Senin, Januari 30, 2017

Dimanapun, aku mengingat-Mu

Toilet PAUD Buana Kids - Foto : Sulis
Pagi hari ini, sekali lagi saya dibuat takjub melihat ciptaan-Nya... Subhanallah... Allahu akbar...

Saat jam yang menempel mesra di dinding ruang guru menunjukkan pukul 09.32 WIB, saya menuju ke toilet. Dari kejauhan, samar-samar saya melihat Like dan Galuh, dua gadis kecil sedang berdiri berbaris di depan toilet. Mereka tidak mengetahui bahwa ada sepasang mata minus yang sedang berusaha fokus melihat ke arah mereka. Mereka berdua kini mulai asyik melantunkan do'a sebelum masuk toilet dengan begitu cerianya...

Setelah mereka selesai berdo'a saya pun mendekat, membuat mereka menyadari kehadiran saya. Mereka tersenyum ramah. Saya pun membalas senyum mereka semanis yang saya mampu.

Setelah saling membalas senyum, kami pun menuntaskan keperluan masing-masing dalam toilet.

Saya keluar dari toilet hampir bersamaan dengan mereka berdua yang keluar dari barisan toilet di samping kanan.

Saat itu, mereka kembali melihat ke arah saya dan kembali pula memberikan senyuman yang sama manisnya dengan senyuman pertama. Ah, melihat senyuman mereka saat itu saya tidak tahan untuk menyapa mereka, "Sudah selesai keperluan di toiletnya?".
 
"Sudah." Jawab mereka.
 
"Kalau sudah, lalu apa lagi yang akan dilakukan?"
 
Saya kira mereka akan jawab, "Kembali ke kelas, Bu." Ternyata saya salah. Mereka menjawab pertanyaan saya dengan melantunkan Do'a sesudah keluar toilet. 
Aih! Saya malu sendiri...

Saya kaget. Benar-benar kaget. Saya kira, saat mau masuk toilet, di dekat mereka ada guru yang sedang membimbing ataupun mengingatkan mereka untuk berdo'a sebelum masuk toilet. Ternyata tidak ada guru sama sekali. Mereka berdo'a atas inisiatif sendiri. Dan setelah keluar toilet pun tidak ada yang menyuruh mereka berdo'a. Tapi mereka melakukannya. Subhanallah...

Saya jadi teringat, pernah ada anak yang berkata : Bu, untuk apa kita berdo'a sebelum masuk kamar mandi?
 
Nak, berdo'a itu adalah ibadah. Kita memohon dan menyampaikan harapan kita kepada Yang Maha Melindungi. Kita adalah manusia, makhluk yang lemah. Hal-hal apa saja bisa menimpa kita kapanpun dan dimanapun. Jadi, untuk mamulai amal perbuatan yang akan kita lakukan, kita perlu memohon perlindungan kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Alangkah beruntungnya bapak-ibu mereka. Semoga anak-anak kita semua menjadi anak-anak soleh- soleha yang dapat menjadi berkah bagi segala makhluk di bumi, alam semesta... aamiin...
*) Kisah ini ditulis oleh Sulistyaningsih
SEMAI
Menumbuhkan Potensi, Menyebar Inspirasi 

Senin, Januari 23, 2017

Rahasia Menaklukkan Murid Hanya Dalam Satu Menit


Sebagai guru, trainer, atau pembicara anda pasti mengalami menit-menit pertama begitu tampil di kelas. Sepertinya tidak mungkin hanya akan masuk pada menit-menit pertengahan, atau menit-menit terakhir. Itulah menit-menit pertama yang tak boleh anda abaikan.

Persoalan yang dihadapi ketika di kelas tidak sekedar mental. Tapi juga harus menyiapkan beberapa jurus menghadapi anak-anak  yang susah dikendalikan. Murid-murid yang tidak terkendali, super aktif, tidak bisa diam, susah dikondisikan tak jarang membuat guru bingung, grogi, gugup, speechless, atau bahkan nangis bombay.

Jangan khawatir, dunia belum berakhir. Perasaan-perasaan itu biasa. Sangat manusiawi. Guru, trainer, bahkan pembicara yang sudah terkenal pun pernah mengalaminya. Begitu juga saya yang harus melewati satu fase tidak nyaman seperti diabaikan, tidak dianggap, bahkan dianggap adanya seperti tiada. Parah kalau hal ini terus menerus dibiarkan.

Lantas bagaimana caranya agar bisa berhasil merebut perhatian murid? Ada dua cara yang pertama belajar dari pengalaman. Ketika yang pertama gagal, maka anda harus bisa belajar dari kegagalan tersebut. Jangan sampai terulang. Yang kedua belajar langsung pada orang berpengalaman. Pelajari pola gagalnya untuk kemudian anda terapkan. Kuncinya ada pada menit-menit pertama, pada pertemuan pertama.

Lalu bagaimana kalau di tengah pembelajaran suasana sudah tidak asyik lagi untuk belajar? Telalu panjang saya jelaskan di sini. Tapi jangan khawatir, anda bisa mendapatkan jawabannya pada buku kedua saya yang berjudul Hanya satu Menit; anda bisa menaklukkan hati murid.

Dalam buku ini saya beberkan rahasia saya menaklukkan hati murid dari menit-menit pertama sampai menit-menit terakhir. Termasuk 99 permainan yang bisa membangkitkan murid-murid semangat belajar dan berada pada zona alfa.

Gara-gara menerapkan beberapa teknik yang saya tuangkan dalam buku ini, murid-murid saya sampai kecewa saat jam saya berakhir. Sedemikian ingin terus membersamai, saya bahkan sampai tidak boleh keluar kelas. Saya bahkan sering dijemput paksa di ruang guru untuk segera mengajar.  
Buku ini telah mendapat rekomendasi dari para praktisi pendidikan juga motivator seperti Aris Ahmad Jaya, Mr. Sugesti Indonesia yang telah mengapresiasi buku ini. “Buku yang cerdas dan menginspirasi. Para guru perlu membaca dan mempraktekkannya. Hati murid akan hadir untuk anda.”
 
Siti Sundari, Pakar Bahasa Cinta, sekaligus pengelola Buana Kids dan SD Al Biruni juga sangat merekomendasikan buku ini untuk dimiliki para guru. Menurutnya, menjadi guru yang disayangi dan dicintai anak-anak adalah sebuah keniscayaan. Sangat mudah sebetulnya. Rebutlah hati mereka. Buku ini merupakan salah satu gerbang ikhtiar bagi para pendidik untuk diterima oleh mereka.

Benar, buku ini tepat buat anda yang ingin mengetahui beragam teknik mengondisikan murid. Jika selama ini masih mengabaikan menit-menit pertama, atau menganggap bahwa kesan pertama tidak begitu diabaikan, maka anda wajib memiliki buku ini. 

Salam

Ali Irfan - PENULIS BUKU Hanya Satu Menit; anda bisa menaklukkan hati murid

PROMO PRE LAUNCHING HANYA SATU MENIT
Harga Rp. 50.000 I Tebal Buku 204 halaman
Diskon 20% untuk pemesanan mulai 24-31 Januari 2017
Free Ongkir untuk Area Tegal Kota dan Kabupaten
Info Pemesanan : 0878 4858 7456


Anak-anak yang Kurindukan



Ali Irfan saat memberikan training motivasi dalam acara Mabit MI Luqman Al Hakim - foto- foto2 by Araf Hakim
Saya merasa bahagia bisa dipertemukan dengan anak-anak hebat pada kesempatan Mabit MI Luqman Al Hakim belum lama ini. Saya juga tak kalah bahagianya pernah menjadi bagian sejarah dari MI Luqman Al Hakim. Mendidik dan membersamai mereka di sekolah menjadi sejarah tersendiri buat saya sekaligus menjadi sumber inspirasi.

Malam itu saya memperkenalkan diri sebagai Pak Irfan. Anak-anak melongo. Saya sampaikan dulu identitas saya ketika masih mengajar di Luqman Al Hakim adalah Ustad Ali. Berkacamata, guru ramah, menyenangkan, dan selalu ceria. Tapi sekarang identitas saya berubah. Di tempat saya yang baru, SEMAI, saya memang menjadi manusia baru. saya bukan lagi sebagai Ustad Ali, tapi sebagai Pak Irfan. Bedanya Pak Irfan tidak lagi pakai kacamata, dengan gaya bahasa yang berbeda.

Di hadapan mereka saya minta persetujuan, sayang mereka keberatan. Anak-anak lebih memilih tetap menyapa saya Ustad Ali. Tapi tidaklah mengapa. Mereka tetap murid saya. Saya tetap guru mereka. Bukankah hubungan guru murid tidak akan terputus hanya karena sudah tidak berada pada satu sekolah lagi.

Kehadiran saya di sana difasilitasi Ustad Daiman selaku Kapal Madrasah dan Ustad Araf sebagai Waka Kesiswaan. Tujuannya satu, mengisi training motivasi anak-anak kelas 6. Pertemuan ini sekaligus mengingatku saat masih bersamai mereka di sekolah. Itulah masa-masa yang masih kurindukan sampai detik ini.


Pernah beberapa kali saya silaturahim ke sekolah, tapi karena tujuannya hanya bertemu dengan beberapa guru, membuat pertemuan dengan anak-anak terasa belum optimal. Ketemu hanya sekedar menyapa setelah itu mereka kembali masuk ke kelas lagi untuk belajar.

Pertanyaan yang seringkali keluar saat saya bermain di sekolah adalah,

“Kenapa Ustad Ali pindah?”

“Kenapa Ustad Ali tidak ngajar lagi?”

“Sekarang ustad Ali ngajar dimana?”

Saya pikir inilah momentum tepat untuk memberikan jawaban secara lengkap. Harapannya dengan memberikan jawaban ini, ketika suatu saat saya main lagi ke sekolah, pertanyaan anak-anak sudah berbeda dan berganti dengan pertanyaan-pertanyaan lain.

Saya sampaikan bahwa kepindahan Ustad Ali ke tempat yang sekarang itu dalam rangka hijrah. Bahasa kerennya itu move on. Dari tempat yang baik menuju tempat yang lebih baik lagi. Alasan lain adalah punya misi menyebarkan ilmu dengan jangkauan yang lebih luas lagi melalui lembaga pelatihan yang saya kelola. Sekaligus mengajarkan pengalaman yang telah saya dapat selama menjadi guru di MI Luqman Al Hakim, sekaligus belajar dunia baru yang memang tidak jauh-jauh dari passion saya saat ini. Teaching, writing, & training.

Malam itu saya menyampaikan pentingnya kita untuk melangitkan impian. Ketika impian sudah terlangitkan, maka langkah berikutnya adalah memantaskan diri untuk bisa meraih impian itu. Katakanlah kita ingin membahagiakan orang tua agar kita bisa meraih syurga. Tapi ketika masih sering membuat orang tua kita kecewa, maka syurga belum pantas untuk kita. Ketika shalat masih belum lengkap, maka syurga belum pantas untuk kita.

Cara lain adalah dengan memberikan manfaat seluas-luasnya untuk banyak orang. Semakin sering kita dimanfaatkan, maka akan semakin besar ladang pahala yang bisa kita dapatkan. Tapi ketika orang lain jarang memanfaatkan kita, itu berarti hati kita masih belum bening. Ketika ada yang tidak meminta pertolongan dari kita, itu artinya hati kita belum jernih.

Jika belum ada yang memanfaatkan kita, maka bisa dimulai dengan dengan menawarkan diri agar orang lain bisa memanfaatkan kita, menawarkan pertolongan buat orang lain baik yang membutuhkan maupun terlihat tidak membutuhkan. Dengan begitu kita menjadi semakin bermanfaat.


  

Kamis, Januari 19, 2017

Boleh Saya Tilang, Mbak?

Siapa bilang penggunaan bahasa berpola yang kami terapkan di sekolah hanya untuk interaksi antara guru murid atau orang tua anak saja. Tidak seterbatas itu. Penerapannya justru bisa kepada siapa saja. Kalau anda baca postingan saya kemarin, ada percakapan antara Damar dengan penjaga toko roti.

Nah, hari ini saya mendapatkan kisah berbeda lagi. Kisah tentang salah satu guru Buana Kids yang ketika melaju sepeda motornya dihentikan petugas operasi lalu lintas. Kawan saya yang sudah terbiasa dengan pola bahasa santun tampak tenang menghadapi polisi. Bagaimana kelembutan bahasanya yang mampu melunakredamkan emosi. Kekuatan bahasa berpola dengan penyampaian yang santun, ternyata berdampak pada seorang polisi yang mendadak minta ijin untuk menilang.

“Maaf pak, saya tidak membawa STNK,” kata Bu Uci dengan lembut
 
“STNK-nya dimana?” tanya polisi.

“STNK sedang di bawa kakak di Jakarta untuk mengurus mutasi.”

“Mbak harusnya bawa surat keterangan.”

“Oh, begitu ya pak. Maaf, saya tidak tahu informasi itu.”

“Boleh saya tilang, mbak?”

Dalam hati teman saya merasa terkejut, “Eh, pak polisi malah  minta izin. Santun benar Pak Polisi ini.”  Ia malah jadi tidak enak hati.

Akhirnya kawan saya pun tetap dapat surat tilang, yang akan diselesaikan melalui jalur pengadilan.

“Oh, iya, pak. Nanti kalau ke pengadilan apa yang harus saya bawa dan saya siapkan?” tanya kawan saya polos.

“Tidak perlu bawa apa-apa, cukup bawa surat tilang ini saja.”

“Maksud saya berapa uang yang harus saya siapkan?” Pak Polisi pun menyebutkan kisaran angka. Kawan saya mengucapkan terimakasih.  
***
Bisa kita lihat, bagaimana proses penilangan berlangsung dengan adem, saling menerima, saling memahami dan mengerti dengan peran masing-masing. Sementara kebanyakan, ketika ada operasi lalu lintas, yang merasa bersalah lebih memilih menghindar agar tidak ditilang. Kalau pun terpaksa sudah distop juga berusaha mengelak, melakukan pembelaan. Belum lagi dengan ekspresi kebanyakan petugas yang menampakkan wajah beringas. Bahkan tak jarang suasana menjadi semakin memanas. Polisi ngotot untuk menindak pelanggar, yang melanggar juga tidak kalah ngotot melakukan adu argument yang intinya agar tidak jadi ditilang.

Selama ini, kesantunan di jalan seolah telah hilang. Bahkan pada kesempatan yang sama tepat di samping kawan saya itu ada juga sepeda motor yang diberhentikan oleh polwan. Pengendara sepeda motor itu bapak-bapak paruh baya, hanya mengenakan kaos dan celana pendek, tanpa helm, termasuk surat-surat. Belum ditanya, si bapak langsung membela diri

“Saya baru dari rumah sakit. Baru periksa. Tidak bawa apa-apa.”

“Tetap kami tilang, pak,” ucap Polwan itu tegas. Tanpa senyum. ekskpresinya jauh dari kesan ramah.

Dari kisah ini saya banyak belajar, betapa sikap santun tetap diperlukan dimanapun, tidak terkecuali di jalanan.

 


Rabu, Januari 18, 2017

BAHASA YANG TIDAK BIASA


Sejak bergabung di SEMAI, saya begitu banyak menemukan kisah menakjubkan terkait penggunaan bahasa. Kebetulan kantor SEMAI, satu atap dengan Buana Kids dan SD Al Biruni. Ada banyak kosakata tidak biasa yang banyak menyimpan decak kagum bagi siapapun yang mendengarnya. Karena kalimat-kalimat tidak biasa itu diucapkan dari lisan seorang anak kecil.

Kosakata yang mereka bahasakan terdengar memang seperti kata-kata level tinggi. Bagaimana anak kecil mengucapkan kata ‘bergerak’ yang maknanya menyebutkan temannya membantu melakukan. “Hafiz belum bergerak merapikan mainan,” itu salah satu contoh.

Contoh lain adalah kalimat yang diucapkan Zafira. “Aku tidak bertanggung jawab, atas nasi yang tidak aku ambil sendiri” Kalimat itu diucapkan ketika porsi nasi yang diambil oleh ibunya terlalu banyak melebihi kapasitas yang biasa dimakan Zafira.    

“Bunda, posisi mejanya belum akurat!” kalimat yang terucap untuk merapikan posisi meja seperti barisan meja-meja yang lain.

“Sepertinya Azam perlu bersabar” ini terujar ketika mengingatkan teman yang ingin segera mendahului menyenduk nasi. Saat itu temannya yang semestinya mendapat giliran sedang berada di kamar kecil. Jadilah tempat nasi itu tidak bergerak, dan teman-temannya bersabar menunggu.

“Ada yang perlu bertanggung jawab,” ini adalah cara mengingatkan temannya yang belum menuntaskan pekerjaan.Misalnya menumpahkan air yang seharusnya segera dipel tapi tidak juga dilakukan.

Dan kisah terbaru yang aku dapatkan adalah dari salah satu orang tua murid Buana Kids. Beginilah kisah selengkapnya….

Damar kemarin pergi ke sebuah toko roti. Damar mengambil satu bungkus roti dan membayarnya ke kasir. Di dekat pintu keluar Damar ditawari oleh penjaga toko.

"Dik, kuenya kok cuma satu? Puddingnya tidak? Ada macam-macam rasanya lho, yang cokelat enak banget, ada coklat aslinya". Dan tahukah teman-teman, jawaban Damar membuat penjaga toko tidak berkutik.

"Aku butuhnya hanya kue, satu sudah cukup, dan aku tidak mau pudding. Aku tidak suka makanan yang teksturnya kenyal."

Saya sendiri tidak bisa bayangkan bagaimana perasaan si penjaga toko roti itu ketika menawarkan roti yang lain tapi ditolak dengan sangat halus oleh anak usia 5 tahun.

PELATIHAN 5 KONTINUM BERBAHASA

Siti Sundari - Pakar Bahasa Cinta
Kekeliruan terbesar orang tua dalam mendidik anak adalah tidak sadar jika dirinya melakukan kesalahan. Fatalnya mereka baru memberikan reaksi ketika anak mulai bermasalah, dan reaksi paling parah adalah baru bergerak saat masalah sudah terlampau parah.

Satu contoh kesalahan yang sering tidak disadari adalah ketika anak tidak sesuai dengan kemauan, banyak orang tua yang bereaksi dengan memarahi, melarang, atau menyuruh. Kesalahan berikutnya tidak jarang ketika berkomunikasi langsung potong kompas dengan intervensi fisik. Padahal itu adalah fase paling rendah dalam tahapan berbahasa. Lantas, apa fase paling tinggi dalam tahapan berbahasa?

Semua jawaban itu bisa anda dapatkan dalam kelas parenting SEMAI yang hadir dengan sentuhan tema baru; “5 Kontinum Berbahasa”

PELATIHAN 7 JAM INI AKAN MEMBAHAS 3 KUNCI PENTING BAHASA PARENTING:
• Teknik berbahasa sesuai dengan tahapan
• Strategi Berbahasa tanpa marah, tanpa melarang, tanpa menyuruh
• Rahasia kedahsyatan Bahasa Berpola

PELATIHAN INI AKAN DISELENGGARAKAN PADA
Hari/ Tanggal : Sabtu, 21 Januari 2017
Waktu : Pukul 08.00 – 15.00 WIB
Tempat : Di Semai Meeting Room (Buana Kids Building 2nd Floor)
Jl. Raya Mejasem – Pacul No 59-61 Kec. Talang – Kab.Tegal

TRAINER
Siti Sundari (Pakar Bahasa Cinta)

CO- TRAINER
 Ali Irfan (Penulis)

FASILITAS
• Ilmu praktis yang applicable
• Coffee Break 2x
• Lunch
• Observasi Penggunaan Bahasa
• Gratis konsultasi dengan trainer selama 1 bulan.

INVESTASI PELATIHAN 200ribu

Pendaftaran melalui transfer rekening BSM (Bank Syariah Mandiri) 7013441671 atas nama Ali Irfan

Pendaftaran anda ke ke 0858 7957 1653 (Sulis)
  KATA PESERTA YANG PERNAH IKUT PELATIHAN SEMAI

“Rasa penasaran yang saya selama ini saya pendam akhirnya terjawab. Ilmu mudah, bisa dipraktekkan, hanya saja jarang digunakan. Penggunaan bahasa yang saya dapatkan dalam SEMAI Parenting ini akan saya coba tularkan di teman-teman guru di sekolah.”

Sasmi Pamiluwati, Guru SDIT Al Azkar – Pamulang, Tangerang Selatan.

“Dosa-dosa yang sering saya lakukan dalam mendidik anak jadi lebih terbuka setelah ikut Parenting SEMAI. Mudah-mudahan penggunaan bahasa yang diajarkan dalam pelatihan ini bisa dipraktekkan sebagai penebus kesalahan yang selama ini saya perbuat.

Alfia Kurnia – Karyawan Bank Muamalat Cabang Tegal

“Penggunaan Bahasa yang diterapkan dalam pelatihan ini membuat anak jadi kelihatan manusianya. Empati anak tumbuh dengan kesadaran.

Ubaidillah Naufal Hanif – Guru Tahfidz di SMP IT Al Azkar

Pelatihan ini pas sekali dengan karakter orang Indonesia yang inginnya praktis dan cenderung cari jalan pintas dalam mendidik anak. Biar banyak orang sadar kalau sebenarnya tidak ada jalan pintas dalam mendidik anak. Ilmunya sederhana, tapi cukup mengena.

Hibatullah Hauzan Hanif, Bimbel Rumah Pintar, Jakarta Timur 

“Hari kedua saya mempraktekkan metode ini anak-anak jadi lebih santun. Saya juga lebih bisa mengkondisikan kelas yg notabene kelas anak-anak super. Subhanallah ternyata ilmu yg simpel dampaknya luar biasa, saya akan terus gunakan metode ini, terima kasih ilmunya.

Afianti Wulandari - Pekalongan

Senin, Januari 16, 2017

Membaca Rasa Sang Peniru Ulung

Riset kecil yang saya sebar di fesbuk, cukup menambah sekaligus menguatkan keyakinan bahwa mendidik anak tanpa memarahi, tanpa melarang, tanpa menyuruh merupakan sebuah keniscayaan skill yang harus dikuasai guru, apalagi orang tua. Lebih-lebih mereka yang berhadapan dengan anak usia dini.

Responden memberikan tanggapan beragam, tapi mengerucut pada satu hal. Mereka tidak menemukan kenyamanan jika memosisikan diri sebagai anak yang kerap dididik dengan cara dimarahi, dilarang, ataupun disuruh.

Rohmah Hamdani mengungkapkan ketidaknyamanannya, “Sebel, membatin, menggurutu, merasa digurui seperti tidak puna pikiran dan perasaan padahal sama-sama punya otak dan hati yang sama fungsi. Tidak punya pikiran dan perasaan, padahal sama-sama punya otak dan hati yang sama fungsi.”

Muhammad Taufik Hidayat juga merasakan perasaan yang hampir sama. “Sebel. Kalau disuruh malah tidak mau dikerjakan. Kalau dilarang malah penasaran. Rebel mind.”

Aslia Jalil lebih memilih membebaskan untuk melakukan apa yang anak-anak kehendaki asalkan untuk kebaikan dan tetap dalam pantauan sepengetahuannya. Ketika melihat ada indikasi melewati batas beri pengertian. Jika masih melanggar, baru menunjukkan sikap tegas.

Ajeng Rosa Hana Monica justru merasa sedih. “Sedih banget, bahkan bisa sampe nangis kalo saya, karena wanita itu rentan.
***

Tanpa perlu menunggu ratusan komentar, saya kira beberapa komentar di atas sudah cukup mewakili. Yang jelas, kita merasa tidak nyaman jika dimarahi, tidak enak kalau disuruh-suruh, kurang tenang jika dilarang-larang. Nah, kita yang sudah dewasa saja merasakan ketidaknyamanan, lalu bagaimana dengan perasaan anak-anak, yang belum tahu apa itu konsekuensi, yang belum paham apa itu aturan, karena dunianya masih dunia bermain. Karena semua itu masih dalam tahap dikenalkan.

Mendidik tanpa 3M memang kelihatannya sederhana. Tapi butuh perjuangan luar biasa saat menerapkannya ternyata. Sadar, sabar, dan belajar menjadi kunci untuk bisa menerapkan pola ini. Karena hanya orang-orang yang sadarlah yang mau bergerak. Sadar bahwa selama ini keliru. Kemudian mencoba berubah untuk memperbaiki. Sabar menjalani proses, karena pola 3M ini adalah warisan turun temurun pola lama dalam mendidik, yang sudah mengurat akar, sudah menjadi kebiasaan, bahkan dianggap sebagai sebuah kewajaran, sehingga tidak dianggap sebagai masalah. Dan yang terakhir adalah mau belajar hal-hal yang terlihat sederhana yang berdampak luar biasa ini. 

Saya sendiri merasa kerap bersalah karena masih belum sepenuhnya bisa menerapkan pola 3M ini. Masih terbawa pengaruh pola-pola lama. Tanpa sadar kadang masih dengan sangat mudah marah. Mudah sekali membentak, dan belakangan baru tahu kalau ketika Like dan adiknya bertikai memperebutkan mainan. Sering terdengar suara bentakan si kakak kepada adiknya, yang saya perhatikan dari gaya bentakannya itu mirip dengan gaya saya ketika membentaknya.

Atas kekeliruan ini, lalu saya peluk anak saya, meminta maaf sambil berucap sesuatu kepadanya, Maafkan ayah, Nak. Ayah masih belajar. Masih belajar menjadi ayah yang baik untuk kamu, Nak.”

Dari peristiwa itulah saya mulai memantapkan niat untuk menerapkan secara total menerapkan pola mendidik tanpa memarahi, tanpa melarang, tanpa menyuruh.

Mentalitas Menghadapi USBN