Sabtu, Desember 24, 2016

Tempat Asyik Menikmati Durian

Apa yang terbayang pertama kali ketika mendengar kata durian?
Tepat! Aroma wanginya!

Ada sensasi yang membahagiakan manakala melewati pedagang durian yang mangkal di pinggiran jalan. Menikmati wanginya adalah sebuah kesenangan tersendiri. Mencium aromanya saja sudah bikin bahagia, apalagi kalau langsung menikmati durian ya…

Bahkan durian itu ternyata menyimpan keunikan tersendiri. Ia mampu mengubah benci menjadi cinta. Lama tak jumpa menjadi rindu. Untuk ini sudah cukup banyak contoh, orang yang semula bencinya minta ampun dengan durian, setelah mencicipi durian justru malah jadi pecinta durian.


Dan saya salah satunya. Dulu, mencium aroma wanginya saja bikin kepala kliyengan. Namun ketika melihat bapak dengan lahapnya menyantap durian nyaris tanpa sisa membuat saya penasaran. Bahkan durian yang masih menempel di jari pun dilumatnya habis. Rasa penasaran saya semakin menjadi-jadi manakala satu buah durian bisa habis seorang diri. Seenak apa sih makan durian sampai sebegitunya? Akhirnya saya mencoba durian hanya seujung jari.

Dan ternyata wauw! Setelah mencoba mencicipi daging durian, saya langsung ketagihan ingin lagi, lagi, dan lagi! Sejak saat itu pula saya menjadi suka durian. Yang namanya cinta, pasti pernah pula dibuat kecewa. Iya, kecewa karena durian saat itu hanya bisa dinikmati ketika musim durian. Sudah begitu harganya yang relatif mahal membuat kantong jadi tidak bersahabat. Belum lagi saya seringkali kecewa ketika membeli buah durian, rasanya tak sekuat aroma wanginya. Parahnya sudah capek-capek mengupas, bahkan sampai kulit terluka terkena duri, ternyata duriannya tidak manis.

Saya bayangkan sepertinya enak ya kalau ada durian tinggal santap, tanpa harus mengupas, tanpa harus khawatir kulit terluka tertusuk duri. Sepertinya enak ya saya bisa menikmati durian seperti menikmati es krim. Sampai akhirnya saya menemukan satu tempat yang asyik untuk menikmati durian. Sebuah tempat yang benar-benar menjawab apa yang telah saya bayangkan. Tempat itu tidak lain adalah Kedai Durianlover.

Di sini saya bisa sepuasnya makan durian, dan tepat seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Tinggal santap. Kedai Durianlover ini very recommended menjadi destinasi wisata kuliner bagi para pecinta durian. Di sini anda tak perlu repot-repot mengupas kulit durian, karena di Kedai Durianlover, menyediakan durian beku Medan siap santap dengan rasa yang sudah terjamin mantap. Kedai Durianlover juga menawarkan varian olahan durian seperti es cincau durian, es nyiur durian, dan pancake! Racikan menunya menawarkan rasa original. Nikmatnya durian bahkan sampai tak kenal musim.

Saat ini Kedai Durianlover menempati sebuah ruko di Jl. Srigunting 60. Anda penasaran, silahkan rasakan dan buktikan saja sendiri. Bisa buat ramai-ramai. Buka sampai jam sembilan malam.

KEDAI DURIANLOVER
Cara asyik menikmati durian.
Jl. Srigunting, 10 meter dari perempatan Jalan Sriti dan Jalan Merpati. Randugunting.
Buka mulai pukul 09.00 – 21.00 WIB
Menerima delivery order untuk area Tegal
Kontak Person : 081391873536

Jumat, Desember 09, 2016

Bukan Sekedar Trend, Bukan Pula Urusan Modis



Istri saya tercinta membelikan sepatu sandal baru untuk Echa. Usia si cantik hampir 2 tahun. Bentuk sandalnya menarik, modern, dan warnanya cerah, pokoknya kid minded! Dapat menarik siapa saja, tidak hanya anak tapi juga orang tua tak terkecuali ya istri saya itu. Dan dugaan saya benar, Like, sang kakak tertarik dengan sandal baru adiknya. Akhirnya Like meminta ijin untuk memakai sandal adik untuk dipakai ke sekolah. Tapi…  disinilah masalah itu terjadi.

Like tampak kerepotan saat hendak memakai sandal sepatu itu. Entah berapa lilitan yang melingkari pergelengan di area mata kaki sehingga butuh waktu banyak bagi si kakak untuk mengenakannya. Saat itu saya sudah siap-siap mengantar ke sekolah. Sudah siap tancap gas. Tinggal menunggu si kakak. Saya yang sudah menunggu cukup lama, akhirnya mulai bereaksi. “Ini sudah jam berapa? Kalau Like kerepotan bisa pakai sepatu yang biasa Like pakai.”

Model sandal itu ternyata terlalu merepotkan saat akan dipakai. Alih-alih tampil modis, kekinian, tapi justru mengabaikan hal prinsip yang bisa melatih kemandirian anak. Sandal itu ternyata tidak sesuai dengan tahap perkembangan kebutuhan anak. Bahkan dalam hati saya sempat berpikir yang tidak-tidak tentang anak saya. Tidak biasanya bisa selama ini hanya untuk urusan memakai sepatu. Hampir saja saya mengatakan kalau anak saya lambat, tidak sigap, kurang menguasai klasifikasi waktu, belum bisa menentukan prioritas, sungguh pikiran yang perlu dibuang jauh-jauh karena mengarah kita untuk tidak berpikir positif.

Karena keterdesakkan waktu yang sudah siang, akhirnya saya juga yang turun tangan membantu memakaikan sandal sepatu itu. Saat sampai di sekolah, ternyata Like merasa kesulitan juga untuk melepasnya. Saya pula yang bantu melepaskan. Akhirnya saya berkesimpulan bahwa sandal ini sangat tidak tepat buat anak. Karena tidak melatih kemandirian. Tidak efisien.

Kasus serupa juga pernah terjadi tapi dengan produk yang berbeda. Tas roda. Di sekolahnya, banyak teman-temannya mengenakan tas yang didesain seperti koper dengan roda di bagian bawah. Yang namanya anak-anak, mudah tergiur dengan apa yang dibawa teman seusianya. Karena tas yang sudah rusak juga resletingnya, uminya Like pun membelikan tas. Dan pilihan Like jatuh pada tas roda. Seperti punya teman-temannya. Apa yang salah dari model tas itu? Coba perhatikan baik-baik!

Roda dalam koper itu memang didesain untuk meringankan beban yang berat. Sementara fungsi tas itu digendong. Cara membawanya diseret. Coba kita kembalikan pada fakta atau fungsinya. Tas beroda itu untuk koper. Koper untuk membawa beban yang berat. Misal mau pergi ke luar negeri, naik pesawat, yang butuh bawa banyak barang, sangat dianjurkan pakai koper beroda. Lagian, apakah beban yang dibawa anak TK seberat itu, sehingga memerlukan roda? Tidak kan?

Dan saat naik motor pun Like merasa kerepotan mau diletakkan dimana tas roda itu. Akhirnya beberapa kali tas itu berada dipangkuannya, dan membuat tidak nyaman. Sampai akhirnya ia tidak mau pakai tas itu lagi. Dan lebih memilih tas gendong biasa yang lebih ringan dan mudah dicangkolkan di sepeda motor.

Satu lagi masalah baju. Kali ini memang murni kesalahan saya yang punya anggapan kalau baju bermerek itu bagus. Ternyata tidak demikian. Bajunya sih modis, branded, sayangnya tidak ramah anak. Bagaimana mau ramah, kancing baju usia anak 4 tahun letaknya di belakang. Orang dewasa saja pasti kerepotan jika model kancing atau resleting bajunya ada di belakang, apalagi anak-anak? Lebih menyedihkannya lagi ketika saya sendiri yang menyaksikan saat baju itu dibawa ke sekolah sebagai baju ganti. Selesai mandi, anak saya lama sekali memegangi baju itu, ternyata ia kebingungan cara memakai bajunya karena posisi kancing yang di belakang. Dari sini saya merasa bersalah!

Jangan memilih sesuatu untuk anak sesuai dengan persepsi kita. Tapi perlu dipandang juga dalam perspektif anak.  Baju atau sandal yang kita pilih itu ramah anak atau justru malah merepotkan anak atau bahkan merepotkan orang lain? Pertimbangannya tidak lagi sekedar urusan modis, lagi trend, tapi lebih kepada fungsinya. Lebih kepada  manfaat. Jauh dari itu adalah yang bisa membuat anak bisa berlatih mandiri sesuai tahap perkembangannya. 

Ketika anak kita tumbuh menjadi pribadi yang tidak mandiri anak juga kan yang repot nantinya. Ketika anak terbiasa dimudahkan, maka anak tidak akan memiliki daya juang. Ketika pada usia anak terbiasa dimudahkan segala urusannya maka kelak ketika anak besar tidak akan menjadi pribadi yang tangguh. Sedikit menemui kesulitan langsung mengeluh.
                                                                             

Kamis, Desember 08, 2016

Ketika Anak Bermasalah, Siapa yang Harus Diterapi?

Sebagai ayah atau ibu, mari kita mengevaluasi diri. Ada satu pertanyaan yang cukup merisaukan saya.  Ini sekaligus bisa menjawab rasa penasaran saya akan kebenaran tesis ini. Sebagian besar orang tua baru bereaksi ketika anaknya bermasalah. Lalu saya lemparkan pertanyaan kepada para peserta pelatihan, benarkah kebanyakan orang tua baru bergerak ketika anak-anaknya mulai bermasalah? Ternyata hampir sebagian besar orang peserta pelatihan menjawab, “Ya!”

Kemana orang tua saat anak-anak belum bermasalah? Deg! Skak Mat!  Pertanyaan ini seakan menjadi pukulan telak.

Anak terlambat bicara, terlambat jalan, anak masih belum mandiri, apa-apa maunya dilayani terus, anak tidak mau mengalah, dan masih banyak lagi masalah-masalah lain. Ketika anak bereaksi diluar dari yang orang tua harapkan, barulah kita mulai memberi label nakal untuk anak-anak kita.
“Anak saya kok ga mandiri-mandiri ya, maunya disuapin terus kalau makan,”
“Anak saya itu kalau permintaannya tidak dituruti, hobinya marah-marah.”
“Anak saya itu tidak pernah mau mendengarkan omongan saya sebagai ibunya.”

Lantas kita bereaksi dengan memarahi, karena tindakannya tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita melarang anak melakukan sesuatu yang kita anggap keliru. Padahal anak dengan imajinasinya yang tinggi bisa jadi punya gambaran-gambaran besar yang tidak diketahui kita sebagai orang tua. Tapi ketika dimarahi, maka runtuhlah imajinasi anak.

Ketika masalah-masalah itu muncul, maka orang tua mengambil tindakan bahwa anaknya perlu diterapi. Dalam arti lain yang bermasalah anak jadi yang diperbaiki adalah anaknya. Maka didatangilah psikolog, terapis, lalu dihadirkanlah guru les, guru ngaji untuk ‘memperbaiki kesalahan anak.’ Orang tuanya hanya sebagai penonton, menunggu hasil. Tapi sayangnya, semua pilihan itu tidak memberikan hasil maksimal sesuai harapan.

Kalau sebagian besar berpikir ketika anak bermasalah yang diterapi adalah anaknya, bagaimana kalau logika berpikir itu kita balik dengan melemparkan satu pertanyaan?  Siapa sebenarnya yang harus diterapi? Anaknya atau orang tuanya?

Bukankah anak yang bermasalah itu akibat dari pola asuh yang salah. Ketika kebutuhan dasar anak akan kasih sayang tidak terpenuhi, besar kemungkinan anak akan bermasalah. Ketika kebutuhan sensori motor anaknya tidak dipenuhi besar kemungkinan dia akan menjadi anak yang hiperaktif, karena mencoba memenuhi kebutuhan itu dengan caranya. Ketika anaknya pendiam bisa jadi karena interaksi komunikasi orang tua dengan anaknya sangat kurang.

Dan ini pernah terjadi pada salah satu ibu yang punya anak tapi omongannya tidak pernah didengar anaknya yang saat ini usianya sudah 3 tahunan. Setelah ditarik ke belakang, ternyata saat masih dalam kandungan, tidak pernah sekalipun anaknya diajak berbicara, tidak pernah disentuh, karena waktunya habis bekerja. Setelah melahirkan pun, momen kebersamaannya tidaklah lama, karena selesai cuti melahirkan sang ibu kembali bekerja. Yang membuat hati miris lagi, saat menyusui sekalipun, ya menyusui saja, tanpa mengajak bicara.

Ketika ditanya, kenapa tidak diajak bicara? Jawabannya bikin menyesakkan dada. “Tidak sempat…” Padahal anaknya ada diketiak ibunya.

Jika sudah demikian, maka yang layak untuk diterapi lebih dulu adalah orang tuanya, ketika ayah ibu sudah memiliki pola pengasuhan yang benar, otomatis akan mendidik anaknya dengan benar. Tapi selama ayah bunda tidak memiliki bekal ilmu parenting yang mencukupi, maka kesalahan-kesalahan yang semestinya tidak perlu terjadi, pasti terjadi, dan menjadi sebuah kesalahan kumulatif yang dampaknya akan dirasakan anak-anak, bahkan orang tua sendiri.

Salah satu pelatihan yang saya rekomendasikan adalah pelatihan penggunaan bahasa, Bagaimana mendidik tanpa melarang, tanpa memarahi, tanpa menyuruh. Dan pola ini yang hampir dilakukan oleh sebagian besar orang tua. Saking banyak para pelaku yang menerapkan 3M ini maka itu dianggap sebagai hal yang biasa, meski sebenarnya menyimpan banyak masalah.

Kenapa harus dimulai dari penggunaan bahasa?
Sederhana sekali, karena akar dari semua permasalahan bisa diselesaikan dengan bahasa.

Rabu, November 30, 2016

Bahasa Anak Gaul

Mendengar anak muda zaman sekarang bicara terkadang saya gagal paham. Terutama dengan gaya bahasa mereka yang alay. Banyak bahasa gaul yang saya dengar, seperti, “woles” yang artinya santai, slow, atau tenang saja. Sesekali saya mendengar kepo, wa ini, kampretos, dan kata-kata lain yang dulu tidak pernah saya dengar.

Saya berpikir, bagaimana bila anak-anak ini suatu saat jadi imam shalat. Sebelum shalat dimulai, biasanya imam berkata, rapatkan dan luruskan.  Bisa-bisa, karena ingin terlihat gaul, mereka akan berkata, “rapatkan dan rebonding!” Ini adalah khayalan tingkat tinggi yang tak perlu diperdebatkan.
Selain bahasa gaul tadi, ada lagi panggilan kepada orang yang dulu jarang saya dengar. Ada yang memanggil temannya bro, fren, coy, atau wanyad kalau di Tegal. Boleh jadi panggilan paman, om, paklik, bude, mbakyu, kangmas akan tersisih dan tergusur dengan istilah baru ini. Ini bahaya! Sangat berbahaya!

Alkisah, seorang remaja gaul Jakarta datang ke rumah saudaranya di pedalaman Sumatera Utara. Ketika pamannya pulang dari berburu di hutan, anak gaul itu bertanya, 

“Darimana coy?”

Pamannya yang sedikit kaget karena dipanggil coy menjawab sekenanya. 

“Dari hutan.”

“Ngapain ke hutan?” tanya si anak gaul ini lagi. Pamannya menjawab. 

“Habis menembak babi hutan!” 

Langsung anak gaul itu berkomentar, “Cie-cie-cie! Nembak babi hutan, ni ye! Tapi ngomong-ngomong diterima nggak tuh tembakannya?”

Lagi-lagi ini adalah khayalan fiksi yang tidak perlu diperdebatkan. Just for fun ya! Hehehe..

***
Saya yakin anda tidak ingin anak-anak anda bahasanya kacau bukan seperti anak gaul tadi? Belum terlambat, salah satu cara mendidik anak itu ternyata dimulai dari penggunaan bahasa. Nah, biar tidak salah didik, tidak salah asuh, apalagi salah urus, SEMAI membuka kesempatan kepada anda untuk mengikuti kelas INTENSIVE PARENTING edisi liburan dengan tema “Mendidik dengan Cinta Melalui Penggunaan Bahasa tanpa melarang, tanpa memarahi, tanpa menyuruh!”

Kelas ini terbatas hanya untuk 12 peserta. Sampai saat ini sudah ada sekitar 100 lebih peserta yang telah merasakan manfaat pelatihan ini.

Kapan waktunya?

Sabtu, 24 Desember 2016
Pukul 08.00 – 15.00 WIB
Di Buana Kids Building Lt2
Jl. Raya Mejasem – Pacul 59-61 – Talang – Kab. Tegal

Investasi selama 7 jam pelatihan 300rb. Jika daftar hari ini sampai tanggal 15 Desember, anda berhak mendapatkan diskon 100ribu. Jadi cukup transfer 200rb saja. Hemat kan?

Sudah ambil keputusan segera. Ambil handphone anda segera hubungi saya di 0878 4858 7456. Saya tunggu ya….



Senin, November 21, 2016

“Umi Maafkan Aku, Tadi Aku Makan Tidak Sehat”

Setelah seharian menempuh perjalanan yang melelahkan, Siti Sundari sudah membayangkan begitu sampai rumah akan disambut dengan sapaan khas putri tercintanya Zafira. Menyebut umi sambil memeluk, mendengar sapaan sekaligus pelukan, maka hilanglah segala lelah dan penat, dan berganti dengan kebahagiaan bisa kembali membersamai putri tercintanya.

Tapi saat itu Wajah Zafira terlihat kurang semangat. Hanya melihati ibunya masuk rumah.

“Umi perutku tidak enak,” ucap Zafira. Tidak lama setelah itu ia muntah. Muntah banyak sekali. Apa yang telah dimakan sepertinya keluar semua. Bahkan, jika dikumpulkan, mungkin ada satu mangkuk.

Yang membuat saya bergetar mendengar kisah ini adalah ketika Zafira masih sempat-sempatnya meminta maaf. Dengan mata berkaca-kaca ia berucap,  “Umi maafkan aku. Tadi siang aku makan tidak sehat.”

Tepat setelah selesai mengucapkan kalimat permintaan maaf, Zafira kembali muntah! Sepertinya ini muntahan terakhir, karena setelahnya Zafira terlihat lebih lega. Sang ibu kemudian memeluknya. Menepuk pundaknya.  Mengecek suhu badannya. Seperti menyesalkan karena tidak bisa mendampingi seharian ini, termasuk memantau makanan.

“Alhamdulilah suhu badannya masih normal. Semoga ini hanya bentuk penjagaan dari Allah untuk Zafira dari makanan yang tidak sehat,” kata Sundari mengucap syukur.

***

Ada pelajaran yang sedemikian menggetarkan dari kisah di atas. Tubuh Zafira tidak mau menerima makanan tidak sehat. Makanya segera dimuntahkan. Meskipun sudah sempat singgah beberapa saat di dalam perut. Ini dahsyat sekali, jika ditarik ke kondisi sosial masyarakat kita yang cenderung bebas mengonsumi makanan apa saja.

Dari kisah ibunya, yang kebetulan satu kantor, masalah makanan memang benar-benar diperhatikan. Tidak hanya kehalalan, tapi juga toyyib-nya. Itupula yang diterapkan di Buana Kids dan SD Al Biruni, dimana untuk urusan makanan termasuk snack, dikelola sendiri oleh tim dapur. Sehingga kualitas sehatnya terjaga.

Di sekolah yang kami kelola, anak-anak sudah terbiasa mengonsumsi pisang rebus, brownies ketela, proll tape, kue mata sapi, kue lumpur kacang hijau, jagung manis,  singkong keju, dan kue-kue basah yang pembuatannya mengurangi porsi penggunaan terigu. Demikian pula dengan makan siang yang setiap harinya tidak lepas dari sayuran. Dan semua dibuat tanpa pewarna buatan, pengawet, apalagi penyedap rasa. Tapi sayangnya bagi anak-anak diluaran sana, kue-kue di atas seperti tidak punya daya tarik lagi.  

Membuat kebiasaan mengonsumsi makanan yang sehat itu adalah hal sangat besar. Sayangnya, sebagian besar orang masih abai terhadap masalah ini, dan tidak terlalu peduli. Parahnya itu tidak dianggap sebagai masalah besar. Penggunaan MSG atau yang lebih kita kenal sebagai penyedap rasa, di sebagian besar masyarakat kita masih belum bisa lepas dari dapur rumah.

Belum lagi makanan yang dijual di warung-warung, jajanan yang dijual bebas di jalan-jalan, yang biasanya dijual di dekat sekolah. Makanan hanya diolesi pewarna, ditambahkan penyedap bahkan penguat rasa, bentuk yang dibuat sedemikian rupa agar tampak menarik, tapi dari nilai kesehatannya… jauh dari yang diharapkan.

Kehancuran generasi dimulai dari sini. Dari pola makan. Anak diberikan kebebasan memilih makanan tidak sehat. Tidak pernah dibiasakan memilih makanan yang sehat. Banyak orang sadar, tapi tidak mampu keluar dari kebiasaan. Banyak yang tidak kuasa menolak dari jeratan kebiasaan yang membahayakan. Mencoba berhenti mengonsumsi sambal saja kita susahnya setengah mati. Orang diet saja cobaannya berat dan godaannya luar biasa. Lalu sampai kapan kita akan berhenti mengonsumsi makanan yang mengandung zat-zat berbahaya bagi tubuh kita dan anak-anak kita?

Belajarlah pada Zafira. Usianya belum genap 5 tahun, tapi tubuhnya sudah secara otomatis melakukan kontrol diri. Dari pengalamannya ia banyak belajar sekaligus tumbuh kesadaran pemahaman akan pemenuhan kebutuhan diri. Itu karena konsistensi lingkungan dalam menanamkan pemilihan makanan yang sehat untuk dikonsumsi.


Ali Irfan

SEMAI, menumbuhkan potensi, menyebar inspirasi

#ParentingSemaiTerdekat, 26 Nopember
#Pre-OrderParentingSemai24Desember
#DisiplinDenganCinta
#PenggunaanBahasa
  



Selasa, November 15, 2016

JANGAN-JANGAN, POLA BERBAHASA KITA MEMBUAT ANAK JADI EGOIS!


Kita pasti sering menemui kejadian adik kakak bertikai berebut mainan. Seperti misalnya ada kakak yang sedang asyik memainkan mainan baru. Tidak lama setelahnya adiknya datang, karena penasaran melihat apa yang dimainkan kakak. Karena belum bisa membahasakan secara verbal, ia mengambil tindakan sesuai dengan caranya; intervensi fisik. Hasilnya sudah bisa ditebak!  Terjadilah aksi rebut mainan. Masing-masing mempertahankan pilihannya. Kakak berusaha mempertahankan. Adik berusaha merebut mainan.  

Ketika kondisi kelihatannya tidak terkendali, barulah ibu datang. Dengan bahasa yang lembut, ibu berusaha mendamaikan keduanya. “Kakak kan sudah besar. Cobalah mengalah buat adik kamu yang masih kecil.” Pada kondisi ini si kakak biasanya berusaha mempertahankan mainannya, namun ibu dengan nada bahasa yang kurang lebih sama, mengucapkan kalimat lanjutan, “Kasihan adik kamu. Sudah, berikan saja mainannya,” ucapnya dengan nada agak memaksa. Dengan terpaksa diberikanlah mainan itu kepada adiknya.

Lantas, apakah selesai masalahnya? Ternyata tidak!

Boleh jadi aksi berebut mainan selesai, tapi masih ada ada riak-riak masalah yang belum tercerabut dari akarnya. Kebanyakan orang tua menganggap masalah itu selesai hanya dengan mengalah salah satunya. Sangat jelas, pada masalah ini, sang kakaklah yang biasanya diminta untuk mengalah.

Tapi tahukah anda, pola penyelesaian masalah seperti itu, besar kemungkinan akan berdampak kurang baik terhadap perkembangan psikologis anak. Membiarkan kakak yang mempertahankan mainannya sama saja membiarkan sikap egoismenya tumbuh berkembang. Memberikan begitu saja mainan itu kepada adik ketika merampas mainan kakak pun juga sama. Reaksi orang tua yang tidak adil diantara kedua anak yang sedang bertikai, punya potensi menumbuhkan egoisme pada salah satu anaknya. Ada pihak yang mengalah, ada pihak yang harus dimenangkan.

Sudut pandang orang tua mengatakan, kakak berada di pihak yang sepantasnya mengalah. Sementara adiknya berada pada pihak semestinya dibela, dan harus dimenangkan. Ketika kakaknya dipaksa untuk mengalah, dia akan tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri. Ia merasa hak bermainnya telah dirampas. Ia tak berdaya karena mendapat desakkan dari orang tuanya untuk mengalah. Lalu bagaimana dengan adiknya? Ia yang diberikan kemudahan mendapatkan mainan besar kemungkinan bisa tumbuh sebagai pribadi yang memiliki sikap ego yang  tinggi. “Hanya dengan cara merebut paksa, aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan,” begitulah kira-kira bahasa adik jika dibahasakan versi kita.

Ayah bunda, sangat berbahaya jika sebagai orang tua kita memiliki kadar berlebihan dalam mencintai dan memanjakan anak. Ia akan merasa siapapun harus memenuhi seluruh kebutuhan dan keinginannya. Ia lekas marah ketika keinginannya tidak dipenuhi. Ketika ia tumbuh dewasa, ia bisa mendapat tekanan dari berbagai pihak manakala keinginannya tidak tersampaikan.
Lantas bagaimana langkah yang tepat ketika menghadapi masalah di atas?

Ada tiga solusi untuk mengatasi permasalahan di atas. Pertama; orang tua harus tahu usia perkembangan anak. Kedua, mengetahui cara berkomunikasi dengan anak, dan yang ketiga adalah pemakaian bahasa.

Detail jawaban selengkapnya, akan dijabarkan dalam kelas Parenting Semai yang akan diselenggarakan pada 19 & 26 Nopember 2016 ini. Kelas ini terbatas hanya untuk 15 peserta. Pastikan anda luangkan waktu di salah satu tanggal yang tertera. Untuk informasi selanjutnya bisa menghubungi saya di nomor 0878 4858 7456

#ParentingSemai19Nopember
#ParentingSemai26Nopember
#DisiplindenganCinta  



Kamis, November 10, 2016

Sepatu Mahal ini ternyata Murah. Yang Murah Justru Mahal

Pertama. Kita beli sepatu harganya 250ribu. Bisa dipakai selama 3 tahun. Bahkan kita sampai bosen. Karena sepatu masih layak pakai.

Kedua. Kita beli sepatu dengan harga 100ribu. Tapi baru setengah tahun, sepatu sudah rusak. Tidak layak pakai. Mau tidak mau, anda harus beli sepatu lagi, katakanlah sepatu yang sama, yang juga kualitasnya sama dengan kekuatan pakai hanya setengah tahun. Berarti dalam tempo satu tahun anda menghabiskan 200ribu untuk dua sepatu. Dalam tempo 2 tahun berarti kita sudah menghabiskan 400ribu. Dalam tiga tahun kita menghabiskan waktu 600ribu.

Padahal kalau kita ambil sepatu dengan harga yang pertama kita menghemat 350ribu. Lumayan kan? Ternyata, yang murah belum tentu murah. Dan yang kelihatannya harga mahal ternyata kenyataannya murah. Karena apa? Kualitas!

Begitu halnya dengan pelatihan. Pernah tertarik ikut pelatihan, tapi ketika melihat harga tiketnya, kita langsung balik kanan? Sama, saya juga pernah. Hehehe… Padahal kita merasa perlu dan butuh ikut pelatihan karena ilmu yang memang kita butuhkan, tapi rasa-rasanya kok tidak mampu ya….

Eits, hati-hati. Jangan sekalipun pernah bilang bahwa kita tidak mampu, meski dalam hati sekalipun. Bagaimana kalau kata-kata yang kita bisikkan benar-benar menjadi nyata? Bisa bahaya, kan? Ucapan itu doa, doa kalau sudah dikabulkan, ya efeknya mau tidak mau harus kita terima. Kalau yang dikabulkan doa yang negatif, naudzubillah! 

Lantas bagaimana tips menghadapi kenyataan sebenarnya ingin ikut pelatihan tersebut, tapi secara budget belum mencukupi. Berikut ada beberapa tips yang bisa disiasati.

Pertama. Menguatkan niat. Niat yang kuat sekaligus lurus, akan semakin menambahkan keyakinan kita, menambah motivasi kita untuk ikut pelatihan yang kita inginkan. Tanpa niat yang kuat akan melemahkan motivasi sekaligus membuat buram atas apa yang sudah menjadi tujuan kita.

Kedua, menguatkan keyakinan. Karena yakin adalah jalan kita untuk menuju tahapan tips yang ketiga. Keyakinan bahwa kita memang benar-benar butuh, dan perlu dengan ilmu. Lihat outputnya. Jangan segan tanyakan, apa hasil yang bisa saya dapatkan dari pelatihan ini. Bisa juga tanyakan sama bagian penyelenggaranya, “Beri saya tiga alasan kenapa saya harus ikut pelatihan ini?” atau dengan pertanyaan, “Apa kelebihan pelatihan ini?” atau pertanyaan-pertanyaan yang bisa menambah rasa penasaran anda.

Ketiga, memantaskan diri. Caranya bagaimana? Ya, pantaskan diri sampai kita benar-benar layak untuk ikut acara pelatihan tersebut. Jika acaranya seminggu lagi, kita masih ada persiapan selama 5-6 hari. Bisa dengan menabung, atau jika kita mewakili sebuah lembaga, kita pedekate dengan pimpinan, sampaikan, bahwa kita layak untuk mengikuti pelatihan tersebut, sampaikan pula, kelebihan apa yang akan didapatkan oleh lembaga termasuk secara personal jika ikut pelatihan ini.

Kadang kita mengatakan pelatihan ini mahal karena belum ikut saja pelatihan tersebut. Paling mudah ya dengan nekad ikut pelatihan sambil memantapkan bismillah, segera dapat pengganti dari arah yang lain. Nah, di sana kita bisa menimbang sekaligus menghitung-hitung, beneran mahal apa tidak. Jangan-jangan pelatihan yang didapatkan ini terlalu murah dari investasi yang telah kita bayarkan. Karena begitu banyak ilmu yang bisa kita praktekkan. Jika sudah demikian, sebagai orang yang konsekuen atas pilihan, anda harus bayar kekurangannya sesuai dengan nilai yang pantas sesuai takaran kantong anda. Misalkan, investasi pelatihannya 200ribu, tapi setelah ikut, anda merasa, sepertinya dengan konsep pelatihan seperti ini, dengan harga setengah juta saja ini sangat-sangat pantas. Hehehe…

Selasa, November 08, 2016

FAQ PELATIHAN DISIPLIN DENGAN CINTA MELALUI PENGGUNAAN BAHASA



Q : APA YANG AKAN SAYA DAPATKAN DI PELATIHAN INI?

A : Peserta bisa memiliki kemampuan berbahasa sekaligus mempraktekkannya dalam pengasuhan anak-anak. Ini yang tidak disadari oleh sebagian besar orang, bahwa rata-rata masih punya masalah dalam berbahasa. Ketrampilan berbahasa yang diajarkan dalam pelatihan ini sangat perlu dimiliki kita sebagai ornag tua, pendidik, maupun calon orang tua termasuk calon guru. Karena semua orang pasti akan mengalami fase itu.

Q : APA KELEBIHAN IKUT PELATIHAN INI?

A : Ada tiga kelebihan buat anda jika mengikuti pelatihan ini. Pertama jumlah peserta yang kami batasi hanya 15 peserta maksimal menjadi kelebihan dari pelatihan yang kami selenggarakan. Jadi pelatihan lebih optimal, pemahaman  yang didapat peserta menyebar merata, apalagi waktu pelatihan yang 7 jam itu benar-benar berkualitas. Kelebihan kedua adalah ada sesi observasi penggunaan bahasa di PAUD Buana Kids atau SD Al Biruni. Peserta mengamati penggunaan bahasa guru maupun anak-anaknya. Selama ini respon peserta banyak yang menyampaikan kalau bahasa guru dan anak-anak Buana Kids berbeda. Nah, bedanya seperti apa? Ikuti saja pelatihannya langsung. Biar bisa melihat dan mengamati sendiri.

Q : KENAPA SAYA HARUS IKUT PELATIHAN?

A : Karena pelatihan ini bisa menyadarkan kepada anda betapa pentingnya penggunaan bahasa. Bagaimana mendidik anak tanpa memarahi, tanpa melarang, tanpa memerintah. Selama ini ternyata sebagian besar orang tua lebih banyak menerapkan pola 3M dalam mendidik anak. Parahnya lagi itu dianggap sebagai hal yang lumrah, dan tidak menganggap itu adalah masalah.

Q : APAKAH PELATIHAN INI HANYA UNTUK ORANG TUA YANG SUDAH MEMILIKI ANAK?

A : Siapapun bisa ikut pelatihan ini. Bagi yang belum menikah, yang baru menikah, apalagi yang sudah lama  menikah. Baik yang belum punya anak apalagi yang sudah punya anak.

Q : APAKAH PELATIHAN INI RUTIN DISELENGGARAKAN?

A : karena konsen Semai adalah lembaga pelatihan, maka kami mengagendakan minimal dua kali pelatihan dalam satu bulan.

Q : BISA TIDAK SEMAI DIUNDANG KE SEKOLAH ATAU LEMBAGA?

A : Bisa. Tapi tanpa ada sesi observasi. Secara otomatis tidak bisa mendapatkan nilai lebih dari pengamatan penggunaan bahasa. Dan biasanya kalau diundang tarifnya lebih mahal, hehehe….

Q : KENAPA BIAYA PELATIHANNYA 200 RIBU?

A : Untuk sebuah investasi leher ke atas, angka 200 ribu itu tentulah kecil jika dibandingkan dengan dampak yang akan peserta dapatkan. Bayangkan saja, ada seminar yang biayanya 50-100ribu, tapi hanya 2 jam kita dapat materi. Yang ada kita hanya dapat globalnya saja. Tapi dengan angka 200ribu ini, peserta bisa dapat ilmu parenting lebih dalam dan applicable, terutama bagaimana cara berbahasa kepada anak. Menariknya lagi, peserta tidak hanya dapat teori, tapi juga mengamati penggunaan bahasa, bahkan sampai praktek berbahasa.

Q : BAGAIMANA CARANYA IKUT PELATIHAN INI?

A : Caranya mudah. Cukupi ikuti alur pendaftaran seperti format di bawah ini
DAFTAR # NAMA # PROFESI # ASAL KOTA
Kirim ke 0878 4858 7456 atas nama Ali Irfan.

Mentalitas Menghadapi USBN