Selasa, Maret 14, 2017

Dunia Tak Selamanya Syurga (2)


Syurganya… dibalik penampilan rapi suami, selalu ada tangan-tangan istri yang menyiapkan semuanya dengan penuh cinta.

“Setrikaannya belum rapi, sini aku setrikain lagi.” Suami hanya pasrah merelakan kemejanya digosok ulang oleh istri tercinta, karena pastinya setrikaan istri jauh lebih rapi dari suami.

 “Kemeja itu sudah tidak pantas buat ayah, warnanya sudah pudar. Coba pakai yang ini.” Sang suami kembali pasrah, melepas kembali kemeja yang sudah dipakai, untuk kemudian diganti dengan kemeja pilihan istri yang pastinya lebih cerah.

Tapi realitanya….

Masih banyak lelaki yang menyiapkan baju sendiri yang akan dipakai pada hari itu. Bahkan tidak jarang, saat menyetrika, sang istri dengan senyum manis mendekat, merapat, sambil memeluk dari belakang. Scene adegan kayak gini nih yang bikin suami jadi lebih semangat menyetrika. Meski beberapa saat setelahnya terdengar suara berbisik di telinga. “Sekalian setrikain punyaku dan anak-anak ya…” Gubrak!

(Laki-laki perlu tahu. Kalau sebenarnya kewajiban mencuci baju, piring, dan pekerjaan domestic lainnya itu bukan tugas seorang istri. Untuk yang ini, akan saya bahas di postingan berikut ya…)

Semua dilakukan, apalagi kalau bukan demi bisa tampil rapi. Kantor tempat kita bekerja tidak perlu tahu bagaimana kita bisa tampil rapi. Orang-orang lain juga tak perlu tahu bagaimana cara seseorang bisa tampil dan lebih pantas dilihat oleh relasi. Mereka semua tak perlu tahu jika dibalik tampil rapinya kita, ada perjuangan berat karena yang mau dipakai ternyata masih ada dalam tumpukan baju-baju yang menggunung. Mulailah berjibaku memilih seragam yang yang mau dipakai untuk kemudian disetrika. Belum lagi mendapati baju yang mau dipakai ternyata kancingnya lepas, dan suka atau sangat suka, anda harus menjahitnya sendiri.

Tapi yang namanya laki-laki, tidak selamanya rajin. Manusiawi saya kira. Karena fitrah lelaki itu dilayani. Yang penting tidak lama-lama malasnya. Akan ada masa-masa ketika memang tidak sempat mencuci. Meski pakai mesin cuci sekalipun. Sampai akhirnya pilih yang lebih simple. Sekaligus berbagi rezeki kepada mbak-mbak yang bekerja di tempat laundry. Cukup tunggu 2-3 hari. Baju-baju kotor kembali sudah dalam keadaan bersih, wangi, dan rapi.

Ya, sebagai laki-laki perlu bersyukur. Berpenampilan rapi bagi kaum adam  ini simple. Cukup ada baju yang bisa dipakai, yang penting selaras. Selesai. Tak perlu parfum dengan bau menyengat. Cukup wangi sabun mandi. Biar lebih sedikit rapi, rambut diolesi minyak secukupnya. Bila perlu pakai pomade. Biar sekali sisir bisa buat sampai sore. Jadi, tak perlu bawa sisir rambut di saku celana. Hahaha…

Beda dengan perempuan yang perlu peniti, bross, mix match hijab, apalagi kalau sudah mencoba mempraktekkan tutorial hijab yang diinstragram yang muter-muter pakainya. Setidaknya tergambar pada percakapan imajiner berikut.

”Kalau pakai baju ini rapi tidak yah?” Saya bilang, sudah rapi. Pas sama tema acaranya. Berpikir sejenak, lalu bilang. “Ah, nggak ah. Aku mau pakai baju biru dongker saja.” Setelah ditunggu cukup lama, eh, ternyata dia keluar dengan baju warna merah.

Dunia Tak Selamanya Syurga


Punya istri cantik. Segala keperluan dan kebutuhan dilayani. Ada yang mengingatkan ketika salah. Ada yang meringankan pekerjaan ketika kerepotan. Ada yang dengan penuh cinta memijat ketika badan pegel-pegel. Ada yang menyiapkan sarapan, mau berangkat kerja sudah ada yang menyiapkan baju. Ketika pulang kerja sudah ada yang menyambut dengan tatapan penuh cinta. Syurga bangetlah pokoknya. Apakah itu yang diimpikan para lelaki?

Halal kok punya impian seperti itu. Tapi ada satu rumus yang harus dipahami. Yang namanya harapan, biasanya tidak selalu sama dengan kenyataan. Hari-hari pertama memang syurga. Tapi lama-lama kembali ke dunia, karena hidup di dunia tidak selamanya syurga.

Riak-riak masalah akan hadir untuk menguji ketangguhan kita sebagai lelaki.  Mulai dari masalah kecil seperti satu dua piring-piring kotor yang menumpuk, yang ternyata tidak hanya piring tapi juga panci, wajan, bahkan sampai dandang. Ada lagi satu dua helai baju yang lama-lama menggunung. Belum lagi setelah kering, baju-baju itu kembali berteriak meminta segera diseterika.
Realitanya, keadaanlah yang  membuat anda sendiri yang harus mengerjakan itu semua. Jangan dulu bertanya, kemana istri anda? Tapi ada satu kondisi yang menuntut anda sendiri yang harus mengerjakannya. Apapun kondisinya.

Belum lagi ketika kehadiran anak-anak tercinta, yang membuat hidup jadi ada manis-manisnya gitu. Tugas anda sebagai suami sekaligus ayah harus menyiapkan semua keperluan sendiri bertambah. Mulai dari membeli sarapan, menyuapi, memandikan anak, menyiapkan keperluan anak sekolah, menyiapkan baju bahkan mengantar anak ke sekolah, sampai menjemput itu semua menjadi tugas anda.  

Lantas, jika semua itu terjadi pada anda, apakah akan membuat anda balik kanan? Tidak. Justru ini harus diteruskan, karena perjalanan anda akan jadi lebih menarik. Jangan berpikir untuk balik kanan. Lanjutkan saja terus. Jalani saja dengan penuh dengan cinta, karena bisa jadi itu adalah tiket kita menuju syurga.

Salam
Ali Irfan


Minggu, Maret 12, 2017

Tepatkah Selesi Masuk SD untuk Anak Lulusan TK?

Foto by Araf Hakim
Ada beberapa sekolah dasar yang menerapkan sistem ‘seleksi’ saat menerima pendaftaran murid baru. Sekolah-sekolah ini biasanya mendapat label sekolah favorit, punya segudang prestasi, memiliki ciri khas yang diunggulkan. Sekolah model ini juga biasanya banyak dicari-cari para orang tua. Mahal tak jadi soal, asal sebanding dengan kualitas yang dihasilkan. 
 
Mekanisme penerimaan siswa baru sekolah ini biasanya menjaring calon peserta didik sebanyak mungkin dengan batas waktu ditutupnya masa pendaftaran. Karena sudah dikenal sebagai sekolah berkualitas, hampir dipastikan peminatnya membludak. Dan ketika pendaftar melebihi kuota kelas, bisa dipastikan ada ‘seleksi’ dalam penerimaan baru.

Sengaja istilah seleksi ini saya beri tanda petik. Karena istilah ini sebenarnya tidak diperbolehkan seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2010. Namun pelaksanaannya masih saja ada sekolah-sekolah yang tutup mata atau kurang mengindahkan PP tersebut. Belakangan istilah ini mulai hilang, tapi muncul dengan istilah lain. ‘Seleksi’ ini biasanya diganti dengan observasi peserta didik baru, ada juga istilah penjaringan minat dan bakat anak, atau istilah lain yang jelas-jelas misinya sama, melakukan seleksi penjaringan untuk memenuhi jumlah siswa sesuai kuota.

Layaknya kompetisi kebanyakan, dalam proses seleksi pasti ada kriteria dan alat ukur tertentu untuk menentukan ‘pemenang’. Hasilnya pasti ada sejumlah pendaftar yang dinyatakan ‘gagal’. Sampai di sinilah, permasalahan itu mencuat ke permukaan dan menghadirkan pertanyaan-pertanyaan yang layak direnungkan.

Apakah sudah dipertimbangkan bagaimana perasaan orang tua ketika tiba masa pengumuman, anaknya dinyatakan ‘gagal’ bisa diterima di sekolah harapan?

Sudah terbayangkah bagaimana perasaan anak yang baru lulus TK menerima penolakan setelah sebelumnya berharap bisa belajar di sekolah unggulan?

Pertanyaan pun semakin mengerucut, tepatkah seleksi masuk sekolah dasar untuk anak yang baru lulus TK?

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, khususnya pada Pasal 69 dan Pasal 70 menegaskan tentang larangan seleksi untuk masuk usia Sekolah Dasar.

Coba perhatikan isi pasal 69 ayat (5) yang berbunyi, “Penerimaan peserta didik kelas 1 (satu) SD/MI atau bentuk lain yang sederajat tidak didasarkan pada hasil tes kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, atau bentuk tes lain.”

Dari sini sudah sangat jelas, bahwa penerimaan siswa baru untuk kelas 1 SD/MI tidak melalui serangkaian tes seleksi dalam bentuk apapun. Lantas bagaimana jika sekolah sudah terlanjur menerima jumlah pendaftar yang melebihi kuota?

Dalam pasal 70 ayat 1-3 dalam PP Nomor 17 Tahun 2010 menjelaskan jika jumlah calon peserta didik melebihi daya tampung satuan pendidikan, maka pemilihan peserta didik berdasarkan pada usia calon peserta didik dengan prioritas dari yang paling tua. Jika usia calon peserta didik sama, maka penentuan peserta didik didasarkan pada jarak tempat tinggal calon peserta didik yang paling dekat. Jika usia dan atau jarak tempat tinggal calon peserta didik sama, maka peserta didik yang mendaftar lebih awal diprioritaskan.

Dari penjelasan di atas kita pun sudah bisa menyimpulkan, bahwa seleksi dalam bentuk apapun untuk memasuki jenjang usia sekolah dasar tidaklah tepat.

Pengalaman saya menjadi pendidik, hampir setiap tahun, sering menyaksikan bagaimana seorang ibu dengan mata berkaca mengadu sekaligus kepada pihak sekolah agar anaknya bisa diterima, tidak jarang orangtua yang belum menerima kenyataan mempertanyakan validitas seleksi penerimaan siswa baru, karena hasil seleksi yang sifatnya tertutup. Bahkan sampai ada yang memanfaatkan kewenangan, jabatan, kedekatan relasi, atau ‘orang dalam’ untuk bisa meloloskan anaknya diterima di sekolah yang diinginkan.

Jadi, mulai sekarang tak perlu berbangga kalau sekolahnya sampai menolak murid, karena bisa jadi mereka yang tidak diterima memendam rasa kecewa. Lagipula, masih ada beberapa sekolah yang masih harus berjuang keras untuk mencari murid.

Menaklukkan Murid Hanya dalam Satu Menit



Sejak buku Hanya Satu Menit; anda bisa menaklukkan hati murid terbit, agenda Ali Irfan semakin padat. Akhir-akhir ini sering menerima undangan pelatihan dan bedah buku membagikan pengalamannya kepada kalangan guru. Belum lama ini, ia diundang untuk mengisi pelatihan di Tasikmalaya dan Bandung, Jawa Barat, pada pada 4-5 Maret 2017. Bahkan akhir Maret ini ia diundang untuk memotivasi guru-guru Daarul Qur’an School, sekolah asuhannya Ust. Yusuf Mansur.

“Ini buku kedua saya yang  mengisahkan pengalaman menjadi guru. Buku pertama saya berjudul B’right Teacher,” kata Ali Irfan saat ditemui Radar Tegal (8/3) di ruang kerjanya di SEMAI,  Buana Kids Building Lt2.

Irfan menyampaikan gagasan buku ini muncul karena masih banyak guru yang belum benar-benar memperhatikan menit-menit pertama ketika mengajar di kelas. Seolah semua berjalan otomatis. Tidak hanya itu, banyak guru juga kebingungan ketika pada menit-menit berikutnya mendapati murid-muridnya sudah tidak terkendali, sudah terlihat bosan, dan lelah belajar. “Guru yang kehabisan strategi mengondisikan kelas bisa dipastikan akan membuat kelas menjadi semakin membosankan,” ujarnya.

Selain mengubah mindset bagaimana menjadi guru kanan (kreatif, aktif, dan menyenangkan), buku setebal 204 halaman tersebut juga memuat 99 simulasi permainan paling mengesankan yang bisa dipakai pada menit-menit pertama pembelajaran, menit-menit pertengahan, maupun pada menit-menit terakhir. “Semua games tersebut sudah saya praktekkan dan terbukti powerfull mengembalikan otak anak ke dalam gelombang alfa, satu zona ketika anak siap kembali belajar,” ungkapnya.

Irfan menambahkan ada hal penting yang perlu dimiliki seorang guru sebelum benar-benar ingin menaklukkan hati murid. “Materi, strategi itu memang penting, tapi ada yang jauh lebih penting, yakni semangat guru dalam mendidik, yang menjadikan profesinya sebagai passion,” kata Irfan.
Saat ini, ayah dari Like Almaida Xaviera (4.5) dan Aliesha Laksmi Azkadina (2) sehari-harinya mengelola SEMAI sebagai Training Manager “SEMAI sendiri merupakan sebuah lembaga pelatihan yang bergerak di bidang parenting,” ujarnya.

Selain di SEMAI ia juga turut menjadi promotor PAUD Buana Kids dan SD Al Biruni, sekolah jenjang usia dini dan sekolah dasar yang menerapkan metode sentra dengan jumlah siswa maksimal 12. Dua lembaga pendidikan ini berada dalam naungan Yayasan Buana Kita yang beralamat di Jl. Raya Pacul No 59-61 di Kecamatan Talang – Kabupaten Tegal. “Melalui pendidikan dan pelatihan yang SEMAI selenggarakan, tujuan kami tidak lain menanamkan 18 sikap untuk menjadi pribadi berkarakter,” ujar pria kelahiran Tegal, 20 Februari 1985 ini.

Bersama tim SEMAI, kini Ali Irfan, tengah menyiapkan buku parenting. “Mohon doanya saja, tahun 2017 ini kami akan menerbitkan buku bertema parenting yang menitikberatkan pada penanaman 18 sikap melalui penggunaan bahasa,” ungkapnya.

Dimuat di Radar, Senin, 13 Maret 2017

Kamis, Maret 09, 2017

Sepertinya… kenapa?

Dok. Outbound Buana Edufest! (26/2)
Ini gila! Begitulah ekspresi saya ketika mendengar satu dua kalimat yang terujar dari anak-anak Buana Kids dan SD Al Biruni. Saya nyaris gagal paham, bagaimana bisa bahasa seperti itu terucap dari lisan seorang bocah?

Jawabannya ternyata dari penggunaan bahasa. Metode ini mendidik anak mengungkapkan perasaannya dengan bahasa yang baik. Bahasa Indonesia baku dan berpola. Sebagai contoh, ketika anak merasa penasaran dengan sesuatu, maka ia akan melontarkan pertanyaan dengan kata tanya 

“Kenapa?”

Kenapa ibu menangis?

Kenapa Ayah shalat di Masjid?

Kenapa anak laki-laki tidak pakai jilbab?”

Penggunaan kata kenapa itu secara alami muncul pada anak usia 3-4 tahun. Satu tingkat di bawah itu, anak-anak biasanya mengenal kata tanya “apa.” Apa ini, apa itu, ini apa?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut pastinya membutuhkan jawaban, dan ketika jawaban belum memuaskan, maka akan berlanjut ke pertanyaan lanjutan. Jadi, satu-satunya cara adalah memberikan jawaban yang dapat memuaskan rasa penasarannya, bukan mematikan bagian kritis anak.
Pada level yang sama, penggunaan berbahasa yang baik juga sangat erat kaitannya dengan pendidikan akhlak. Tentang adab. Tentang etika. Ini seperti pada kalimat, bolehkah?

Ayah, bolehkah Like pinjam bukunya ayah?

Bolehkah Like pinjam laptopnya ayah?

Apakah Like boleh pinja mainannya Echa?

Terdengar santun, bukan?

Selama ini kita sering abai dengan cara berbahasa kita yang cenderung tidak berpola. Mendidik anak menjadi beradab, ternyata bisa dimulai dari cara berbahasa kita sebagai orang tua dan pendidik. Nyaman terdengar ketika akhlak anak sudah terbentuk. Ketika bersalah, meminta maaf, ketika dimintai maaf harus memaafkan.

Lewat bahasa berpola ini pula kita bisa mengingatkan anak ketika melakukan hal-hal yang tidak semestinya. Ada sebuah batasan yang mesti kita pahamkan kepada anak, lalu dikuatkan dengan memberinya pijakan. Jika keluar dari batasan sekaligus pijakan, maka saat mengingatkan pun tidak to the point, tapi tetap dengan menggunakan bahasa yang tidak membuat perasaan anak tersakiti.
Satu contoh, ketika ada anak bermain di kantor guru, maka kita bisa mengingatkannya dengan cara begini, “Teman-teman, tempat bermain ada di ruang sebelah.”

Saat ada anak yang berdiri di atas kursi, kita bisa mengucapkan, “Sepertinya ada yang tidak menggunakan kursi sesuai fungsinya.”

Ketika anak tiba-tiba datang kemudian memotong pembicaraan orang tua dengan tamu misalnya, maka kita bisa menggunakan, “Zafira, ibu sedang bicara dengan tamu. Kalau Zafira ada perlu, nanti bisa setelah urusan ibu selesai ya,”

Ketika ingin mengingatkan anak yang makan sambil berdiri, maka kita bisa mengingatkannya dengan cara, “Sepertinya ada yang makan sambil berdiri.”


Selasa, Maret 07, 2017

Integritas


Kisah ini saya dapatkan dari mentor saya. Mungkin bagi anda yang pernah mendengar kisah ini, apa yang saya tuliskan tidaklah utuh. Tapi saya mencoba merangkainya secara garis besar.  Begini ceritanya,

Dalam sebuah jamuan makan malam. Beberapa orang melakukan sebuah perbincangan ringan dengan Jack Ma, raja property China. Dalam percakapan itu muncul sebuah pertanyaan, apakah ada property yang akan dijual?

“Saya ada satu hotel yang mau dijual. Jika anda mau, hotel itu akan saya lepas dengan harga 900ribu dolar,” begitu kata Jack Ma.

Hotel itu memang cukup dikenal. Calon pembeli paham benar gambaran detail hotel. Tanpa pikir panjang, ia menyanggupi untuk membeli hotel tersebut dengan harga Sembilan ratus ribu dolar.

“Oke. Saya beli hotel itu.” Ini beli hotel kayak beli kacang goreng ya, tidak pakai menawar. Hehehe...

“Deal?” tanya Jack Ma meyakinkan.

“Deal!”

Proses deal-dealan yang sedemikian cepat hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang memilki integritas tinggi. Setiap kata-kata yang terujar diperhitungkan. Namun, sedikit masalah terjadi kemudian hari. Hotel itu ternyata bukan milik seorang Jack Ma, sendirian. Ada pemegang saham lain, yang ternyata juga menawarkan ke relasinya. Baik Jack Ma maupun rekan pemegang saham itu saling tahu sama lain kalau hotel itu mau dijual.

Saat mau melakukan transaksi, sang pembeli bertemu dengan rekan Jack Ma, sang pemegang sebagian saham, menyampaikan kesiapannya untuk melakukan transaksi senilai 900ribu dolar. Begitu dia menyampaikan itu, dia agak terhentak, karena dia  juga baru saja mendapatkan calon pembeli yang siap membayar hotel dengan harga 1,2 M dolar.

“Saya belum bisa  putuskan, sebab ada calon pembeli yang siap dengan harga lebih tinggi dari anda.”

“Saya sudah deal dengan Jack Ma, sebaiknya silahkan bicarakan dengannya,”

Akhirnya, terjadilah pertemuan antara dua pemegang saham, ia menyampaikan kepada Jack Ma, bahwa ada calon pembeli yang siap membeli hotel dengan harga tinggi. “Jadi, bagaimana sebaiknya?”

Tahukah anda bagaimana jawaban Jack Ma?

“Saya sudah deal sama pembeli yang pertama dengan harga 900ribu dolar, tapi jika anda masih mengharapkan hotel itu dilepas dengan harga 1,2 M dollar, maka saya siap membayar kekurangannya, yang 300 juta dollar.”

***

Bayangkan, jika Jack Ma menerima tawaran harga yang lebih tinggi, pasti akan mengecewakan calon pembeli yanag pertama. Tapi, dia menjaga setiap kata-katanya. Dia jaga perasaan, agar orang lain tidak tersakiti. Inilah integritas. Luar biasanya ia menjaga perasaan teman, bahkan siap berkorban, dengan menyatakan siap membayar kekurangannya yang 300ribu dolar jika temannya masih mempertahankan harga 1,2 M dollar.

Tapi tahukah jawaban temannya itu?

“Saya menjaga pertemenan dengan anda. Saya percaya dengan integritas anda. Biarkan saya gagalkan calon pembeli yang 1,2 M dollar.” Belakangan saya baru menemukan, kalau kisah ini diambil dari sebuah buku biografinya Mochtar Riyadi. Cukup ambil saja pelajaran berharga dari kisah ini ya...

Mentalitas Menghadapi USBN