Senin, Januari 16, 2017

Membaca Rasa Sang Peniru Ulung

Riset kecil yang saya sebar di fesbuk, cukup menambah sekaligus menguatkan keyakinan bahwa mendidik anak tanpa memarahi, tanpa melarang, tanpa menyuruh merupakan sebuah keniscayaan skill yang harus dikuasai guru, apalagi orang tua. Lebih-lebih mereka yang berhadapan dengan anak usia dini.

Responden memberikan tanggapan beragam, tapi mengerucut pada satu hal. Mereka tidak menemukan kenyamanan jika memosisikan diri sebagai anak yang kerap dididik dengan cara dimarahi, dilarang, ataupun disuruh.

Rohmah Hamdani mengungkapkan ketidaknyamanannya, “Sebel, membatin, menggurutu, merasa digurui seperti tidak puna pikiran dan perasaan padahal sama-sama punya otak dan hati yang sama fungsi. Tidak punya pikiran dan perasaan, padahal sama-sama punya otak dan hati yang sama fungsi.”

Muhammad Taufik Hidayat juga merasakan perasaan yang hampir sama. “Sebel. Kalau disuruh malah tidak mau dikerjakan. Kalau dilarang malah penasaran. Rebel mind.”

Aslia Jalil lebih memilih membebaskan untuk melakukan apa yang anak-anak kehendaki asalkan untuk kebaikan dan tetap dalam pantauan sepengetahuannya. Ketika melihat ada indikasi melewati batas beri pengertian. Jika masih melanggar, baru menunjukkan sikap tegas.

Ajeng Rosa Hana Monica justru merasa sedih. “Sedih banget, bahkan bisa sampe nangis kalo saya, karena wanita itu rentan.
***

Tanpa perlu menunggu ratusan komentar, saya kira beberapa komentar di atas sudah cukup mewakili. Yang jelas, kita merasa tidak nyaman jika dimarahi, tidak enak kalau disuruh-suruh, kurang tenang jika dilarang-larang. Nah, kita yang sudah dewasa saja merasakan ketidaknyamanan, lalu bagaimana dengan perasaan anak-anak, yang belum tahu apa itu konsekuensi, yang belum paham apa itu aturan, karena dunianya masih dunia bermain. Karena semua itu masih dalam tahap dikenalkan.

Mendidik tanpa 3M memang kelihatannya sederhana. Tapi butuh perjuangan luar biasa saat menerapkannya ternyata. Sadar, sabar, dan belajar menjadi kunci untuk bisa menerapkan pola ini. Karena hanya orang-orang yang sadarlah yang mau bergerak. Sadar bahwa selama ini keliru. Kemudian mencoba berubah untuk memperbaiki. Sabar menjalani proses, karena pola 3M ini adalah warisan turun temurun pola lama dalam mendidik, yang sudah mengurat akar, sudah menjadi kebiasaan, bahkan dianggap sebagai sebuah kewajaran, sehingga tidak dianggap sebagai masalah. Dan yang terakhir adalah mau belajar hal-hal yang terlihat sederhana yang berdampak luar biasa ini. 

Saya sendiri merasa kerap bersalah karena masih belum sepenuhnya bisa menerapkan pola 3M ini. Masih terbawa pengaruh pola-pola lama. Tanpa sadar kadang masih dengan sangat mudah marah. Mudah sekali membentak, dan belakangan baru tahu kalau ketika Like dan adiknya bertikai memperebutkan mainan. Sering terdengar suara bentakan si kakak kepada adiknya, yang saya perhatikan dari gaya bentakannya itu mirip dengan gaya saya ketika membentaknya.

Atas kekeliruan ini, lalu saya peluk anak saya, meminta maaf sambil berucap sesuatu kepadanya, Maafkan ayah, Nak. Ayah masih belajar. Masih belajar menjadi ayah yang baik untuk kamu, Nak.”

Dari peristiwa itulah saya mulai memantapkan niat untuk menerapkan secara total menerapkan pola mendidik tanpa memarahi, tanpa melarang, tanpa menyuruh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN