Selasa, September 13, 2016

Jangan-jangan Kita yang Masih Toddler

foto by : Araf Hakim

Yudhistira A Massardi (2002; 319) dalam Pendidikan Karakter dengan Metode Sentra memandang berbahasa sama dengan perilaku lainnya seperti berjalan, duduk, dan berlari. Perkembangan bahasa pada anak bukan saja dipengaruhi oleh kondisi biologis anak, tetapi lingkungan bahasa di sekitar anak sejak usia dini itu lebih penting.

Pendapat ini merujuk Lev Vygotsky yang menentang gagasan-gagasan Piaget tentang bahasa dan pemikiran. Bagi Piaget bahasa baru tampil ketika anak sudah mencapai perkembangan yang cukup maju. Padahal pada kenyataannya, kebanyakan anak diajari bahasa sejak usia yang sangat muda. Bahkan saat anak baru mengenal dunia. Vygotsky menawarkan suatu potret perkembangan manusia sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan dari kegiatan-kegiatan sosial budaya. Sang Mozart Psikologi ini menekankan bagaimana proses perkembangan mental seperti ingatan, perhatian, dan penalaran yang melibatkan pembelajaran yang menggunakan temuan-temuan masyarakat seperti bahasa, sistem matematika, dan alat-alat ingatan. Menurutnya, bahasa, bahkan dalam bentuknya yang paling awal, adalah berbasis sosial.

Mengingat pentingnya kemampuan berbahasa perlu dikenalkan sedini mungkin. Bisa kita lihat, sadar atau tidak, cara berbahasa sebagian masyarakat kita rata-rata masih bermasalah. Bahkan, ini terjadi tanpa disadari, karena dianggap lumrah, biasa, dan tidak dianggap sebagai masalah. Penggunaan bahasa yang tidak tepat, cara berbahasa yang salah ternyata menimbulkan masalah besar dalam menjalani kehidupannya.
Satu contoh adalah tentang resolusi konflik atau yang lebih kita kenal sebagai kemampuan menyelesaikan masalah. Masih banyak kita temukan orang dewasa ketika menghadapi masalah, masih belum bisa meredamnya dengan benar. Ketika marah, pelampiasan emosi yang diluapkan adalah menangis, melakukan serangan fisik seperti membanting pintu, dan melempar barang-barang pecah belah. Ketika tak mampu menguasai diri, dan tidak mampu mengungkapkan bahasa dengan baik, maka akan berlanjut dengan melakukan serangan verbal. Sehingga kata-kata yang keluar terdengar kasar, dan membuat orang yang mendengar merasa tidak nyaman. Diam adalah respon yang paling parah. Ini terjadi karena ada satu mata rantai yang terputus sejak masa pertumbuhannya. Ketika kecil tidak pernah dididik untuk mengungkapkan perasaannya. Jarang sekali diberikan kesempatan bicara.

Semua permasalahan di atas apalagi kalau bukan karena kemampuan berbahasa yang kurang terasah. Jika dirunut ke belakang, sebenarnya ada pengalaman masa lalu yang belum tuntas saat masa kecilnya. Ledakan egosentrisnya yang pada umur 1-2 tahun itu dikekang. Pada masa-masa itu anak sedang mulai pada tahapan sedang cerewet-cerewetnya, sering banyak bertanya, tapi tidak kita fasilitasi dengan baik. Kita cenderung memotongnya, bahkan mematikannya. Sehingga ketika ada orang dewasa, tapi belum bisa menguasai resolusi konflik, sama halnya levelnya seperti anak toddler {usia 1 – 2 tahun}. Maka jangan heran, saat di sekolah, guru memberikan kesempatan bertanya, tapi murid-murid lebih banyak diam, tidak memilki keberanian mengangkat tangan sebagai pertanda siap bertanya. Dampaknya anak tumbuh menjadi pribadi pemalu, ragu-ragu, pesimis, tidak memilki keberanian memutuskan, dan tidak memiliki kemampuan menyelesaikan masalah. Orang-orang yang memiliki karakter tersebut, dalam fase kehidupannya, dia tidak akan menjadi orang sukses.

Sebagai makhluk sosial, interaksi orang lain tidak terbantahkan. Kita tidak bisa menghindari itu. Kita tidak mungkin bisa hidup sendiri. Salah satu bagian paling penting dalam berinteraksi adalah berkomunikasi, dan berkomunikasi sangat dekat dengan cara berbahasa. Dan salah satu fungsi bahasa adalah sebagai media untuk mengatasi masalah saat konflik. Dan ini tidak terhindarkan, karena suatu saat dalam fase kehidupan seseorang pasti akan menghadapi masalah. Sementara masalah hadir bukan untuk dihindari, tapi untuk diberikan solusi. Masalah juga hadir sebagai upaya mendewasakan cara berpikir sekaligus bersikap seseorang.

Nah, salah satu upaya yang bisa kita perbaiki adalah dengan mengubah cara berbahasa. Cara yang dimaksud adalah dengan memberikan kesempatan anak-anak kita yang masih usia dini dengan berbicara, mengungkapkan sekaligus menyampaikan perasaannya, tidak memangkas apalagi mematikan. Mengungkapkan perasaan itu penting karena perasaan ibarat air yang harus terus menerus dialirkan. Jika tidak dialirkan, maka akan tersumbat, terbendung, dan ketika air tersumbat akan mencari jalan keluar sendiri. Perasaan yang tersumbat, dia akan mencari jalan keluar sendiri, yang jika tidak tepat bisa membahayakan kehidupannya.

Berbicara di sini tidak sekedar mengungkapkan isi hati dan perasaan semata, tapi juga dengan menggunakan bahasa yang berpola SPOK. Subjek, predikat, objek, dan keterangan. Bahasa yang terstruktur. Bahasa berpola ini bertujuan untuk menyampaikan fakta informasi secara utuh, tidak bias, dan tidak salah tafsir.

Inilah yang sehari-hari diterapkan di sekolah sentra yang kami kelola. Bahasa yang kami gunakan adalah bahasa yang terstruktur dengan menghindari 3M (Memarahi, Melarang, Menyuruh). Itulah bahasa yang sehari-hari kami pakai, baik bahasa terhadap sesama guru, guru terhadap murid atau murid terhadap guru, termasuk murid terhadap murid.

Sesuai tahap perkembangan anak, penggunaan bahasa yang berpola, akan membuat susunan sel saraf otak menjadi lebih terstruktur. Anak-anak yang terbiasa mendengar pola bahasa yang terstruktur, membuat mereka memiliki kemampuan bicara, mudah menyerap berbagai macam informasi, mudah mempelajari bahasa asing, gampang mengungkapkan perasaan, memiliki keberanian menyatakan pendapat, mempunyai kemampuan menyelesaikan masalah, dan yang paling membuat adem hati orang tua dan guru adalah anak-anak terlihat menjadi lebih santun.  

8 komentar:

  1. Imbasnya terhadap orang tua di rumah juga Pak, secara tidak langsung di rumah para orang tua juga ikut terbawa arus = berbahasa yang baik dan terstruktur. Itu yang saya rasakan, terimakasih para guru di Buana Kids.

    BalasHapus
  2. Bagus....sayang gak ber'nas' (tradisi ilmiah). Sudah sebut "para pakar perilaku..." tp siapa mereka?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih masukannya bu Mursita. Setelah saya baca lagi akhirnya ketemu juga pakar perilaku yang dimaksud. Silahkan bisa dibaca ulang, sudah saya edit.

      Hapus

Mentalitas Menghadapi USBN