Itu pun belum dihitung sejak TK
yang menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pengantar. Belum dihitung dari bahasa
yang kita gunakan sehari-hari. Pertanyaannya selama 16 tahun ini apakah kita
benar-benar menggunakan Bahasa Indonesia dalam berbahasa kita atau malah
mengabaikannya?
Andai saja semua orang tahu,
betapa dahsyatnya penggunaan bahasa berpola dalam komunikasi ini, saya yakin
semua orang akan kembali membuka pelajaran Bahasa Indonesianya yang dulu telah
dipelajari di sekolah. Jika semua orang paham betapa dahsyatnya jika bahasa ini
diverbalkan, saya yakin orang-orang akan berusaha sekuat tenaga menerapkannya.
Ada begitu banyak dari kita yang telah
mengabaikan bahasa sendiri. Barangkali yang benar-benar menerapkan bahasa
berpola ini hanya wartawan atau penulis yang benar-benar sangat memperhatikan
detail EYD. Tapi apakah hal yang sama juga diterapkan dalam berbahasa mereka
sehari-hari, atau hanya ketika untuk menulis atau membuat berita?
Prinsip komunikasi itu “yang penting nyambung,” pesan tersampaikan.
Mungkin ada yang berpendapat seperti itu. Sama! Saya pun demikian. Jadi sah-sah
saja katakanlah saat sedang kumpul-kumpul kemudian kita menginginkan sesuatu,
kita cukup bilang, “Eh, ambilkan itu!”
dan hebatnya lagi kita mendapatkan apa yang kita mau. Ada orang yang bergerak
yang mengambilkan apa yang kita inginkan. Tapi sekarang saya punya prinsip yang
berbeda. Bukan pesannya yang penting
sampai. Tapi yang sampai itu harusnya pesan yang penting.
Dalam pengamatan kami penggunaan bahasa
yang terstruktur akan membuat susunan saraf otak jadi lebih rapi dan terstruktur.
Strukturnya syaraf otak akan berimbas pada perilaku yang juga lebih tertib.
Anak menjadi lebih fokus, lebih santun, dan lebih kelihatan manusianya. Dan ini
sangat baik untuk perkembangan anak terutama anak usia dini, saat diterapkan
dalam pola pengasuhan.
Bagaimana anak bisa bergerak
tanpa diperintah, tahu batasan, mengerti peraturan, memiliki empati, lebih
santun, bisa mengkritisi segala sesuatu dengan cara penyampaian yang bisa diterima
lawan bicara, bisa memberikan informasi dengan runut dan lebih jelas. Sangat
kontras sekali dengan bahasa orang kebanyakan, bukan hanya karena tidak
berpola, tapi juga kerap kadang terdengar kurang santun, karena masih banyak
bahasa yang diucapkan masih menerapkan pola memarahi, melarang, apalagi
menyuruh.
Dampak penggunaan Bahasa
Indonesia ini hanya akan anda rasakan manfaatnya jika menerapkan rambu-rambu tanpa
3M. Dan ini menjadi rahasia kedua. Bahasa yang tanpa memarahi, tanpa melarang,
tanpa menyuruh. Inilah yang membuat saya tak mampu mengucapkan sepatah
katapun saat diminta masuk kelas untuk mengajar anak-anak SD Al Biruni.
Saya yang sudah 6 tahun menjadi
guru, ternyata dibuat tak berkutik dengan rambu-rambu ini. Dulu saya mudah saja
menyuruh anak-anak untuk duduk
tenang. Melarang atau memarahi
jika anak-anak tidak sesuai dengan yang saya inginkan. Tapi saat itu saya benar-benar dibuat tak bisa
berbuat apa-apa. Bagi saya menggunakan Bahasa Indonesia yang terstruktur tidak
masalah, karena saya juga penulis. Tapi rambu-rambu tanpa 3M itu yang membuat
saya benar-benar kehilangan kata-kata.
Saya bingung bagaimana harus
mengendalikan anak-anak tanpa memarahi, tanpa melarang, tanpa menyuruh. Hampir
saja yang berucap, “Anak-anak, tolong
yang tenang. Pak Irfan mau mengajar.” Tapi itu menyuruh. Hampir pula saya
mengucapkan, “Jangan bermain terus! Waktu
belajar kita terbatas.” Ini melarang. Bahkan hampir saja saya main fisik
dengan memegangi salah satu tangan anak kemudian berkata dengan nada emosional,
“Pak Irfan sudah peringatkan tiga kali,
tapi kalian tidak merespon, hentikan permainannya. Saatnya belajar.” Ini
memarahi.
Drama pertama masuk kelas ini
berakhir ketika Bu Izzah menyampaikan dengan tenang, “Teman-teman perlu fokus.
Pak Irfan sudah siap untuk belajar bersama teman-teman.” Tanpa perlu dikomando,
seketika anak-anak langsung mendekat ke arahku. Ini luar biasa menakjubkan!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar