Kalau sudah begini, siapa yang
repot?
|
sumber ilustrasi : lescopaque.com |
Inikah dampak dari tontonan dan
gadget? Kisah ini bermula dari seorang anak yang datang bersama orang tuanya
untuk mendaftar TK A di PAUD Buana Kids. Awal kedatangannya anak ini terlihat
ceria. Tapi keceriaan itu berubah saat ia diajak untuk melihat-lihat
pembelajaran di kelas. Begitu melihat suasana anak-anak belajar bersama gurunya,
anak tersebut langsung berubah ekspresi dari
yang ceria menjadi ketakutan.
Ia berontak, menangis, dan tidak
mau lepas dari genggaman orang tuanya seraya berteriak, “Nggak mau!! Aku nggak
mau sekolah!! Gurunya galak kayak di Upin Ipin!” Kami berada pada satu sisi
dilematis, ingin tertawa karena mendengar alasannya tidak mau sekolah, tapi di
sisi lain merasa prihatin dengan apa yang terjadi padanya. Ini pasti ada yang
tidak beres. Dan setelah ditelusuri lebih
lanjut, orang tuanya mengamini kalau di rumah anaknya sering menghabiskan waktu
bermain gadget dan nonton TV, terutama serial Upin Ipin.
Terekam dalam memori anak kalau
sekolah adalah tempat yang tidak mengasyikkan, karena ada sosok kepala sekolah
galak, dan itu benar-benar tertancap di memorinya, sedemikian kuatnya karakter
kepala sekolah dalams serial itu, bahkan mengalahkan guru Yasmin yang dikenal baik.
Ini kontraproduktif, padahal guru-guru di Buana Kids yang saya tahu dikenal ramah-ramah,
jangankan kepada anak baru yang lagi perlu adaptasi, kepada anak-anak yang lama
pun tetap dalam keramahannya. Sama sekali tidak ada kesan galak seperti halnya
karakter ibu kepala sekolah di Film Upin Ipin. Dari keprihatinan ini saya melihat
ketakutan anak ini sudah pada level berlebihan. Dan menyedihkannya ini gara-gara
Upin Ipin.
Sebenarnya ada dengan film serial
ini? Ternyata setelah saya amati ada setidaknya beberapa poin krusial yang perlu menjadi perhatian para
orang tua ketika anaknya menikmati tayangan ini.
Pertama, tidak ada figur ayah dan ibu.
Peran ayah, apalagi ibu tentu
memegang peranan penting dalam tahap perkembangan anak. Kasih sayang orang tua
tidak tercerminkan dalam serial ini. Peran orang tua digantikan oleh neneknya
yang penyayang sekaligus bijak. Dalam dunia nyata, peran kakek dan nenek, pun
kadang menjadi persoalan tersendiri dalam pengasuhan anak terutama dalam memperlakukan
seorang cucu. Seperti misalnya tidak sepahamnya dalam konsep mendidik anak.
Sama ayah ibu tidak boleh menonton TV, ketika bermain di rumah mbah, anak bisa nonton TV sepuasnya,
bahkan difasilitasi. Anak yang tidak mendapatkan asupan kasih sayang yang utuh
dari sosok ayah dan ibunya, konsep diri anak cenderung lemah. Hasilnya anak
menjadi tidak percaya diri. Dan biasanya akan bermasalah dalam kehidupannya.
Kedua, sering menampilkan konflik.
Dalam serial Upin Ipin Kak Rose
dikenal sebagai Kakak yang galak, selalu berseberangan dengan adik-adiknya
sehingga sering terjadi konflik diantara mereka. Di setiap episode selalu saja
ada konflik yang dimainkan antara Upin Ipin degan Kak Rose. Ini menarik dari
alur cerita, tapi berdampak kurang baik terhadap psikologis anak. Di sekolah
pun demikian, ada satu tokoh kepala sekolah yang sedemikian kuat digambarkan
sebagai guru yang galak, marah-marah, dan jarang menampilkan ekspresi ramah
kepada murid-muridnya. Sedemikian kuat karakter kepala sekolah, dampaknya ya
seperti yang dialami oleh anak yang kami kisahkan di bagian awal tulisan ini.
Ketiga, Upin Ipin tidak suka makan sayuran.
Gara-gara Upin Ipin yang hanya
suka makan ayam goreng, anak yang kami kisahkan di atas jadi tidak doyan makan
sayuran, padahal belum mencoba. Padahal sayuran diperlukan untuk nutrisi tumbuh
kembang anak. Banyak orang tua yang kewalahan, sampai akhirnya menyerah,
sekaligus pasrah. “Daripada anak tidak makan,” katanya.
Dan yang terakhir, mengajarkan kekacauan bahasa.
Serial Upin Ipin ini tayang
dengan bahasa Malaysia. Meskipun ada terjemahan Bahasa Indonesianya, tapi itu
sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi penonton yang sebagian besar adalah
anak-anak. Mereka ini kuat secara visual dan juga kuat audio. Lagipula
kebanyakan penonton serial ini adalah anak usia dini yang belum bisa membaca.
Sekarang sudah begitu banyak anak
yang terkontaminasi dengan bahasa Upin Ipin, bahkan termasuk anak yang saya
kisahkan di atas. Ketika ditanya, “Mau makan tidak?” dengan enteng jawab anak
itu. “Tak, Nak,” dengan maksud menyampaikan “Tidak mau,”
Ini jelas mengacaukan kerangka
berpikir anak dalam berbahasa. Bahasa ibu yang belum begitu kuat sudah tercemar
dengan bahasa asing. Padahal ada satu hasil penelitian Adnan Baharits, Pakar Pendidikan Universitas Ummul Quro, Mekkah menyampaikan “Di awal usia pendidikan, bahasa
asli akan mengalami dampak negatif ketika didesak dengan bahasa baru. Sehingga
disarankan untuk mengajarkan satu bahasa saja pada usia SD, sampai sempurna
fase pertumbuhannya dan menguasai wawasan yang cukup”
Satu pesan saya, jaga jarak anak-anak
kita dengan tayangan TV dan gadget. Jangan dulu merasa senang, kalau anak hanya
duduk tenang di depan televisi atau bermain gadget, karena tidak semua tayangan
anak itu ramah anak.