Senin, September 19, 2016

Bu Guru Marah karena Sayang



sumber ilustrasi ; https://muslimatoon.files.wordpress.com
Saya ingat, ada salah seorang guru menyampaikan kalimat ambigu kepada murid-muridnya. “Bu guru marah sama kalian karena sayang, karena perhatian sama kalian, karena cinta kalian.” Anak-anak terdiam. Beberapa terlihat tegang. Sebagian yang lain terlihat tenang. Butuh waktu panjang untuk mencerna kalimat yang disampaikan. Marah kok sayang? Marah kok cinta? Marah kok perhatian?

Dalam buku Bahasa Bunda, Bahasa Cinta kalimat di atas masuk kategori blokir komunikasi. Blokir komunikasi ini pernah diungkapkan DR Thomas Gordon pada tahun 1962. Secara keseluruhan blokir komunikasi dipilah menjadi 3 bagian yakni karena cinta, maka kita menghakimi, memberikan solusi, dan menghindari atau penolakan (Septiani Murdiani; 60-61)

Begitulah. Ternyata marah masih menjadi salah satu senjata andalan dalam mendidik. Entah bagi guru lebih-lebih orang tua. Padahal jelas-jelas Rasulullah melarang marah. Anak-anak PAUD pun hafal dengan hadits ini. Laa taghdob wa lakal jannah. Jangan marah bagimu syurga. Marah karena sayang, marah karena cinta, marah sebagai bentuk perhatian itu sejatinya tidak ada. Yang ada adalah sebentuk penyesalan terselubung dari yang marah agar sikap marahnya tidak menjadikan anak benci kepadanya.

Sekali kita marah itu akan membuat hati anak semakin tertutup, kemudian berbalik melakukan penolakan. Ada pepatah mengatakan, satu kali anda marah, maka anda akan punya peluang kehilangan 99 kebahagiaan.

Saya paham, maksudnya mungkin ingin menasehati, mengingatkan, meluruskan. Tetapi ketika dibahasakan dengan nada amarah bukannya sikap ramah yang kita dapatkan tapi justru sebaliknya. Apalagi yang kita hadapi adalah anak-anak usia  dini yang usianya dibawah 7 tahun.

Sebelum kita sampai pada marah, ada baiknya kita perbaiki kontrol diri kita. Menata hati kita. Mempositifkan pikiran kita. Marah itu karakter negatif yang sebaiknya kita kendalikan. Salah satu caranya dengan memperbaiki kualitas bahasa kita.

Al Qur’an sudah dengan sangat jelas mengajarkan kita berbahasa. Diantaranya adalah kita diminta untuk senantiasa berkomunikasi dengan benar (QS Annisa : 9), berkomunikasi dengan pantas (QS Al Ishra  : 28), berkomunikasi dengan kata- kata yang mulia (QS Al - Ishra : 23), berkomunkasi dengan lemah lembut (QS Thaha; 44), berbahasa yang menyedapkan hati (QS  Annisa : 8), memberikan ungkapan yang mengena (QS Annisa : 63), melunakkan suara (Q.S Lukman : 19), Merendahkan suara (Q.S Al Hujarat : 3)

Dan ini pernah terjadi pengalaman anak saya Like. Saat itu tidak biasanya Like kurang bisa diajak bekerjasama. Selesai mandi, bukannya segera memakai baju, Like malah asyik mainan. Sedemikian banyak kegiatan yang harus saya selesaikan membuat saya lepas kendali. Sampai akhirnya saya sampai pada satu pilihan yang sebenarnya tidak saya inginkan; meninggikan intonasi suara, bukannya melunakkan suara. Tapi respon Like  yang saat itu masih duduk di Play Group membuat saya mengurungkan niat untuk marah marah.

Dengan polosnya Like bilang, “Apakah ayah mau marah? Kata bu guru, kita tidak boleh marah. Laa taghdob walakal jannah. Jangan marah bagimu syurga.” Saya tak mampu berkata apa-apa lagi, kemudian langsung memeluk Like.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mentalitas Menghadapi USBN