sumber ilustrasi : https://tatigo.files.wordpress.com |
Di sebuah mall, seorang anak menangis
karena keinginannya minta es krim tidak dituruti. Ibunya kembali mengingatkan
kesepakatan sebelum pergi ke mall. Sudah ada daftar belanja yang akan dibeli.
Pergi ke mall hanya untuk membeli beras, minyak, gula, dan telor. Es krim tidak
ada dalam daftar. Jadi tidak bisa dibeli.
Tangisan anak semakin menjadi.
Tantrum. Orang lain yang menyaksikan drama itu sepertinya tidak tega melihat gadis
kecil itu menangis. Pikirnya, berapa sih harga es krim, paling sepuluh ribu. Tapi hebatnya sang ibu, tetap memegang teguh
kesepakatan yang telah dibuat. Ketika ada ibu yang lain akan memberikan es krim
karena kasihan, dengan halus sang ibu menolaknya.
Kenapa ibu bisa tetap pada
pendirian dan tega membiarkan anak menangis dilihat banyak orang? Ternyata jawabannya
cukup mengejutkan.
“Ini bukan masalah berapa harga
sepotong es krim,” katanya.
Ternyata sebelum berangkat, sang
ibu sudah memberi pijakan kepada putrinya, “Ibu mau ke mall, ini daftar belanja
yang akan ibu beli. Kalau mau ikut, silahkan bisa temani ibu. Ibu hanya akan
belanja yang ada dalam daftar yang sudah ibu tulis.”
Jalan-jalan di mall senang saja
buat anak ikut. Pikir si anak mungkin di mall itu menyenangkan. Barangkali saja
minta ini minta itu.
Ternyata benar. Ketika di mall
keinginannya muncul. Si anak mulai tergoda. Sebagai ibu yang komitmen, sebisanya,
sekuatnya harus tetap berpegang pada pijakan yang telah disepakati. Meski di mall,
tertarik ingin beli mainan, atau keinginan lain yang tidak ada dalam daftar, meski
nangis jangan turuti.
Satu pelajaran yang saya dapatkan;
komitmen! Ketika komitmen tidak kuat, maka anak akan menjadikan alasan dan
menjadikan cara itu sebagai senjata, dan menuntut yang lebih tinggi lagi. Kalau
saja sang ibu luluh, kemudian membelikannya es krim, maka si anak akan
berpikir, berarti kalau aku mau sesuatu, harus dengan menangis seperti dulu
saya mendapatkan es krim. Dia akan menjadikan pengalaman itu sebagai alasan
untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Tetap pada komitmen. Sekali
bilang tidak, tidak. Tidak ada perjanjiannya. Tetap tidak. Mau ngamuk, mau nangis,
tetap jangan dikasih. Itulah ibu yang kuat. Ibu yang hebat. Jika anak berhasil
menunda keinginannya, kita apresiasi. “Alhamdulilah, kamu mau ikuti apa kata
mama. Kamu boleh beli es krim, nanti kalau ayah sudah gajian ya…”
Kenapa banyak anak-anak mengancam
orang tua, karena tidak ada konsekunesi yang kita terapkan.
Boleh jadi sekarang hanya minta
es krim, tapi coba bayangkan kalau dia sudah besar. Nanti dia akan menaikkan
level keinginannya lebih tinggi lagi. Minta gadget, minta motor, minta mobil,
minta rumah lengkap sama perabotannya. Siapa yang tidak repot kalau bukan orang
tua?
Ya, iyalah. Masa tetangga sih. Hehehe….
Tapi itu tidak akan terjadi jika
anak-anak sudah lebih dulu diberi pijakan. Bahwa kita melakukan segala sesuatu
di atas sebuah kesepakatan. Bahwa ada kerja keras untuk mendapatkan sesuatu
yang kita inginkan dan kita butuhkan.
Manusiawi jika sebagai orang tua,
kita ingin memberikan yang terbaik buat anak-anaknya. Itu bukan berarti setiap
yang anak-anak inginkan kita beri. Jika ingin memberi yang terbaik, penuhi hak-hak
dasar anak seperti memberikan kasih sayang dengan tulus, memberikan perhatian.
Jika tidak anak dapatkan, maka besarnya nagih.
Dia akan menuntut dengan caranya sendiri.