Kamis, Maret 09, 2017

Sepertinya… kenapa?

Dok. Outbound Buana Edufest! (26/2)
Ini gila! Begitulah ekspresi saya ketika mendengar satu dua kalimat yang terujar dari anak-anak Buana Kids dan SD Al Biruni. Saya nyaris gagal paham, bagaimana bisa bahasa seperti itu terucap dari lisan seorang bocah?

Jawabannya ternyata dari penggunaan bahasa. Metode ini mendidik anak mengungkapkan perasaannya dengan bahasa yang baik. Bahasa Indonesia baku dan berpola. Sebagai contoh, ketika anak merasa penasaran dengan sesuatu, maka ia akan melontarkan pertanyaan dengan kata tanya 

“Kenapa?”

Kenapa ibu menangis?

Kenapa Ayah shalat di Masjid?

Kenapa anak laki-laki tidak pakai jilbab?”

Penggunaan kata kenapa itu secara alami muncul pada anak usia 3-4 tahun. Satu tingkat di bawah itu, anak-anak biasanya mengenal kata tanya “apa.” Apa ini, apa itu, ini apa?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut pastinya membutuhkan jawaban, dan ketika jawaban belum memuaskan, maka akan berlanjut ke pertanyaan lanjutan. Jadi, satu-satunya cara adalah memberikan jawaban yang dapat memuaskan rasa penasarannya, bukan mematikan bagian kritis anak.
Pada level yang sama, penggunaan berbahasa yang baik juga sangat erat kaitannya dengan pendidikan akhlak. Tentang adab. Tentang etika. Ini seperti pada kalimat, bolehkah?

Ayah, bolehkah Like pinjam bukunya ayah?

Bolehkah Like pinjam laptopnya ayah?

Apakah Like boleh pinja mainannya Echa?

Terdengar santun, bukan?

Selama ini kita sering abai dengan cara berbahasa kita yang cenderung tidak berpola. Mendidik anak menjadi beradab, ternyata bisa dimulai dari cara berbahasa kita sebagai orang tua dan pendidik. Nyaman terdengar ketika akhlak anak sudah terbentuk. Ketika bersalah, meminta maaf, ketika dimintai maaf harus memaafkan.

Lewat bahasa berpola ini pula kita bisa mengingatkan anak ketika melakukan hal-hal yang tidak semestinya. Ada sebuah batasan yang mesti kita pahamkan kepada anak, lalu dikuatkan dengan memberinya pijakan. Jika keluar dari batasan sekaligus pijakan, maka saat mengingatkan pun tidak to the point, tapi tetap dengan menggunakan bahasa yang tidak membuat perasaan anak tersakiti.
Satu contoh, ketika ada anak bermain di kantor guru, maka kita bisa mengingatkannya dengan cara begini, “Teman-teman, tempat bermain ada di ruang sebelah.”

Saat ada anak yang berdiri di atas kursi, kita bisa mengucapkan, “Sepertinya ada yang tidak menggunakan kursi sesuai fungsinya.”

Ketika anak tiba-tiba datang kemudian memotong pembicaraan orang tua dengan tamu misalnya, maka kita bisa menggunakan, “Zafira, ibu sedang bicara dengan tamu. Kalau Zafira ada perlu, nanti bisa setelah urusan ibu selesai ya,”

Ketika ingin mengingatkan anak yang makan sambil berdiri, maka kita bisa mengingatkannya dengan cara, “Sepertinya ada yang makan sambil berdiri.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN