Kamis, September 29, 2016

KELAS PERDANA SEMAI GELOMBANG #2, 7 OKTOBER

Suasana pelatihan Disiplin dengan Cinta bersama SEMAI
Sukses menyelenggarakan kelas perdana, dan mendapat respon positif dari peserta, dan atas banyaknya permintaan pula, SEMAI kembali membuka kesempatan untuk anda yang ingin tahu lebih mendalam teknik mendisiplinkan anak melalui penggunaan bahasa.

Pelatihan ini akan menjawab semua permasalahan seputar dunia parenting. Permasalahan seperti anak rewel, susah dinasehati, susah diatur, shalat dan belajar harus lebih dulu diperintah, bangun tidur dan persiapan pagi ke sekolah harus dikomando dan masih banyak permasalahan lainnya, insya Allah akan kami bahas sampai ke akar-akarnya.

Hasil penelitian SEMAI yang diselenggarakan pada Agustus-September, 90 % ORANG TUA ATAU GURU mendidik anak menggunakan pola-pola berbahasa  melarang, memerintah, dan menyuruh. Dan cara ini yang harus dihindari baik oleh orang tua maupun pendidik.

Investasi untuk pelatihan berdurasi 7 jam ini anda hanya perlu mengeluarkan100 ribu! Iya, seratus ribu untuk 7 jam, bukan 2 jam seperti di seminar-seminar yang diikuti ratusan peserta.

Kelas ini akan diselenggarakan pada:

Hari/ Tanggal      : Jumat, 7 Oktober 2016.
Waktu                  : Pukul 08.00-15.00 WIB
Tempat                : Semai Meeting Room Jl. Raya Pacul 59-61 Talang Kabupaten Tegal

Siapa yang harus ikut kelas ini?
·         Orang tua
·         Guru PAUD
·         Pengurus Yayasan
·         Orang yang konsen dengan dunia anak

Segera ambil keputusan untuk daftar dengan cara ketik

Daftar#Nama Lengkap #Semai Chapter 2 # Asal Lembaga
Contoh :  Daftar # Arifah Nurdiana #Semai Chapter 2 #TKIT KHADIJAH

Kirim via Whatsapp ke 0878 4858 7456 (Ali Irfan) / PIN BBM : D26DFE7B


APA KATA MEREKA SETELAH IKUT PELATIHAN INI?

“Saya banyak belajar bagaimana seroang guru berbicara dengan suara yang sangat lembut, tidak ngotot dan tidak perlu berteriak tapi anak tetap dalam kendali,”

Zaetun Ahyani, PAUD Bunayya

“Ketika mengamati cara guru menyampaikan bahasa kepada anak-anak, jujur saja saya sedih dan mau menangis. Karena saya merasa banyak sekali kesalahan saya dalam mendidik baik anak sendiri maupun anak-anak di sekolah. Alhamdulilah dapat ilmu bagaimaNa mengontrol emosi, berbahasa, anak-anak diajarkan bagaimana menghargai teman, bagaimana mengelola emosi mereka, diajarkan disiplin dengan cara yang menyenangkan.”

Laeli Muawaliyah, PAUD Mutiara Sahabat

“Memang luar biasa pentingnya menyampaikan informasi dengan bahasa berpola. Anak-anak jadi lebih banyak memperhatikan.”

Nur Ismiyati, PAUD Salimah

“Saya menemukan banyak kosakata baru. Setiap anak dihargai dengan ada bahasa. Guru dan Orang tua sepertinya perlu tahu ilmu ini.”

Arifah Nurdiana, TKIT Khadijah





Senin, September 26, 2016

Resume Seminar Mendidik Anak di Akhir Zaman Bersama Kiki Barkiah






Ini dia sekilas pendengaran seminar parenting Mendidik Anak di Akhir Zaman bersama Kiki Barkiah yang di Plaza Hotel 26 September kemarin.

Permasalahan anak-anak sekarang itu kompleks. Anak sekarang cepat sekali baligh, tapi aqil nya lambat. Padahal aqil mestinya bersamaan baligh. Aqil baligh itu  ketika mampu membedakan salah benar, membedakan baik buruk. 

Kiki Barkiah lebih pilih menyekolahkan kelima anaknya lewat homeschooling dengan dia sendiri sebagai gurunya.

Sekarang kita lihat kurikulum di sekolah. Kelas 4 disuruh hafal nama-nama organ manusia. Di Amerika tidak ada hafalan begitu. Tapi kenyataannya kita dijustifikasi masyarakat karena tidak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Anak-anak saya memang baca science tapi tidak pernah diujiankan.

Anak-anak bermasalah itu biasanya mereka kurang mendapatkan 3P. Perhatian, Pengakuan, Penghargaan.

Ibu-ibu yang banyak mengeluh, kurang daya juangnya akan berpengaruh dengan janinnya Bagaimana menyelesaikan masalah sebenarnya bisa dilihat dari anak-anak kita.

Cara pandang yang harus dibangun adalah anak itu investasi masa depan anak. Repot mengasuh sekarang iya. Tapi akan jauh lebih repot ketika anak sudah tidak mau bersama lagi, tidak mau mendengar nasehat kita lagi.

Kebanyakan kita hari ini terjebak pada definisi kecerdasan. Tergambarkan dari nilai dan prestasi. Model pendidikan kita yang bentuk evaluasinya adalah bagaimana anak bisa menjawab soal saat ujian. Masuk sekolah favorit. Definisi cerdas, raport bagus rangking OK. Padahal kecerdasan ga Cuma nilai tapi, anak-anak memiliki….

Kemampuan mendapat  informasi. Menyimpan informasi juga kecerdasan. Jurusan mesti sesuai dengan passion masing-masing. Kita terjebak cerdas itu kemampuan menghafal. Yang jauh lebih penting bagaimana mengolah informasi dan merespon informasi untuk diterapkan pada kontekstual kehidupan.

Kemampuan untuk beradaptasi lingkungan. Saat saya kuliah dulu, banyak yang bilang yang paling depan biasanya jadi dosen,  yang tengah-tengah jadi pekerja, karena pas-pasan. Yang di belakang IP ga bagus mau jadi pengusaha. Karena jadi dosen tidak bisa, jadi pekerja juga ga bisa. Ada banyak contoh terlihat, anak-anak yang dulu biasa saja, tapi punya kemampuan  komunikasi, manajerial mereka berprestasi,

Kemampuan untuk memecahkan masalah. Lepaskan bantuan demi bantuan untuk mereka menyelesaikan masalah. Bisa buat simulasi untuk menyelesaikan masalah.

Kemampuan bertindak efektif dan efisien untuk kemudian membuat sesuatu yang lebih baik dan efektif. Kadang anak menyelesaikan masalah sesuai kapsitasnya.

Kemampuan menciptakan hal yang baru. Anak yang tadinya nano-nano masuk sekolah yang tidak menghargai keunikan anak. Yang awalnya bentuk mereka shape, oval, lingkaran,  tapi ketika mereka lulus malah jadi kotak semua. Keluar bukannya oval yang cantik, lingkaran yang manis, tapi malah jadi kotak semua. Ada pembunuhan bibit-bibit potensi. Kita berkehendak sesuai potensi masing-masing.

Terinspirasi bagaimana seorang anak dihargai, ada ibu yang melihat anaknya mewarnai pohon dengan warna daun merah. Eh, dilarang. Ini namanya pembunuhan karakter. Ibunya saja yang belum tahu kalau di Amerika ada daun warna merah. Tidak melulu hijau. Biarkan anak belajar dengan bahan yang sama, tidak dikasih fasilitas yang membuatnya tidak punya ide baru.

Coba nonton national geographic. Untuk mempelajari satu masalah geographic saja menghhabiskan biaya besar untuk riset, padahal hanya akan ditulis dalam satu paragraph dalam literasi ilmu pengetahuan. Atau ditayangkan hanya dalam beberapa detik saja.

Kalau kita bisa berpikir seperti itu, luar biasa. Anak-anak biasakan punya ide. 0-7 tahun itu gathering data. Harus nya sudah memiliki bahan yang bermanfaat. Dia di grammar state. 7-14 punya kemampuan menganalisa, membandingkan dan mengolah data. Usia 14 tahun ke atas sudah bermanfaat untuk orang lain.

Setelah baca buku science, mestinya kita bisa mengenal kebesaran Allah. Bikin merasa amazing banget. Bikin kita taat dan tunduk kepada Allah. Bikin kita cerdas secara emosional

Bagaimana peradaban ini muncul. Ini yang dianalisis kalau belajar sejarah. Tapi di sekolah pada umumnya belajar sejarah yang dipelajari tanggal berapa, namanya siapa, raja keberapa, itu tidaklah penting. Buku resep masak aja tidak terpakai. Yang dibahas dalam sejarah, mestinya Bagaimana kejayaan itu bisa ada. Bagaimana  peradaban itu bisa hancur. Tujuan belajar itu agar punya kepekaan social, cerdas secara social dan bisa menemukan hikmah.

Setiap temuan bisa jadi lesson plan untuk diajarkan kepada anak-anak. Kita bisa bilang, 
“Anak-anak tadi di pom bensin ada  kran bocor belum ada yang benerin. Kalau semua orang membiarkan ada berapa banyak air yang terbuang sia-sia?

Di Kurikulim SDIT sendiri masih terjebak diknas dan kemenag. Belum ada pendidikan yang bisa menyiapkan anak 10 tahun bisa mukallaf, ikuti apa yang Allah dan Rasul perintahkan. Sami’na wa ata’na. Bukan pekerjaan gampang. Materi tarbiyah dikasih ke anak-anak jika dikemas dalam bahas anak-anak.

Bahasa sejak kita lahir adalah agar anak mencintai negeri akhirat. Belajar shirah, bagaimana asbabun nuzul.  Ternyata waktu kecil yang lebih didominan adalah pembahasan Allah dan Rasul. Anak saya yang remaja sedang tidak disibukkan seperti remaja pada umumnya, pacaran, kongkow-kongkow ga jelas. Di rumah kita desain bagaimana setiap komunikasi kita lebih menambah porsi  tentang umat.

Usia di 10 tahun kamu mau apa? Biar umi bisa mengarahkan pendidikan yang sesuai potensi kamu.

Mendidik anak yang mampu berbuat atas landasan ilmu iman. Biasakan pakai dalil sehingga apa manfaatnya bagimu, jangan dengan kekuatan. Apa kata Islam, apa kata rasul, sehingga tidak melakukan karena kebodohan.

Saat anak-anak ribut kemudian saya lerai dengan cara biasa. Anak-anak bilang, “What does Rasulullah says? Tahu tidak kata rasul, tidak beriman jika… (Sebagai orang tua harus banyak hafalan hadits)

Setiap kali bertemu dengan kemaksiatan. Anak saya tanya saja waktu jalan-jalan di Gua Sunyaragi ada model lagi difoto.  

“Teteh kalau sudah besar mau ga jadi fotomodel kayak gitu?”

“Ih, ga mau auratnya terbuka.”

Mendidik anak yang mampu untuk melakukan kedzoliman Harus dimulai bahkan sebelum anak kita lahir. Sidiq waktu kecil punya cita-cita ingin mengislamkan orang-orang non Muslim Amerika.

“Umi, aku ingin orang-orang Amerika masuk Islam karena aku.”

“Bisa! Kamu belajar sains. Karena mereka lebih mudah menerima ilmu pengetahuan”

Sesungguhnya diantara tanda-tanda kiamat… sedikit lelaki, bodoh, minim ilmu, banyak khamr, banyak kemaksiatan.

Anak-anak harus sudah  bisa disiapkan untuk menikah di usia muda. Supaya tidak kena korban zina, bisa disiapkan ketika gejolak syahwatnya sudah besar.  Anak-anak energinya harus dialihkan saat usia muda. Anak-anak yang tidak punya hobi, mereka sibuk pacaran, siapkan juga saat mulai kecil kita talent mapping, kemudian sibukkan di usia produktif, sisi dakwah juga di bangun. Allah, Rasul, Islam. Diajarin gambar, gambarnya bisa untuk dakwah.

Supaya tidak terjerumus dalam pergaulan yang aneh-aneh, sibukkan dengan aktivitas produktif. Nonton TV  boleh. Tapi… Terjadwal, konten terseleksi, dan sudah melakukan pekerjaan atau belajar ini itu. Misal kalau sudah bantu beres-beres, baru boleh nonton. Standar pagi, standar malam, kalau sudah selesai ini dan itu. “Oh iya belum ngaji, belum baca buku...”

Yang paling gampang kasih anak kasih saja gadget, masalah konten kenapa harus di atur, karena apa yang mereka lihat, mereka dengar itu jadi mereka. Tapi masalah berapa lama… Asal fitrah anak sudah terbentuk, Allah, Rasul, Islam sudah terjaga, masalah konten bisa ditangkis. Tapi jika fitrah tidak terjaga, bermasalah.

Wajar kalau sekarang ada fenomena Awkarin. Anak-anak kehilangan empati, karena diluar jadwal belajarnya habis dengan gadget. Anak-anak yang sering pegang gadget, lambat bicara. Boro-boro mau ngurus problematika umat. Ngurus sendiri saja masih belum bisa. Anak sebuah investasi, matikan gadget.

Mendidik anak agar tidak menjadi korban perzinahan harus ada kurikulumnya. Di Amerika ada undang-undang sebelum anak usia 12 tahun tidak boleh meninggalkan anak di rumah. Kalau ketahuan anak akan diambil Negara. Anak main diluar harus ditemani orang tua, kalau tidak diambil Negara.

Jika kita tidak punya pengaruh, pasti pengaruh ini pasti ada orang lain yang lebih berpengaruh. Entah guru, teman, atau lingkungan. Syukur kalau yang bisa kasih pengaruh guru yang bisa mengarahkan. Jika tidak…

Kalau anak rewel, rempong, ya kita sabar. kontrol emosi. Agar saat mereka dewasa masih mau dengar kita. Jangan sampai malas dengerin nasehat kita. Lama-lama jauh dari kita.

Bonding (ikatan orang tua dengan anak) harus dijaga, terutama anak perempuan harus sudah puas mendapat perhatian dari ayahnya. Biar kalau sudah dewasa tidak caper laki-laki lain.  Kalimat singkat yg penuh ketegasan masih perlu dibutuhkan.   

Kualitas pemuda harus ditingkatkan, karena akhir zaman perbandingan laki-laki dan perempuan  1 : 50. Pemuda lebih sedikit. Anak perempuan harus kita persiapkan agar bisa  menjadi istri yang baik, seorang ibu yang baik sekaligus guru buat anak-anaknya. Nilai Kalkulus A tidak menjamin menjadi istri yang baik. “I don’t want to be just anything, I just want to be a mom like you,” Shofiyah said. Shofiyah itu anaknya Teh Kiki Barkiah.

Punya anak fisik sekarang harus kuat. Karena di akhir zaman akan ada banyak pembunuhan. Ambil barang teman harus menjadi perhatian. Ada anak-anak nangis karena barangnya diambil teman harus jadi perhatian. 

Anak yang mencintai negeri akhirat memiliki tujuan hidup, memahami kebesaran Allah, taat dan tunduk kepada Allah dan mempersiapkan kematiannya…

Selasa, September 20, 2016

Ayah Bunda Dilarang Melarang!


Ketika hujan, naluri anak ingin merasakan bagaimana asyiknya bermain di bawah guyuran hujan, tapi kebanyakan orang tua tidak mengizinkan. Saat anak bermain air yang dicampur lumpur, banyak orang tua yang melarangnya, karena alasan kotor. Saat anak bermain tanpa memakai sandal, orang tua juga mengingatkan, agar anak pakai sandal.

Memang anak tidak jadi mengurungkan niatnya bermain hujan, tidak jadi bermain lumpur, dan dengan perasaan tidak nyaman, anak segera mengambil sandal. Padahal dari dalam hati anak menyimpan sebuah keyakinan, aku akan baik-baik saja melakukan semua kegiatanku!

Akhirnya apa yang terjadi? Ketika tumbuh dewasa kehidupannya bermasalah. Mereka menjadi pribadi yang plin plan. Tidak mudah mengambil keputusan. Tidak punya inisiatif. Naluri rasa ingin tahunya dimatikan. Setiap langkah anak dihentikan atas nama cinta. Setiap mau berinisiatif dimandekkan atas nama sayang. Imajinasinya distop atas nama perhatian.

Padahal anak bisa mengukur kemampuannya. Saat memanjat kursi atau meja, secara naluri anak sudah bisa mengukur diri mampu atau tidak memanjat. Demikian pula ketika akan turun tangga. Dia sejatinya sudah bisa mengukur sampai pada level aman tidaknya tangga itu untuk dipijak.
Saya ada kisah menarik tentang pengalaman putri saya. Di usianya yang belum dua tahun, Echa, sudah bisa berlari. Tapi ketika mendekati tangga, ia sudah bisa mengontrol gerakan dengan menghentikan langkahnya. Berdiri sejenak, kemudian jongkok sambil tangan dan kakinya meraba memastikan apakah bagian bawah aman untuk dipijak. Saya biarkan dia mengeksplorasi diri sesuai dengan kadar kemampuannya. Sampai akhirnya ketika melewati jalan yang sama, ia langsung turun dari tangga dengan penuh percaya diri.

Seringkali orang tua melihat dari sudut pandang orang dewasa. Alih-alih ingin membangun karakter, malah justru menghancurkannya.

Ketika kita melarang otomatis pesan yang disampaikan dalam kalimat larangan itu akan terblokir di batang otak. Informasi yang seharusnya  mereka dapatkan jadi terblokir. Dan ketika terus melakukan pelarangan, yang terjadi bukanlah membangun inisiatif tapi malah mematikannya. Mereka hanya mau bergerak ketika ada perintah.

Kata “jangan” tampil sebagai kosakata favorit dalam melarang. Kata ini biasanya diikuti dengan kata kerja yang maknanya negatif. Sementara bagi anak usia 0-7 tahun kata jangan itu abstrak. Otak mereka tidak bisa memproses. Akhirnya yang diproses itu kata yang ada pada bagian akhirnya. Jangan menangis. Maka yang ditangkap anak adalah menangis.

Otak anak dalam rentang waktu itu masih dalam proses perkembangan. Masih belum bisa membedakan mana benar mana salah. Informasi yang memuat kata jangan belum bisa dicerna di bawah usia 0-7 tahun yang disebut  Jean Piaget sebagai tahapan pra operasional. Dan baru mulai bisa dicerna pada usia tahapan operasional konkret di kisaran usia 7-11 tahun.

Lalu bagaimana dengan kata JANGAN dalam Al Qur’an? Ada baiknya anda bisa buka link http://sayangianak.com/ini-jawaban-dari-pelarangan-kata-jangan-dalam-pengasuhan-anak-dalam-al-quran/

Menghindari kata jangan, terutama pada anak usia dini, akan membuat anak kreatif, punya pilihan, punya inisiatif, dan melihat semua hal dalam sisi positifnya, termasuk memaknai ayat-ayat Allah. Dengan demikian, anak akan tidak memukul teman karena dalam Al Qur’an dikatakan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik (2:195)

Dengan meminimalisir kata jangan, anak diajarkan tidak sombong, karena Allah mengatakan “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu ialah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati (25:63)

Senin, September 19, 2016

Bu Guru Marah karena Sayang



sumber ilustrasi ; https://muslimatoon.files.wordpress.com
Saya ingat, ada salah seorang guru menyampaikan kalimat ambigu kepada murid-muridnya. “Bu guru marah sama kalian karena sayang, karena perhatian sama kalian, karena cinta kalian.” Anak-anak terdiam. Beberapa terlihat tegang. Sebagian yang lain terlihat tenang. Butuh waktu panjang untuk mencerna kalimat yang disampaikan. Marah kok sayang? Marah kok cinta? Marah kok perhatian?

Dalam buku Bahasa Bunda, Bahasa Cinta kalimat di atas masuk kategori blokir komunikasi. Blokir komunikasi ini pernah diungkapkan DR Thomas Gordon pada tahun 1962. Secara keseluruhan blokir komunikasi dipilah menjadi 3 bagian yakni karena cinta, maka kita menghakimi, memberikan solusi, dan menghindari atau penolakan (Septiani Murdiani; 60-61)

Begitulah. Ternyata marah masih menjadi salah satu senjata andalan dalam mendidik. Entah bagi guru lebih-lebih orang tua. Padahal jelas-jelas Rasulullah melarang marah. Anak-anak PAUD pun hafal dengan hadits ini. Laa taghdob wa lakal jannah. Jangan marah bagimu syurga. Marah karena sayang, marah karena cinta, marah sebagai bentuk perhatian itu sejatinya tidak ada. Yang ada adalah sebentuk penyesalan terselubung dari yang marah agar sikap marahnya tidak menjadikan anak benci kepadanya.

Sekali kita marah itu akan membuat hati anak semakin tertutup, kemudian berbalik melakukan penolakan. Ada pepatah mengatakan, satu kali anda marah, maka anda akan punya peluang kehilangan 99 kebahagiaan.

Saya paham, maksudnya mungkin ingin menasehati, mengingatkan, meluruskan. Tetapi ketika dibahasakan dengan nada amarah bukannya sikap ramah yang kita dapatkan tapi justru sebaliknya. Apalagi yang kita hadapi adalah anak-anak usia  dini yang usianya dibawah 7 tahun.

Sebelum kita sampai pada marah, ada baiknya kita perbaiki kontrol diri kita. Menata hati kita. Mempositifkan pikiran kita. Marah itu karakter negatif yang sebaiknya kita kendalikan. Salah satu caranya dengan memperbaiki kualitas bahasa kita.

Al Qur’an sudah dengan sangat jelas mengajarkan kita berbahasa. Diantaranya adalah kita diminta untuk senantiasa berkomunikasi dengan benar (QS Annisa : 9), berkomunikasi dengan pantas (QS Al Ishra  : 28), berkomunikasi dengan kata- kata yang mulia (QS Al - Ishra : 23), berkomunkasi dengan lemah lembut (QS Thaha; 44), berbahasa yang menyedapkan hati (QS  Annisa : 8), memberikan ungkapan yang mengena (QS Annisa : 63), melunakkan suara (Q.S Lukman : 19), Merendahkan suara (Q.S Al Hujarat : 3)

Dan ini pernah terjadi pengalaman anak saya Like. Saat itu tidak biasanya Like kurang bisa diajak bekerjasama. Selesai mandi, bukannya segera memakai baju, Like malah asyik mainan. Sedemikian banyak kegiatan yang harus saya selesaikan membuat saya lepas kendali. Sampai akhirnya saya sampai pada satu pilihan yang sebenarnya tidak saya inginkan; meninggikan intonasi suara, bukannya melunakkan suara. Tapi respon Like  yang saat itu masih duduk di Play Group membuat saya mengurungkan niat untuk marah marah.

Dengan polosnya Like bilang, “Apakah ayah mau marah? Kata bu guru, kita tidak boleh marah. Laa taghdob walakal jannah. Jangan marah bagimu syurga.” Saya tak mampu berkata apa-apa lagi, kemudian langsung memeluk Like.

Mentalitas Menghadapi USBN