Senin, September 12, 2016

Membangunkan Anak di Pagi Hari


sumber ilustrasi : selangkahlagi.com

Pagi memang menyimpan begitu banyak kisah menarik. Waktu ini menjadi begitu istimewa karena kita bisa belajar banyak hal. Begitu banyaknya pekerjaan yang harus diselesaikan dalam waktu yang pendek mengajarkan kita perlu belajar klasifikasi waktu. Lebih-lebih bagi orangtua yang punya anak usia dini. Pagi hari bisa menjadi momen tepat  untuk mengasah level kesabaran.

Tapi pemandangan sekaligus pengalaman banyak orang tua mengesankan kita jauh dari sikap sabar. Masih banyak orang tua yang buru-buru membangunkan anak. Ingin anak bergerak cepat sesuai yang kita inginkan. Padahal anak begitu bangun pagi, tidak langsung jreng, mereka masih ingin malas-malasan. Dengan semangat 45, kita memotivasi “Ayo, cepetan mandi!” Tidak cukup sampai disitu, kita tambahkan lagi kalimat-kalimat suruhan yang lain,

“Segera dipakai bajunya. Jangan lupa sisiran. Lalu pakai jilbabnya.”

“Ayo cepat dihabiskan sarapannya.”

“Jangan mainan terus. Segera ambil helm dan siap-siap ke depan.”

Hasilnya pagi-pagi anak datang ke sekolah dengan cemberut.  Pagi-pagi sudah membuat anak terluka. Waktu pagi yang semestinya diisi dengan kegiatan menyenangkan, pikiran masih fresh! Tergantikan dengan perintah-perintah yang membuat anak tidak merasa nyaman.

Seolah-olah itu masalah utamanya pada si anak. Padahal bisa jadi masalah terbesarnya adalah pada kita sebagai orang tua. Pengalaman seorang teman yang berprofesi sebagai guru di Kalimantan cukup menyentak kita. Ada anak terlambat, lantas ia menegurnya, ”Kenapa kamu terlambat?” Anak itu menangis. Sambil menahan isak tangis dengan polosnya ia menjawab, “Aku sudah siap dari jam 6, tapi ayahnya belum bangun-bangun.”

Pagi-pagi sudah membuat terluka anak. Atau jangan-jangan itulah kebiasaan kita di pagi hari yang lebih membuat anak merasa tidak nyaman. Alibi kita sebagai orang tua, kita juga harus berangkat kerja. Jangan sampai terlambat finger di kantor. Bayangkan, jika seandainya orang tua punya kebiasaan bangun siang. Saya jamin semuanya serba berantakan.

Ada lagi senjata yang biasa digunakan orang tua saat membangunkan anak di pagi hari adalah,

“Nak bangun. Nanti sekolahnya kesiangan.”

“Ayo, bangun biar sekolahnya tidak terlambat.”

“Sudah jam setengah tujuh. Ayo bangun. Kamu harus segera mandi, pakai baju, sarapan, lalu 
siap-siap berangkat sekolah.”

Tidak ada yang salah dengan cara membangunkan anak di atas. Tapi cara itu lebih banyak gagalnya ketika diterapkan. Mereka bukannya bergerak seperti yang kita inginkan, tapi malah semakin tidak bergerak; diam di tempat. Sehingga amunisi tambahan siap dimuntahkan. Ketika tidak bergerak juga, kata-kata berubah jadi lebih singkat. Intonasi diucapkan dengan nada tinggi. Jika masih tidak bergerak, selain intonasi yang ditambahkan menjadi lebih tinggi, ditambahkan pula dengan ekspresi marah kita. Lengkap sudah cara membuat anak-anak kita terluka.

Padahal ada cara yang lebih elegan. Anak bisa bangun pagi bisa dimulai ketika mereka akan beranjak tidur. Tidur lebih awal maka bangun bisa lebih awal. Alasan tidur lebih awal bukan karena agar tidak kesiangan. Tapi biar tidak shalat subuhnya tidak kesiangan. Kesepakatan ini disampaikan di malam hari. Bisa juga dengan membuat pijakan,

“Nak, besok ayah harus piket jam setengah tujuh di sekolah.”

“Berarti umi berangkat harus lebih pagi ya…”
 

Biasanya anak akan bangun sendiri lebih pagi. Buat kesepakatan saat mau tidur bukan ketika mau berangkat sekolah. Kesepakatan sangat diperlukan anak karena itu bisa menghindari anak-anak protes. Saat anak mulai tidak konsisten kita ingatkan dengan kesepakatan yang telah kita buat bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN