Kemana orang tua saat anak-anak belum bermasalah?
Deg! Skak Mat! Pertanyaan ini seakan
menjadi pukulan telak.
Anak terlambat bicara, terlambat jalan, anak masih belum
mandiri, apa-apa maunya dilayani terus, anak tidak mau mengalah, dan masih
banyak lagi masalah-masalah lain. Ketika anak bereaksi diluar dari yang orang
tua harapkan, barulah kita mulai memberi label nakal untuk anak-anak kita.
“Anak saya kok ga mandiri-mandiri ya, maunya disuapin terus
kalau makan,”
“Anak saya itu kalau permintaannya tidak dituruti, hobinya
marah-marah.”
“Anak saya itu tidak pernah mau mendengarkan omongan saya
sebagai ibunya.”
Lantas kita bereaksi dengan memarahi, karena tindakannya
tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita melarang anak melakukan sesuatu yang
kita anggap keliru. Padahal anak dengan imajinasinya yang tinggi bisa jadi
punya gambaran-gambaran besar yang tidak diketahui kita sebagai orang tua. Tapi
ketika dimarahi, maka runtuhlah imajinasi anak.
Ketika masalah-masalah itu muncul, maka orang tua mengambil
tindakan bahwa anaknya perlu diterapi. Dalam arti lain yang bermasalah anak
jadi yang diperbaiki adalah anaknya. Maka didatangilah psikolog, terapis, lalu
dihadirkanlah guru les, guru ngaji untuk ‘memperbaiki kesalahan anak.’ Orang
tuanya hanya sebagai penonton, menunggu hasil. Tapi sayangnya, semua pilihan
itu tidak memberikan hasil maksimal sesuai harapan.
Kalau sebagian besar berpikir ketika anak bermasalah yang diterapi
adalah anaknya, bagaimana kalau logika berpikir itu kita balik dengan
melemparkan satu pertanyaan? Siapa
sebenarnya yang harus diterapi? Anaknya atau orang tuanya?
Bukankah anak yang bermasalah itu akibat dari pola asuh yang
salah. Ketika kebutuhan dasar anak akan kasih sayang tidak terpenuhi, besar
kemungkinan anak akan bermasalah. Ketika kebutuhan sensori motor anaknya tidak
dipenuhi besar kemungkinan dia akan menjadi anak yang hiperaktif, karena
mencoba memenuhi kebutuhan itu dengan caranya. Ketika anaknya pendiam bisa jadi
karena interaksi komunikasi orang tua dengan anaknya sangat kurang.
Dan ini pernah terjadi pada salah satu ibu yang punya anak
tapi omongannya tidak pernah didengar anaknya yang saat ini usianya sudah 3
tahunan. Setelah ditarik ke belakang, ternyata saat masih dalam kandungan,
tidak pernah sekalipun anaknya diajak berbicara, tidak pernah disentuh, karena
waktunya habis bekerja. Setelah melahirkan pun, momen kebersamaannya tidaklah
lama, karena selesai cuti melahirkan sang ibu kembali bekerja. Yang membuat
hati miris lagi, saat menyusui sekalipun, ya menyusui saja, tanpa mengajak
bicara.
Ketika ditanya, kenapa tidak diajak bicara? Jawabannya bikin
menyesakkan dada. “Tidak sempat…” Padahal anaknya ada diketiak ibunya.
Jika sudah demikian, maka yang layak untuk diterapi lebih
dulu adalah orang tuanya, ketika ayah ibu sudah memiliki pola pengasuhan yang
benar, otomatis akan mendidik anaknya dengan benar. Tapi selama ayah bunda
tidak memiliki bekal ilmu parenting yang mencukupi, maka kesalahan-kesalahan
yang semestinya tidak perlu terjadi, pasti terjadi, dan menjadi sebuah
kesalahan kumulatif yang dampaknya akan dirasakan anak-anak, bahkan orang tua
sendiri.
Salah satu pelatihan yang saya rekomendasikan adalah pelatihan
penggunaan bahasa, Bagaimana mendidik tanpa melarang, tanpa memarahi, tanpa menyuruh.
Dan pola ini yang hampir dilakukan oleh sebagian besar orang tua. Saking banyak
para pelaku yang menerapkan 3M ini maka itu dianggap sebagai hal yang biasa, meski
sebenarnya menyimpan banyak masalah.
Kenapa harus dimulai dari penggunaan bahasa?
Sederhana sekali, karena akar dari semua
permasalahan bisa diselesaikan dengan bahasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar