Meski tahun pelajaran 2018-2019 masih satu semester lagi, sebagian orang tua sudah mulai pilih-pilih sekolah yang tepat untuk anak-anaknya. Saya kira belum telat bagi kita untuk
mengetahui seberapa berkualitas sekolah yang dipilih. Hal yang harus dicermati
adalah apakah sekolah yang dipilih merupakan sekolah konsepsional atau malah
sekolah transaksional? Mana yang harus dipilih? Ada baiknya mari kita uraikan
keduanya.
Sekolah
Konsepsional
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesa Konsepsional
memiliki makna berdasarkan konsepsi,
pikiran, dan cita-cita. Sekolah konsepsional bisa diartikan sebagai sekolah
yang berdiri atas dasar konsep, ide dan cita-cita. Bisa pula diartikan yang
memiliki konsep jelas, terukur, dalam kurun waktu tertentu, dan dengan segala
indikatornya. Sekolah model ini punya arah yang jelas, lebih tepatnya punya
visi.
Inilah sekolah yang layak dipilih.
Sekolah yang menawarkan konsep untuk mematangkan muridnya secara menyeluruh.
Tidak hanya kecerdasan kognitif, tapi juga memberikan porsi yang sama terhadap
afektif dan psikomotornya. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi anak-anak
untuk mengasah semua potensi kecerdasannya.
Persiapan wudlu untuk menunaikan shalat dhuha di Sekolah Al Biruni - Foto by Ali Irfan |
Inilah sekolah yang pantas dipilih. Sekolah
yang memberikan kesempatan guru-gurunya untuk mengikuti jenjang pelatihan
sesuai kebutuhan yang akan diterapkan dalam pembelajaran. Sekolah yang
merancang semua kegiatan sebagai media belajar, sekolah yang guru-gurunya memanfaatkan
menit-menit pertama sampai menit-menit terakhir, bahkan termasuk menit-menit istirahat sekalipun.
Sekolah yang para arsitek peradabannya memiliki mindset bahwa mendidik adalah pekerjaan mulia, yang bisa mencetak
tiket ke syurga.
Inilah sekolah yang semestinya menjadi
pilihan. Sekolah yang lebih menitikberatkan pada kompetensi setiap muridnya dan
tidak menjadikan kompetisi sebagai tujuan utamanya. Sekolah yang lebih
mengutamakan kualitas daripada kuantitas. Sekolah yang tidak hanya mencetak
anak didiknya menjadi pinter, tapi
juga berkarakter.
Satu contoh gambaran sekolah
konsepsional misalnya, kelas 1-3 targetnya adalah bisa membaca, menulis, dan
menghitung. Jadi yang ditekankan dalam pembelajaran kelas bawah itu ya didesain
sedemikian rupa agar anak-anak bisa menguasai konsep calistung. Muatan kognitif
lain diajarkan seperlunya, sebutuhnya, tidak menjadi fokus, meski dari
kurikulum pemerintah sekalipun. Selama ini yang terjadi anak-anak kelas bawah
tetap disertakan dalam ujian tertulis, dimana saat mengerjakan gurunya
teriak-teriak membacakan soal.
Contoh lain yang bisa disebut sebagai
sekolah konsepsional, sekolah yang menerapkan konsep begitu lulus sekolah
dasar, murid-murid muridnya bisa membaca Al Qur’an dengan tartil sesuai kaidah tajwid dan makhraj yang benar, mantap hafalan bacaan shalatnya, prakteknya benar.
Maka dalam kurikulum pembelajaran didesain sedemikian rupa untuk bisa mencapai
target-target tersebut. Sekolah mestinya berani memanggil orang tua yang
anaknya belum shalat lima waktu, mengingat pendidikan itu harus sinergi antara
pendidikan di sekolah dan juga di rumah.
Contoh lagi, sekolah menargetkan
siswanya hafal Juz 30 Al Qur’an begitu lulus sekolah dasar, dengan alokasi
pembelajaran 10 jam perminggu, misalnya. Maka, apapun kurikulumnya pertahankan
jam awal yang sudah terkonsep. Jangan sekali-kali diubah, dengan cara
mengurangi karena penyesuaian kurikulum baru.
Contoh paling real sekolah
konsepsional bisa kita temukan di pendidikan anak usia dini. Lebih spesifik
lagi yang menerapkan metode sentra seperti di PAUD BUANA Kids dan SD Al Biruni. Dalam metode sentra, Yudhistira ANM Massardi, menyatakan, d setiap hari
anak bermain di sentra yang berbeda, agar karakter, budi pekerti, dan
kecerdasan jamaknya terbangun secara serentak dan seimbang (2012:327)
Sekolah
Transaksional
Sekolah harus bisa meyakinkan bahwa
semua kegiatan yang dilaksanakan adalah sesuai dengan konsep yang diyakini
benar dan sudah teruji kualitasnya. Jika ada sekolah yang dengan mudah mengubah
konsep yang telah dimatangkan itu sama artinya dengan sekolah transaksional.
Menerima masukan dari orang tua terkait konsep pendidikan kemudian langsung
bergerak menjalankan masukan itu, ini ciri sekolah transaksional. Setiap
masukan tetap ditampung, dan bisa menjadi bahan masukan saat raker menjelang
tahun pelajaran baru, sekaligus sebagai bahan evaluasi.
Sadar atau tidak, kini banyak
ditemukan sekolah yang semula konsepsional berubah menjadi transaksional. Seiring
dengan penerimaan masyarakat terhadap sekolah tersebut, menjadikan banyak
permintaan untuk menambah jumlah rombongan belajar (kelas). Parahnya lagi
banyak orang tua semakin irasional. Berani bayar mahal untuk biaya pendidikan
yang ditawarkan. Hasilnya jumlah siswa bertambah banyak, sementara dari mutu
dan kualitas mengalami pergeseran, karena konsentrasi guru yang terbagi.
Sekolah tersebut menjadi semakin jauh
dari konsepsional yang dulu sempat dicanangkan diawal. Semua kegiatan diikuti
dengan niatan hanya ingin terlihat eksis padahal tidak semua kegiatan
dibutuhkan.
Saya meyakini, sekolah-sekolah yang
sudah melenceng dari konsepsinya, sebenarnya menyadari bahwa sekolahnya sudah
terjebak pada ranah transaksional. Mereka paham benar, bagaimana model sekolah konsepsional
itu, tapi tiadanya kesamaan visi di kalangan pengelola termasuk para gurunya
sekalipun membuat arah perubahan untuk kembali kepada sekolah konsepsional
menjadi sangat lambat, terhambat, bahkan tersendat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar