Kita pasti sering menemui kejadian adik kakak bertikai berebut mainan. Seperti misalnya ada kakak yang sedang asyik memainkan mainan baru. Tidak lama setelahnya adiknya datang, karena penasaran melihat apa yang dimainkan kakak. Karena belum bisa membahasakan secara verbal, ia mengambil tindakan sesuai dengan caranya; intervensi fisik. Hasilnya sudah bisa ditebak! Terjadilah aksi rebut mainan. Masing-masing mempertahankan pilihannya. Kakak berusaha mempertahankan. Adik berusaha merebut mainan.
Ketika kondisi kelihatannya tidak terkendali, barulah ibu
datang. Dengan bahasa yang lembut, ibu berusaha mendamaikan keduanya. “Kakak kan sudah besar. Cobalah mengalah
buat adik kamu yang masih kecil.” Pada kondisi ini si kakak biasanya berusaha
mempertahankan mainannya, namun ibu dengan nada bahasa yang kurang lebih sama,
mengucapkan kalimat lanjutan, “Kasihan adik
kamu. Sudah, berikan saja mainannya,” ucapnya dengan nada agak memaksa. Dengan
terpaksa diberikanlah mainan itu kepada adiknya.
Lantas, apakah selesai
masalahnya? Ternyata tidak!
Boleh jadi aksi berebut mainan selesai,
tapi masih ada ada riak-riak masalah yang belum tercerabut dari akarnya.
Kebanyakan orang tua menganggap masalah itu selesai hanya dengan mengalah salah
satunya. Sangat jelas, pada masalah ini, sang kakaklah yang biasanya diminta
untuk mengalah.
Tapi tahukah anda, pola
penyelesaian masalah seperti itu, besar kemungkinan akan berdampak kurang baik
terhadap perkembangan psikologis anak. Membiarkan kakak yang mempertahankan
mainannya sama saja membiarkan sikap egoismenya tumbuh berkembang. Memberikan
begitu saja mainan itu kepada adik ketika merampas mainan kakak pun juga sama. Reaksi
orang tua yang tidak adil diantara kedua anak yang sedang bertikai, punya
potensi menumbuhkan egoisme pada salah satu anaknya. Ada pihak yang mengalah,
ada pihak yang harus dimenangkan.
Sudut pandang orang tua
mengatakan, kakak berada di pihak yang sepantasnya mengalah. Sementara adiknya
berada pada pihak semestinya dibela, dan harus dimenangkan. Ketika kakaknya
dipaksa untuk mengalah, dia akan tumbuh menjadi pribadi yang rendah diri. Ia
merasa hak bermainnya telah dirampas. Ia tak berdaya karena mendapat desakkan
dari orang tuanya untuk mengalah. Lalu bagaimana dengan adiknya? Ia yang
diberikan kemudahan mendapatkan mainan besar kemungkinan bisa tumbuh sebagai
pribadi yang memiliki sikap ego yang
tinggi. “Hanya dengan cara merebut
paksa, aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan,” begitulah kira-kira
bahasa adik jika dibahasakan versi kita.
Ayah bunda, sangat berbahaya jika
sebagai orang tua kita memiliki kadar berlebihan dalam mencintai dan memanjakan
anak. Ia akan merasa siapapun harus memenuhi seluruh kebutuhan dan
keinginannya. Ia lekas marah ketika keinginannya tidak dipenuhi. Ketika ia
tumbuh dewasa, ia bisa mendapat tekanan dari berbagai pihak manakala
keinginannya tidak tersampaikan.
Lantas bagaimana langkah yang
tepat ketika menghadapi masalah di atas?
Ada tiga solusi untuk mengatasi
permasalahan di atas. Pertama; orang tua harus tahu usia perkembangan anak.
Kedua, mengetahui cara berkomunikasi dengan anak, dan yang ketiga adalah pemakaian
bahasa.
Detail jawaban selengkapnya, akan
dijabarkan dalam kelas Parenting Semai yang akan diselenggarakan pada 19 &
26 Nopember 2016 ini. Kelas ini terbatas hanya untuk 15 peserta. Pastikan anda
luangkan waktu di salah satu tanggal yang tertera. Untuk informasi selanjutnya
bisa menghubungi saya di nomor 0878 4858 7456
#ParentingSemai19Nopember
#ParentingSemai26Nopember
#DisiplindenganCinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar