Senin, Desember 18, 2017

Raport Orang Tua



Penerimaan raport kemarin menyisakan cerita menarik. Bukan hanya cerita anak, tapi juga kisah bagaimana ayah ibunya dalam mendidik di rumah yang secara tidak langsung diceritakan anak. Anak terlambat, kira-kira lebih karena siapa? Anaknya atau orang tuanya? Kenapa anak belum siap masuk sekolah?  

Pernahkah terbayangkan satu adegan di sekolah, anak datang dengan perasaan kecewa, karena terlambat ke sekolah. Ia melewatkan satu kegiatan jurnal di awal pelajaran. Bahkan lebih sering datang di menit-menit akhir ketika teman-temannya sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya. karena merasa kegiatan jurnal harus ia kerjakan, begitu ia datang kemudian mengambil berkas jurnal dan berkata kepada gurunya,

“Aku mau jurnal.”

“Iya tapi waktu jurnal tinggal lima menit lagi.”

Coba bayangkan perasaan anak itu. Mendengarnya jadi terharu, secara tidak langsung ayah bundanya telah memupuskan harapan, karena bagi anak setiap momentum itu penting dan sebisa mungkin tidak ingin dilewatkan.

Ada juga satu kisah di setiap pagi, anaknya menangis karena masih kangen dengan ibunya. Ketika ditanya kenapa menangis? Jawabannya sungguh menyesakkan dada.

“Aku masih kangen sama umi,” jawabnya.

“Bukannya kamu tinggal satu rumah sama ibu? Kenapa merasa kangen?”

Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata waktu kebersamaan dengan ibunya yang merasa belum cukup. Mungkin secara fisik dekat, tapi tidak akrab. Pastinya sih tinggal serumah, hanya saja minim bahasa pelayanan, kurang bahasa kehadiran, kurang peka memahami kebutuhan anak, kurang sensitif membaca perasaan. Kalau sudah begitu, anak datang ke sekolah dengan jiwa-jiwa penuh kekosongan.
Sebagai orang tua kita mestinya ada di setiap momen-momen penting bagi anak. Luangkan waktu kita, tinggalkan aktivitas lain dan hadirkan diri kita seutuhnya untuk mereka. Momen pagi adalah salah satu momen penting untuk membersamai anak. Melalui aktivitas pagi kita bisa memberikan sepenuhnya perhatian kita kepada anak-anak untuk mempersiapkan berangkat sekolah, karena dengan begitu anak merasa dihargai.

Jangan sampai ada peristiwa setiap hari bertemu tapi kurang mendapatkan perhatian. Padahal anak-anak masih membutuhkan bantuan, bimbingan, simpati, dan cinta kita. Pemenuhan kebutuhan untuk dicintai dan mencintai ini, dimulai dengan adanya penerimaan perasaan. Menerima perasaan, menurut Septiani Murdiani, berarti mendengarkan, menerima, mengerti, dan menghargai anak. Imbas dari menerima perasaan ini, anak akan menerima dirinya sendiri secara utuh dan anak akan tumbuh menjadi percaya diri.

Percayalah momen membersamai anak-anak ini tidak akan pernah terulang. Mumpung mereka masih anak-anak. Manfaatkan kesempatan yang hanya diberikan sekali kepada kita sebagai orang tua. Kita bisa begitu fokus dengan amanah di pekerjaan maupun amanah yang memang kita ciptakan, tapi kenapa seringkali abai amanah yang Allah berikan untuk mendidik anak-anak? Bahkan sekedar untuk memberikan perhatian?

Oh ya, sudahkah kita menayakan perasaan anak-anak kita hari ini?

   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN