Senin, Desember 18, 2017

Mengubah Anak Insiden Menjadi Anak Indent


Pernah terpikir tidak meminta sesuatu kepada Allah, satu permintaan yang tidak pernah Allah berikan kepada yang lain sebelumnya, tidak pula akan diberikan kepada yang selain kepada yang kita minta. Kalau saya, masih berusaha memantaskan diri untuk mencoba, karena ini dibolehkan bahkan pernah dialami oleh Nabi Zakaria ketika menarasikan ingin punya anak sementara rambutnya sudah senja.

Narasi melahirkan anak indent ini tentu menarik bagi semua kalangan. Terutama bagi pasangan muda yang sedang merencanakan punya anak. Namun bukan berarti menutup peluang bagi pasangan yang sudah banyak anak dan mendekati usia senja. “Tetap ada peluang memiliki anak indent,” kata Ustad Anwar Jufri saat sesi break.

Di sini saya tambah penasaran. Bagaimana caranya? Sayang obrolan kami terhenti, karena sesi break sudah selesai, dan saya harus melanjutkan memandu seminar sebagai moderator.
Selesai seminar, rasa penasaran saya semakin menggebu-gebu. Tersisa perntanyaan yang belum sempat terjawab, bagaimana caranya mengubah anak incident menjadi anak indent. Akhirnya saya buka lagi ayat dan hadits karena keduanya merupakan titik temu antara kita dengan generasi yang akan datang. Karena ayat dan hadits ini sangat memungkinkan 15 abad yang akan datang akan teriwayatkan kembali.

Salah satu hadits yang saya temukan berbunyi, “Setiap anak terlahir dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR Bukhari & Muslim).

Kunci keberhasilan mendidik anak itu pada orang tuanya. Ketika tidak menguatkan fitrah seorang anak, maka anak bisa melenceng dari fitrahnya sebagai seorang Muslim. Menikah bukanlah sekedar bersenang-senang dengan pasangan yang dihalalkan. Menikah itu gerbang awal membentuk keluarga. Dan dalam membangun keluarga pasangan harus sudah sepaket dalam hal visi. Ketika belum sepaket dengan pasangan kita dalam mendidik anak, bisa dipastikan ada masalah.

Cara paling sederhana mengubah incident menjadi anak indent harus dimulai dari kita sebagai orang tua. Mau atau tidak? Kalau mau, maka kita bisa masuk tahap berikutnya, cari ilmunya. Bisa mengikuti kegiatan parenting atau konsultas dengan konsultan. Lalu, komunikasikan dengan anak-anak yang ingin kita indent-kan. Bicarakan kepada anak kita akan narasi-narasi yang diharapkan. Dan yang tidak kalah penting adalah meminta maaf, jika selama ini ada fase-fase yang terlewat dan banyak kesalahan yang kita lakukan dalam mendidik anak. Kemudian dilanjutkan dengan mendesain kurikulum baru, mengisi kekosongan-kekosongan yang hilang. Dan hadirkan TRUST antara anak dengan orang tua. Sehingga komunikasi bakal lancar terjalin.

Perjalanan untuk mengubah narasi itu pasti akan panjang, dan butuh komitmen serta keistiqomahan. Menjadi pasangan halal saja tidak cukup. Tapi harus dirumuskan. Harus dinarasikan. Ingin menjadi keluarga produktif seperti apa yang diharapkan. Jadi tidak cukup hanya ingin punya anak saleh saja. Tapi menjadi saleh seperti siapa? Jabarkan detailnya.

Mari kita belajar dari gurunya Maryam, yang tidak lain adalah Nabi Zakariya. Sebagai muridnya Maryam selalu memberi kejutan dengan memberikan buah-buahan yang masak di pohon dan bukan pada musimnya. Sampai-sampai Nabi Zakariya ingin memiliki anak yang memiliki kemuliaan akhlak sebagaimana dimiliki Maryam. Padahal rambut Nabi Zakariya sudah beruban. Istrinya, yang tak lain adalah bibinya Maryam pun mandul. Tapi ia menarasikan keinginannya, sehingga pertolongan Allah pun terkabul. Dari rahim istrinya, lahirlah Nabi Yahya. 

Kisah ini seperti diabadikan dalam QS Maryam ayat 7. “Hai Zakaria, sesungguhnya Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (memperoleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.”

Anak Indent Vs Anak Insident



Ini adalah narasi yang teringat ketika saya jadi moderator di acara seminar keluarga dengan tema “Membangun Cinta dan Harmoni Keluarga di Jalan Dakwah” yang diselenggarakan oleh RKI (Rumah Keluarga Indonesia) di Grand Dian Hotel (4/12). Saat itu saya mendampingi sepaket pembicara yang merupakan suami istri, Ustad Anwar Jufri, Lc dan Ustazah Husni Anisah. Inilah yang narasi yang teringat itu…

Ada yang luput bahkan terlupakan sebagian besar dari kita, yakni tentang narasi keluarga.  Pernahkah kita menarasikan anak-anak yang kita lahirkan kelak seperti siapa? Apakah perangai dan akhlak anak-anak kita menyerupai Rasulullah dan para sahabat? Pernahkah menarasikan kita bisa melahirkan anak yang menjadi ulamanya para ulama, atau pengusahanya para pengusaha?

Satu narasi seperti yang terabadikan dalam QS Ali Imron 35. Ayat ini menampilkan kisah seorang ibu yang memunculkan narasi tentang anaknya, keunggulan, serta apa peran yang akan dijalani anaknya di masa depan. Yang menarik, narasi ini sudah disetujui oleh Allah SWT. Maryam lahir atas doanya Imron. Yahya lahir atas doanya Zakariya.

Nabi Ibrahim As pun memiliki narasi panjang sampai lahirnya Muhammad Saw lahir atas doa yang dinarasikannya. Maryam, Yahya, Muhammad Saw inilah yang disebut sebagai anak indent. Anak yang lahir atas doa, dan harapan mulia orang tuanya, maupun harapan orang-orang shaleh.

Tapi sayangnya, kebanyakan anak-anak kita lahir sebagai anak incident. Anak yang lahir tanpa perencanaan. Anak yang lahir tanpa narasi. Jika demikian, maka tidak mengherankan ketika dewasa ini ada begitu banyak orang tua yang merasa kebingungan dalam mendidik anak, ada begitu banyak anak bermasalah yang sedemikian kompleks. Kenapa ini bisa terjadi, karena anak-anak ini lahir tanpa narasi.

Mulai sekarang seriuslah membuat narasi kepada Allah. Dari doa-doa yang kita panjatkan, kita berharap Allah berkenan memberikan langsung 4 hal kepada kita tanpa perantara. Keempat hal itu adalah ilmu, keyakinan, akhlak mulia, dan ketrampilan. Kita berharap Allah memberikannya langsung. Satu permintaan yang belum pernah diberikan Allah kepada siapapun. Khusus hanya diberikan kepada kita dan tidak akan Allah berikan kepada yang lain selain kepada kita.

Bermain peran, menyenangkan anak-anak
Mulai saat ini seriuslah kita mengkaji pedoman yang kita yakini, Al Qur’an dan Hadits, karena keduanya menjadi titik temu antara kita dengan generasi yang akan datang. Bahkan tidak menutup kemungkinan 15 abad yang akan datang akan teriwayatkan kembali narasi-narasi yang kita catat saat ini.

Mulai detik ini juga marilah kita menjadi pasangan yang bersepakat untuk sepaketdalam merancang keluarga atas narasi-narasi yang kita inginkan untuk anak-anak kita. Ketika salah satu pasangan kita punya ide, maka kita membenarkan dan berusaha untuk membantu mewujudkannya.

“ANAK SAYA RANGKING BERAPA YA?”


Like Almaida Xaviera

Itu pertanyaan yang biasa dilontarkan keapda guru ketika penyerahan raport. Dan guru biasanya melaporkan nilai rata-rata kelasnya sekian, tertinggi nilainya sekian dan terendah sekian. Dan menerangkan bahwa posisi anak kita ada pada peringkat ke sekian.

Di Kurikulum 2013 ini mungkin agak berbeda. Karena di kurikulum 2013 nilainya lebih banyak narasi. Namun penilaian kurtilas pun agak kurang terasa “greget”nya. Karena yang menarasikan adalah sistem. Jadi sisi human touch nya kurang terasa. Cukup masukkan angka, maka langsung muncul narasi.

Namun saya mendapati penerimaan raport yang berbeda di sekolah tempat anak saya belajar; Sekolah Buana Kids. Total nyaris berbeda seperti penerimaan raport zaman dulu saya sekolah, maupun raport kurtilas yang dulu pernah saya garap selama masih menjadi guru.

Penerimaan Raport adalah momentum penting untuk melihat capaian perkembangan anak. Di beberapa sekolah, biasanya momen ini disampaikan untuk menyampaikan tidak hanya capaian perkembangan anak, tapi juga tentang informasi sekolah. Di tempat sekolah anak saya, penerimaan raport, tidak sekedar menyampaikan raport dari guru kelas ke wali murid, tapi melaporkan perkembangan anak selama satu semester.

Sistem penerimaan raport ini sifatnya individual, tidak klasikal. Jadi tidak ada orang tua antri menunggu giliran penyerahan raport, karena setiap orang tua diberikan waktu ‘konsultasi’ selama 30 menit dan sudah membuat jadwal lebih dulu. Jika di sekolah lain jadwal penyerahan raport hanya satu hari, di sekolah anak saya bisa satu minggu lebih.

Apa saja yang dilaporkan dalam kegiatan penerimaan raport ini? Guru menyampaikan perkembangan multiple intelligence meliputi kemampuan berbahasa, perkembangan sikap, dan juga perkembangan kemampuan motorik kasar maupun halus. Kemampuan mengklasifikasi termasuk juga tahapan perkembangan menggambar pun, juga dilaporkan secara detail berbasis porto folio jurnal anak.
Semua yang disampaikan merupakan aspek curriculum domain yang meliputi afeksi, kognisi, bahasa, fisik, social development, dan estetik.  Tidak cukup disampaikan secara lisan, laporan perkembangan ini juga dibuat secara tertulis.

Jadi jangan harap kita bisa menemukan nilai di raport anak-anak Sekolah Buana Kids, karena yang ada adalah deskripsi perkembangan anak yang dinarasikan. Ada juga sih yang centang, Deskripsi ini dinarasikan berbasis data observasi selama pembelajaran di kelas. Dan semua guru-guru di sini, harus memiliki kemampuan merekap sekaligus menarasikan. Menariknya semua ditulis tangan, bukan dari sebuah program computer, jadi penilaian lebih akurat, dan tetap ada nilai ‘human touch’ nya.


Raport Orang Tua



Penerimaan raport kemarin menyisakan cerita menarik. Bukan hanya cerita anak, tapi juga kisah bagaimana ayah ibunya dalam mendidik di rumah yang secara tidak langsung diceritakan anak. Anak terlambat, kira-kira lebih karena siapa? Anaknya atau orang tuanya? Kenapa anak belum siap masuk sekolah?  

Pernahkah terbayangkan satu adegan di sekolah, anak datang dengan perasaan kecewa, karena terlambat ke sekolah. Ia melewatkan satu kegiatan jurnal di awal pelajaran. Bahkan lebih sering datang di menit-menit akhir ketika teman-temannya sudah hampir menyelesaikan pekerjaannya. karena merasa kegiatan jurnal harus ia kerjakan, begitu ia datang kemudian mengambil berkas jurnal dan berkata kepada gurunya,

“Aku mau jurnal.”

“Iya tapi waktu jurnal tinggal lima menit lagi.”

Coba bayangkan perasaan anak itu. Mendengarnya jadi terharu, secara tidak langsung ayah bundanya telah memupuskan harapan, karena bagi anak setiap momentum itu penting dan sebisa mungkin tidak ingin dilewatkan.

Ada juga satu kisah di setiap pagi, anaknya menangis karena masih kangen dengan ibunya. Ketika ditanya kenapa menangis? Jawabannya sungguh menyesakkan dada.

“Aku masih kangen sama umi,” jawabnya.

“Bukannya kamu tinggal satu rumah sama ibu? Kenapa merasa kangen?”

Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata waktu kebersamaan dengan ibunya yang merasa belum cukup. Mungkin secara fisik dekat, tapi tidak akrab. Pastinya sih tinggal serumah, hanya saja minim bahasa pelayanan, kurang bahasa kehadiran, kurang peka memahami kebutuhan anak, kurang sensitif membaca perasaan. Kalau sudah begitu, anak datang ke sekolah dengan jiwa-jiwa penuh kekosongan.
Sebagai orang tua kita mestinya ada di setiap momen-momen penting bagi anak. Luangkan waktu kita, tinggalkan aktivitas lain dan hadirkan diri kita seutuhnya untuk mereka. Momen pagi adalah salah satu momen penting untuk membersamai anak. Melalui aktivitas pagi kita bisa memberikan sepenuhnya perhatian kita kepada anak-anak untuk mempersiapkan berangkat sekolah, karena dengan begitu anak merasa dihargai.

Jangan sampai ada peristiwa setiap hari bertemu tapi kurang mendapatkan perhatian. Padahal anak-anak masih membutuhkan bantuan, bimbingan, simpati, dan cinta kita. Pemenuhan kebutuhan untuk dicintai dan mencintai ini, dimulai dengan adanya penerimaan perasaan. Menerima perasaan, menurut Septiani Murdiani, berarti mendengarkan, menerima, mengerti, dan menghargai anak. Imbas dari menerima perasaan ini, anak akan menerima dirinya sendiri secara utuh dan anak akan tumbuh menjadi percaya diri.

Percayalah momen membersamai anak-anak ini tidak akan pernah terulang. Mumpung mereka masih anak-anak. Manfaatkan kesempatan yang hanya diberikan sekali kepada kita sebagai orang tua. Kita bisa begitu fokus dengan amanah di pekerjaan maupun amanah yang memang kita ciptakan, tapi kenapa seringkali abai amanah yang Allah berikan untuk mendidik anak-anak? Bahkan sekedar untuk memberikan perhatian?

Oh ya, sudahkah kita menayakan perasaan anak-anak kita hari ini?

   

Mentalitas Menghadapi USBN