Penerimaan raport kemarin
menyisakan cerita menarik. Bukan hanya cerita anak, tapi juga kisah bagaimana ayah
ibunya dalam mendidik di rumah yang secara tidak langsung diceritakan anak. Anak
terlambat, kira-kira lebih karena siapa? Anaknya atau orang tuanya? Kenapa anak
belum siap masuk sekolah?
Pernahkah terbayangkan satu
adegan di sekolah, anak datang dengan perasaan kecewa, karena terlambat ke
sekolah. Ia melewatkan satu kegiatan jurnal di awal pelajaran. Bahkan lebih
sering datang di menit-menit akhir ketika teman-temannya sudah hampir
menyelesaikan pekerjaannya. karena merasa kegiatan jurnal harus ia kerjakan, begitu
ia datang kemudian mengambil berkas jurnal dan berkata kepada gurunya,
“Aku mau jurnal.”
“Iya tapi waktu jurnal tinggal
lima menit lagi.”
Coba bayangkan perasaan anak itu.
Mendengarnya jadi terharu, secara tidak langsung ayah bundanya telah memupuskan
harapan, karena bagi anak setiap momentum itu penting dan sebisa mungkin tidak
ingin dilewatkan.
Ada juga satu kisah di setiap
pagi, anaknya menangis karena masih kangen dengan ibunya. Ketika ditanya kenapa
menangis? Jawabannya sungguh menyesakkan dada.
“Aku masih kangen sama umi,”
jawabnya.
“Bukannya kamu tinggal satu rumah
sama ibu? Kenapa merasa kangen?”
Setelah ditelusuri lebih jauh,
ternyata waktu kebersamaan dengan ibunya yang merasa belum cukup. Mungkin
secara fisik dekat, tapi tidak akrab. Pastinya sih tinggal serumah, hanya saja minim
bahasa pelayanan, kurang bahasa kehadiran, kurang peka memahami kebutuhan anak,
kurang sensitif membaca perasaan. Kalau sudah begitu, anak datang ke sekolah
dengan jiwa-jiwa penuh kekosongan.
Sebagai orang tua kita mestinya
ada di setiap momen-momen penting bagi anak. Luangkan waktu kita, tinggalkan
aktivitas lain dan hadirkan diri kita seutuhnya untuk mereka. Momen pagi adalah
salah satu momen penting untuk membersamai anak. Melalui aktivitas pagi kita
bisa memberikan sepenuhnya perhatian kita kepada anak-anak untuk mempersiapkan
berangkat sekolah, karena dengan begitu anak merasa dihargai.
Jangan sampai ada peristiwa setiap
hari bertemu tapi kurang mendapatkan perhatian. Padahal anak-anak masih membutuhkan
bantuan, bimbingan, simpati, dan cinta kita. Pemenuhan kebutuhan untuk dicintai
dan mencintai ini, dimulai dengan adanya penerimaan perasaan. Menerima perasaan,
menurut Septiani Murdiani, berarti mendengarkan, menerima, mengerti, dan
menghargai anak. Imbas dari menerima perasaan ini, anak akan menerima dirinya
sendiri secara utuh dan anak akan tumbuh menjadi percaya diri.
Percayalah momen membersamai anak-anak
ini tidak akan pernah terulang. Mumpung mereka masih anak-anak. Manfaatkan kesempatan
yang hanya diberikan sekali kepada kita sebagai orang tua. Kita bisa begitu
fokus dengan amanah di pekerjaan maupun amanah yang memang kita ciptakan, tapi
kenapa seringkali abai amanah yang Allah berikan untuk mendidik anak-anak?
Bahkan sekedar untuk memberikan perhatian?
Oh ya, sudahkah kita menayakan
perasaan anak-anak kita hari ini?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar