sumber ilustrasi : selangkahlagi.com |
Pagi memang menyimpan begitu
banyak kisah menarik. Waktu ini menjadi begitu istimewa karena kita bisa
belajar banyak hal. Begitu banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dalam
waktu yang pendek mengajarkan kita perlu belajar klasifikasi waktu. Lebih-lebih
bagi orangtua yang punya anak usia dini. Pagi hari bisa menjadi momen
tepat untuk mengasah level kesabaran.
Tapi pemandangan sekaligus
pengalaman banyak orang tua mengesankan kita jauh dari sikap sabar. Masih
banyak orang tua yang buru-buru membangunkan anak. Ingin anak bergerak cepat
sesuai yang kita inginkan. Padahal anak begitu bangun pagi, tidak langsung jreng, mereka masih ingin malas-malasan.
Dengan semangat 45, kita memotivasi “Ayo, cepetan mandi!” Tidak cukup sampai
disitu, kita tambahkan lagi kalimat-kalimat suruhan yang lain,
“Segera dipakai bajunya. Jangan
lupa sisiran. Lalu pakai jilbabnya.”
“Ayo cepat dihabiskan sarapannya.”
“Jangan mainan terus. Segera
ambil helm dan siap-siap ke depan.”
Hasilnya pagi-pagi anak datang ke
sekolah dengan cemberut. Pagi-pagi sudah
membuat anak terluka. Waktu pagi yang semestinya diisi dengan kegiatan
menyenangkan, pikiran masih fresh! Tergantikan
dengan perintah-perintah yang membuat anak tidak merasa nyaman.
Seolah-olah itu masalah utamanya pada
si anak. Padahal bisa jadi masalah terbesarnya adalah pada kita sebagai orang
tua. Pengalaman seorang teman yang berprofesi sebagai guru di Kalimantan cukup
menyentak kita. Ada anak terlambat, lantas ia menegurnya, ”Kenapa kamu
terlambat?” Anak itu menangis. Sambil menahan isak tangis dengan polosnya ia
menjawab, “Aku sudah siap dari jam 6, tapi ayahnya belum bangun-bangun.”
Pagi-pagi sudah membuat terluka
anak. Atau jangan-jangan itulah kebiasaan kita di pagi hari yang lebih membuat
anak merasa tidak nyaman. Alibi kita sebagai orang tua, kita juga harus
berangkat kerja. Jangan sampai terlambat finger
di kantor. Bayangkan, jika seandainya orang tua punya kebiasaan bangun siang. Saya
jamin semuanya serba berantakan.
Ada lagi senjata yang biasa
digunakan orang tua saat membangunkan anak di pagi hari adalah,
“Nak bangun. Nanti sekolahnya
kesiangan.”
“Ayo, bangun biar sekolahnya
tidak terlambat.”
“Sudah jam setengah tujuh. Ayo
bangun. Kamu harus segera mandi, pakai baju, sarapan, lalu
siap-siap berangkat
sekolah.”
Tidak ada yang salah dengan cara
membangunkan anak di atas. Tapi cara itu lebih banyak gagalnya ketika
diterapkan. Mereka bukannya bergerak seperti yang kita inginkan, tapi malah
semakin tidak bergerak; diam di tempat. Sehingga amunisi tambahan siap
dimuntahkan. Ketika tidak bergerak juga, kata-kata berubah jadi lebih singkat. Intonasi
diucapkan dengan nada tinggi. Jika masih tidak bergerak, selain intonasi yang ditambahkan
menjadi lebih tinggi, ditambahkan pula dengan ekspresi marah kita. Lengkap
sudah cara membuat anak-anak kita terluka.
Padahal ada cara yang lebih
elegan. Anak bisa bangun pagi bisa dimulai ketika mereka akan beranjak tidur. Tidur
lebih awal maka bangun bisa lebih awal. Alasan tidur lebih awal bukan karena agar
tidak kesiangan. Tapi biar tidak shalat subuhnya tidak kesiangan. Kesepakatan
ini disampaikan di malam hari. Bisa juga dengan membuat pijakan,
“Nak, besok ayah harus piket jam
setengah tujuh di sekolah.”
“Berarti umi berangkat harus
lebih pagi ya…”
Biasanya anak akan bangun sendiri lebih pagi. Buat kesepakatan saat mau tidur bukan ketika mau berangkat sekolah. Kesepakatan sangat diperlukan anak karena itu bisa menghindari anak-anak protes. Saat anak mulai tidak konsisten kita ingatkan dengan kesepakatan yang telah kita buat bersama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar