Kamis, Desember 08, 2016

Ketika Anak Bermasalah, Siapa yang Harus Diterapi?

Sebagai ayah atau ibu, mari kita mengevaluasi diri. Ada satu pertanyaan yang cukup merisaukan saya.  Ini sekaligus bisa menjawab rasa penasaran saya akan kebenaran tesis ini. Sebagian besar orang tua baru bereaksi ketika anaknya bermasalah. Lalu saya lemparkan pertanyaan kepada para peserta pelatihan, benarkah kebanyakan orang tua baru bergerak ketika anak-anaknya mulai bermasalah? Ternyata hampir sebagian besar orang peserta pelatihan menjawab, “Ya!”

Kemana orang tua saat anak-anak belum bermasalah? Deg! Skak Mat!  Pertanyaan ini seakan menjadi pukulan telak.

Anak terlambat bicara, terlambat jalan, anak masih belum mandiri, apa-apa maunya dilayani terus, anak tidak mau mengalah, dan masih banyak lagi masalah-masalah lain. Ketika anak bereaksi diluar dari yang orang tua harapkan, barulah kita mulai memberi label nakal untuk anak-anak kita.
“Anak saya kok ga mandiri-mandiri ya, maunya disuapin terus kalau makan,”
“Anak saya itu kalau permintaannya tidak dituruti, hobinya marah-marah.”
“Anak saya itu tidak pernah mau mendengarkan omongan saya sebagai ibunya.”

Lantas kita bereaksi dengan memarahi, karena tindakannya tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita melarang anak melakukan sesuatu yang kita anggap keliru. Padahal anak dengan imajinasinya yang tinggi bisa jadi punya gambaran-gambaran besar yang tidak diketahui kita sebagai orang tua. Tapi ketika dimarahi, maka runtuhlah imajinasi anak.

Ketika masalah-masalah itu muncul, maka orang tua mengambil tindakan bahwa anaknya perlu diterapi. Dalam arti lain yang bermasalah anak jadi yang diperbaiki adalah anaknya. Maka didatangilah psikolog, terapis, lalu dihadirkanlah guru les, guru ngaji untuk ‘memperbaiki kesalahan anak.’ Orang tuanya hanya sebagai penonton, menunggu hasil. Tapi sayangnya, semua pilihan itu tidak memberikan hasil maksimal sesuai harapan.

Kalau sebagian besar berpikir ketika anak bermasalah yang diterapi adalah anaknya, bagaimana kalau logika berpikir itu kita balik dengan melemparkan satu pertanyaan?  Siapa sebenarnya yang harus diterapi? Anaknya atau orang tuanya?

Bukankah anak yang bermasalah itu akibat dari pola asuh yang salah. Ketika kebutuhan dasar anak akan kasih sayang tidak terpenuhi, besar kemungkinan anak akan bermasalah. Ketika kebutuhan sensori motor anaknya tidak dipenuhi besar kemungkinan dia akan menjadi anak yang hiperaktif, karena mencoba memenuhi kebutuhan itu dengan caranya. Ketika anaknya pendiam bisa jadi karena interaksi komunikasi orang tua dengan anaknya sangat kurang.

Dan ini pernah terjadi pada salah satu ibu yang punya anak tapi omongannya tidak pernah didengar anaknya yang saat ini usianya sudah 3 tahunan. Setelah ditarik ke belakang, ternyata saat masih dalam kandungan, tidak pernah sekalipun anaknya diajak berbicara, tidak pernah disentuh, karena waktunya habis bekerja. Setelah melahirkan pun, momen kebersamaannya tidaklah lama, karena selesai cuti melahirkan sang ibu kembali bekerja. Yang membuat hati miris lagi, saat menyusui sekalipun, ya menyusui saja, tanpa mengajak bicara.

Ketika ditanya, kenapa tidak diajak bicara? Jawabannya bikin menyesakkan dada. “Tidak sempat…” Padahal anaknya ada diketiak ibunya.

Jika sudah demikian, maka yang layak untuk diterapi lebih dulu adalah orang tuanya, ketika ayah ibu sudah memiliki pola pengasuhan yang benar, otomatis akan mendidik anaknya dengan benar. Tapi selama ayah bunda tidak memiliki bekal ilmu parenting yang mencukupi, maka kesalahan-kesalahan yang semestinya tidak perlu terjadi, pasti terjadi, dan menjadi sebuah kesalahan kumulatif yang dampaknya akan dirasakan anak-anak, bahkan orang tua sendiri.

Salah satu pelatihan yang saya rekomendasikan adalah pelatihan penggunaan bahasa, Bagaimana mendidik tanpa melarang, tanpa memarahi, tanpa menyuruh. Dan pola ini yang hampir dilakukan oleh sebagian besar orang tua. Saking banyak para pelaku yang menerapkan 3M ini maka itu dianggap sebagai hal yang biasa, meski sebenarnya menyimpan banyak masalah.

Kenapa harus dimulai dari penggunaan bahasa?
Sederhana sekali, karena akar dari semua permasalahan bisa diselesaikan dengan bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN