPATAN LINGKARAN CINTA, sang ustadz mengawali pembicaraan, “Addin an nasihah. Agama itu nasehat. Silahkan masing-masing menyiapkan nasehat untuk semua yang hadir di sini. Saya beri waktu satu menit saja.”

 Ada 5 peserta yang hadir. Itu artinya dalam lima menit akan ada 5 nasehat. Semua peserta saling tatap. Bingung. Mereka hadir dalam lingkaran itu menyiapkan diri  untuk menyerap ilmu, untuk mendengarkan, bukannya menyampaikan nasehat. Sama sekali tidak ada rencana untuk itu, apalagi dengan waktu yang sangat terbatas; hanya satu menit.

Karena dipaksa keadaan, satu persatu mereka pun berbicara sebisanya. Dari kelima peserta,  4 diantaranya memaparkan nasehat lebih dari satu menit. Itu pun belum masuk kepada intinya. Sengaja sang ustadz tidak memberi isyarat waktu telah habis. Ini semata dilakukan untuk mengukur sejauh mana para murid-muridnya mengatur waktu, mengendalikan diri.

Dengan gugup peserta pertama memulai memberikan nasehat, “Hidup itu…,” ia diam beberapa saat. Lumayan lama. “Hidup itu…” kembali ia mengulangi pernyataan yang sama. Tiga puluh detik sudah berlalu.  Hidup adalah ujian…” ia kembali diam. “Setiap orang pasti punya masalah. Dan tidak akan pernah lepas dari masalah. Karena Allah tidak akan menimpakan masalah di luar batas kemampuannya….”

Peserta tersebut menghabiskan waktu lebih dari satu menit. Tibalah giliran peserta berikutnya. Tapi tetap gugup. Bahkan ada di antara peserta lain yang tidak bisa memanfaatkan waktu satu menit untuk memberikan nasehat. Selalu saja lebih dari satu menit. Peserta lain yang menyimak kurang begitu menangkap apa yang disampaikan. Detik-detik terbuang percuma.

Mungkin kita pernah mengalaminya. Bicara banyak, tetapi sering keluar dari tema bahasan. Tidak runut, yang mendengar tidak memahami apa  yang dibicarakan. Kita juga pasti pernah melihatnya, saat di acara seminar-seminar, terutama sesi tanya jawab, ada peserta mengajukan pertanyaan yang diawali dengan pendahuluan yang begitu panjang. Ia lupa kalau dirinya sedang bertanya, bukan menjelaskan. Padahal setelah puas menjelaskan barulah keluar pertanyaan, yang diawali 5W + 1 H itu.

Kita juga pasti pernah melihat ada seseorang ketika bicara seperti sedang berada di jalan bebas hambatan. Kita sebagai pendengar seperti tidak punya kesempatan untuk menghentikannya. Ia bicara terus seolah-olah tidak memberi kesempatan kita bicara. Padahal kalau kita lihat dari substansi, isi pembicaraannya bukanlah daging! Begitu banyak kata-kata yang diucapkan, tapi tidak berkualitas.

***

Kembali kepada nasehat satu menit dalam satu sesi lingkaran cinta itu. Empat peserta gagal memberikan nasehat satu menit. Rata-rat alebih. Waktu satu menit dirasa kurang. Sampai akhirnya tiba giliran peserta terakhir yang  bicara. Dia tarik nafas panjang, dan benar-benar  ingin memanfaatkan waktu satu menit untuk memberikan nasehat. Dia ingin berbeda dengan keempat teman lainnya yang lebih dari satu menit. Perlahan-lahan dia mulai membuka mulutnya. Kemudian mulai bersuara, “Belajarlah untuk bisa mendengarkan orang lain.”

Semua peserta lain terdiam, menyimak dengan serius kata-kata apa berikutnya yang akan keluar.

“Baik. Kami siap mendengarkan. Terus nasehatnya apa?”

“Iya, itu tadi nasehat saya.”

Pulang dari kajian ternyata yang paling mudah diingat nasehatnya adalah, “Belajarlah untuk bisa mendengarkan orang lain. Tidak ada satu menit, tapi paling membekas di antara nasehat-nasehat lain. 

Apa kunci dari kisah di atas? Biarkan Albert Einsten yang menjawabnya. Einsten pernah menyampaikan, "If you can't explain it simply, you don't understand it well enough."Jika kita tidak bisa menjelaskan dengan sederhana, itu artinya kitabelum paham dengan apa yang kita sampaikan

Senin, Agustus 22, 2016

Kenapa Harus Full Day?


Makan buah bersama. Salah satu kegiatan di Full Day School. 

“Test the water” Pak Mendikbud Muhadjir Effendy sudah cukup menimbulkan gelombang reaksi dari masyarakat terkait gagasannya yang berupaya menerapkan Full Day School di level SD dan SMP. Ada yang setuju, ada pula yang menolak.  

Sebenarnya konsep Full Day School bukanlah hal baru. Di Indonesia, sudah ada yang menerapkan konsep ini. Mulai dari level SD, SMP, sampai SMA. Bahkan ada yang sampai di level PAUD sekalipun. Sebagian besar sekolah dengan model full day school ini sudah cukup diterima, bisa menjadi solusi bagi orang tua yang sibuk bekerja, sementara anak-anak tetap berada dalam sebuah lingkungan pendidikan yang kondusif.

Bahkan, rata-rata sekolah ini menjadi sekolah yang paling banyak dicari orang tua karena kualitasnya yang terstandar. Di kota-kota manapun, sekolah ini mutunya rata-rata setara. Meski terbilang cukup mahal, tapi sudah cukup diterima karena kualitas outputnya. Sekolah-sekolah ini setiap tahunnya hampir menolak murid.

Saya melihat ada niat yang mulia jika Full Day School ini benar-benar diterapkan pemerintah. Karena selama ini FDS, ini hanya menyasar kalangan menengah atas, dan kurang terjangkau masyarakat menengah bawah. Meski begitu ada beberapa sekolah model ini yang menerapkan pendidikan gratis, dengan output yang sama-sama berkualitas.

Anggapan bahwa jika anak seharian di sekolah akan membuat anak lelah, jenuh, dan bosan, saya kira 
tidaklah tepat. Apalagi sampai ada anggapan di sekolah waktu bermain kurang, karena lebih banyak menghabiskan waktunya untuk fokus belajar.

Karena sudah tersistem dengan baik, maka sekolah ini tentu sudah mendesain sedemikian rupa proses pembelajaran yang ramah anak sesuai dengan masa pertumbuhan anak. Bagaimana mengemas pengajaran dengan konsep permainan. Bagaimana menciptakan kreasi permainan yang tujuannya adalah belajar. Dan yang tidak kalah penting adalah proses penanaman pendidikan karakter anak yang lebih memiliki porsi lebih jika dibandingkan dengan pendidikan konvensional.

Dan memang benar-benar diterapkan, butuh energi besar untuk mengubah mindset guru-gurunya. Ibarat seperti memutar haluan kapal pesiar. Tidak mudah, pasti. Penuh tantangan, sudah tentu. Seperti halnya peralihan kurikulum, tentu butuh persiapan sangat matang untuk menerapkan kurikulum baru. Dan itu dimulai dari mindset! Perubahan mindset harus dibarengi pula dengan kesiapan sarana yang memadai sebagai penunjang pembelajaran selama di sekolah. 

Ya, kita hidup di sebuah zaman dimana generasi berakhlak menjadi kian dirindukan. Kehidupan globalisasi telah melanda dengan nyata. Sudah sesiap apa kita sebagai orang tua untuk memberikan bekal generasi penerus bangsa ini?

Orang tua mana yang tidak resah, manakala tidak sedang dalam pengawasannya, anak-anak mereka ditemani televisi,  game online, atau gadget? Orang tua mana yang tega menitipkan anaknya hanya kepada seorang pembantu yang belum tentu bisa mendidiknya dengan penuh cinta, sementara sebagai orang tua menuntut anak-anaknya mendapat pola pengasuhan yang penuh kasih sayang. 

Kita begitu reaktif ketika melihat satu persoalan yang muncul. Ketika Pak Menteri mewacanakan konsep sekolah sehari penuh, kita begitu reaktifnya. Padahal faktanya ketika anak-anak pulang cepat sekalipun, masih ada orang tua yang mengikutan anak-anaknya untuk ikut les atau bimbel. Prasangka baik saya, berarti selama ini, jam belajar di sekolah konvensional ini dinilai kurang.

Jumat, Agustus 19, 2016

Dua Jam yang Menegangkan!



Siswa-siswi kelas VI SDIT Usamah dalam acara Mabit

SAYA PANIK BUKAN KEPALANG. Laptop saya tiba-tiba tidak ada suaranya. Padahal 2 jam lagi akan saya gunakan untuk mengisi agenda mabit di SDIT Usamah. Saya pandangi laptop saya. Saya coba cari masalahnya ada dimana. “Like, kau apakan laptop ayah, sampai tidak keluar suaranya?” tanya saya kepada Like.

Saya coba putar file video, gambar tayang tapi tanpa suara. Saya coba buka file musik. File jalan, tapi tak ada suara. Saya coba buka file presentasi yang sudah saya siapkan, juga sama tidak ada suara. Sempat saya pikir, apa saya gagalkan saja acaranya, biar panitia minta cari pengganti pengisi acara. Lagipula, sampai sekarang juga belum ada konfirmasi.

Saya coba hubungi Ustazah Ida, panitia yang menghubungi saya sepekan lalu, dan ternyata jadi! Semakin panik saya. Saya coba menenangkan diri. Mencoba berpikir dan bersikap positif sambil mencari solusi. “Apakah di sekolah ada laptop?” tanya saya kepada panitia. “Laptop saya sepertinya bermasalah, ada kemungkinan saya akan pindahkan semua file presentasi lengkap dengan file music dan videonya dalam satu folder.”

“Ada laptop sekolah, pak.” Jawab panitia.  

Selesai shalat maghrib, satu-satunya doa yang saya minta adalah dimudahkan menyelesaikan masalah yang sedang saya hadapi. Kembali saya tarik napas, menenangkan diri. Sampai benar-benar pikiran jernih. File-file presentasi sudah saya masukan dalam satu folder. Tapi masalah lain muncul. File dalam folder tidak bisa dipindah dalam flashdisk!

Saya kembali panik. Adzan isya sudah memanggil. Artinya waktu presentasi semakin dekat. Habis isya saya harus segera meluncur ke lokasi. Ada plan B yang harus saya ambil, nanti saya harus mengoptimalkan kekuatan berkisah dan simulasi saat membawakan training. Saya memang terbantu dengan dukungan audio dan video di setiap training-training yang saya bawakan. Tapi kemampuan menyampaikan jauh lebih penting dari itu semua. Sampai akhirnya saya pasrah. Saya kuatkan  bismillah. Niatkan ibadah.

Akhirnya selepas shalat Isya di masjid, saya berangkat menuju SDIT Usamah. Saya sampai di sekolah tepat pukul 20.00. Anak-anak sudah menunggu. Alhamdulilah masih dikondisikan sama guru-guru di sana. Saya coba kembali buka laptop. Kasih kode biar dilanjutkan dulu game kepada panitia sampai saya siap. Saya coba pindahkan file ke flashdisk. Tetap tidak bisa. Laptop dari panitia pun tidak bisa dipakai. Akhirnya saya pasrah. Saya benar-benar harus menjalankan plan B. Kembali saya mantapkan basmillah. Bismillahirahmanirahim….

Subnanallah! Begitu kabel LCD tersambung ke laptop, saya mendengar audio yang saya insert di powerpoint! Saya dekatkan telinga untuk memastikan, dan ternyata benar! Audionya sudah kembali! Akhirnya saya sambungkan kabel audio, dan benar-benar  beroperasi dengan baik!

Tak henti-hentinya saya ucapkan syukur. Saya tampil lebih percaya diri. Dan acara berjalan sesuai harapan.  Kebesaran Allah benar-benar Allah tampakkan. Saya jadi teringat pesan mentor saya, agar selalu bersikap super positif, dalam keadaan apapun. Yakinlah, selama niat kita mulia, selalu ada Allah yang akan menolong kita.“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedu­dukanmu.” (QS. Muhammad :  7)

Rabu, Agustus 17, 2016

Berpikir dan Bersikap Positif


sumber ilustrasi : https://farm6.staticflickr.com

Akhirnya saya berhasil datang tepat waktu mengantar anak sekolah. Tapi tampaknya saya terlalu cepat. Sekolah masih sepi. Gerbang masih ditutup. Belum ada  guru yang menyambut. Tidak lama kemudian ada yang membuka gerbang.

Saya pun bertanya kepada yang membuka gerbang, “Hari ini anak-anak pulang jam berapa bu?” Ini saya tanyakan karena saat itu adalah hari pertama sekolah. Mendengar pertanyaan saya ia hanya diam, seperti kebingungan menjawab pertanyaan saya. Dalam hati, ini guru kok,  tidak tahu informasi sekolah. Saya ulang pertanyaannya, barangkali belum mendengar jelas apa yang saya katakan. Tapi saya tetap mendapat respon yang sama. Guru itu terlihat bingung. Kembali saya ulangi pertanyaannya dengan nada agak keras. “Bu, hari ini anak-anak pulang jam berapa?” Ia terlihat semakin bingung.

Saya merasa waktu habis sia-sia. Hari semakin siang, sementara aku harus berangkat ke tempat kerja, akhirnya saya pergi dengan rasa kesal. Pertanyaan sederhana saya tidak terjawab.

Beberapa hari setelah peristiwa itu, saya dapat kabar, kalau orang yang membuka gerbang itu bukan guru, tapi cleaning service. Informasi tambahan yang saya dapat juga dia punya masalah dalam pendengarannya. Ketika mengajak komunikasi harus dengan nada agak keras.

Duar!! Mendengar itu saya seperti disambar geledek! Saya salah menilai. Sangat menyesal. Terlalu dini menilai tidak responsif. Tidak peka. Tidak memberikan pelayanan yang terbaik kepada saya sebagai orang tua murid. Tapi jauh dari itu semua, ternyata saya sendiri yang bermasalah. Ketika saya ingin segera dapat jawaban atas pertanyaan yang saya lemparkan, itu pertanda saya tidak sabaran. Saat saya sempat muncul prasangka tidak baik, pertanda saya tidak berpikir positif. Sabar dan berpikir positif. Dua sikap yang masih belum benar-benar menyerap dalam urat nadi kehidupan saya.

Padahal dibalik kekurangannya, banyak yang salut dengan semangatnya bekerja. Ia paling gesit untuk urusan bersih-bersih. Ada jelaga sedikit saja langsung dibersihkan. Lantai kotor langsung dipel. Bahkan kipas angin juga ia bersihkan. Selesai bersih-bersih, apakah dia istirahat? Ternyata tidak. Ia ikut membantu pekerjaan dapur.

Ighfirnii Ya Ghaffar. Ternyata saya telah salah menilai seseorang. Saya merasa dulu berhak marah karena tidak mendapatkan jawaban yang seharusnya saya dapatkan. Parahnya pada saat itu saya merasa diri paling benar. Saya begitu mudahnya menaruh prasangka kepada orang yang belum saya kenal baik. Padahal alasan saya saat itu tidaklah masuk akal.

Saya teringat sebuah hadits, yang isinya, “Temukan tujuh puluh dalih untuk menganggap benar perilaku saudaramu yang tampak keliru di matamu… Dan jika setelah tujuh puluh alasan terasa tidak masuk akal juga, maka katakan pada dirimu : ‘Saudaraku ini punya ‘udzur yg mungkin tidak kuketahui.”

Hadits ini seakan menyiratkan pesan, boleh kok kita bersuudzon pada orang lain, asalkan kita sudah mengantongi 70 alasan. Susah? Pasti. Itulah hebatnya rasulullah mengajarkan sekaligus mengajak kita untuk selalu berpikir positif, dan tidak mudah berprasangka negatif.



Mentalitas Menghadapi USBN