sumber ilustrasi ; https://muslimatoon.files.wordpress.com |
Dalam buku Bahasa
Bunda, Bahasa Cinta kalimat di atas masuk kategori blokir komunikasi. Blokir
komunikasi ini pernah diungkapkan DR Thomas Gordon pada tahun 1962. Secara
keseluruhan blokir komunikasi dipilah menjadi 3 bagian yakni karena cinta, maka
kita menghakimi, memberikan solusi, dan menghindari atau penolakan (Septiani Murdiani; 60-61)
Begitulah. Ternyata marah masih
menjadi salah satu senjata andalan dalam mendidik. Entah bagi guru lebih-lebih orang
tua. Padahal jelas-jelas Rasulullah melarang marah. Anak-anak PAUD pun hafal
dengan hadits ini. Laa taghdob wa lakal
jannah. Jangan marah bagimu syurga. Marah karena sayang, marah karena cinta,
marah sebagai bentuk perhatian itu sejatinya tidak ada. Yang ada adalah
sebentuk penyesalan terselubung dari yang marah agar sikap marahnya tidak
menjadikan anak benci kepadanya.
Sekali kita marah itu akan
membuat hati anak semakin tertutup, kemudian berbalik melakukan penolakan. Ada
pepatah mengatakan, satu kali anda marah, maka anda akan punya peluang kehilangan
99 kebahagiaan.
Saya paham, maksudnya mungkin
ingin menasehati, mengingatkan, meluruskan. Tetapi ketika dibahasakan dengan nada
amarah bukannya sikap ramah yang kita dapatkan tapi justru sebaliknya. Apalagi
yang kita hadapi adalah anak-anak usia
dini yang usianya dibawah 7 tahun.
Sebelum kita sampai pada marah,
ada baiknya kita perbaiki kontrol diri kita. Menata hati kita. Mempositifkan
pikiran kita. Marah itu karakter negatif yang sebaiknya kita kendalikan. Salah
satu caranya dengan memperbaiki kualitas bahasa kita.
Al Qur’an sudah dengan sangat
jelas mengajarkan kita berbahasa. Diantaranya adalah kita diminta untuk senantiasa
berkomunikasi dengan benar (QS Annisa : 9), berkomunikasi
dengan pantas (QS
Al Ishra : 28), berkomunikasi dengan kata-
kata yang mulia (QS
Al - Ishra : 23), berkomunkasi dengan lemah
lembut (QS
Thaha; 44), berbahasa yang menyedapkan hati (QS Annisa : 8), memberikan ungkapan
yang mengena (QS
Annisa : 63), melunakkan suara (Q.S Lukman : 19), Merendahkan suara (Q.S Al Hujarat : 3)
Dan ini pernah terjadi
pengalaman anak saya Like. Saat itu tidak biasanya Like kurang bisa diajak
bekerjasama. Selesai mandi, bukannya segera memakai baju, Like malah asyik mainan.
Sedemikian banyak kegiatan yang harus saya selesaikan membuat saya lepas
kendali. Sampai akhirnya saya sampai pada satu pilihan yang sebenarnya tidak
saya inginkan; meninggikan intonasi suara, bukannya melunakkan suara. Tapi
respon Like yang saat itu masih duduk di
Play Group membuat saya mengurungkan niat untuk marah marah.
Dengan polosnya Like bilang, “Apakah ayah mau marah? Kata bu guru, kita tidak boleh marah. Laa taghdob walakal jannah. Jangan marah bagimu syurga.” Saya tak mampu berkata apa-apa lagi, kemudian langsung memeluk Like.
Dengan polosnya Like bilang, “Apakah ayah mau marah? Kata bu guru, kita tidak boleh marah. Laa taghdob walakal jannah. Jangan marah bagimu syurga.” Saya tak mampu berkata apa-apa lagi, kemudian langsung memeluk Like.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar