Pernah terpikir tidak meminta sesuatu kepada Allah, satu permintaan yang tidak pernah Allah berikan kepada yang lain sebelumnya, tidak pula akan diberikan kepada yang selain kepada yang kita minta. Kalau saya, masih berusaha memantaskan diri untuk mencoba, karena ini dibolehkan bahkan pernah dialami oleh Nabi Zakaria ketika menarasikan ingin punya anak sementara rambutnya sudah senja.
Narasi melahirkan anak indent ini
tentu menarik bagi semua kalangan. Terutama bagi pasangan muda yang sedang merencanakan
punya anak. Namun bukan berarti menutup peluang bagi pasangan yang sudah banyak
anak dan mendekati usia senja. “Tetap ada peluang memiliki anak indent,” kata
Ustad Anwar Jufri saat sesi break.
Di sini saya tambah penasaran.
Bagaimana caranya? Sayang obrolan kami terhenti, karena sesi break sudah
selesai, dan saya harus melanjutkan memandu seminar sebagai moderator.
Selesai seminar, rasa penasaran
saya semakin menggebu-gebu. Tersisa perntanyaan yang belum sempat terjawab, bagaimana
caranya mengubah anak incident menjadi anak indent. Akhirnya saya buka lagi
ayat dan hadits karena keduanya merupakan titik temu antara kita dengan
generasi yang akan datang. Karena ayat dan hadits ini sangat memungkinkan 15
abad yang akan datang akan teriwayatkan kembali.
Salah satu hadits yang saya
temukan berbunyi, “Setiap anak terlahir
dalam keadaan fitrah (Islam), maka kedua orang tuanya lah yang menjadikannya
Yahudi, Nasrani, atau Majusi (HR Bukhari & Muslim).
Kunci keberhasilan mendidik anak
itu pada orang tuanya. Ketika tidak menguatkan fitrah seorang anak, maka anak
bisa melenceng dari fitrahnya sebagai seorang Muslim. Menikah bukanlah sekedar
bersenang-senang dengan pasangan yang dihalalkan. Menikah itu gerbang awal membentuk
keluarga. Dan dalam membangun keluarga pasangan harus sudah sepaket dalam hal
visi. Ketika belum sepaket dengan pasangan kita dalam mendidik anak, bisa
dipastikan ada masalah.
Cara paling sederhana mengubah
incident menjadi anak indent harus dimulai dari kita sebagai orang tua. Mau atau
tidak? Kalau mau, maka kita bisa masuk tahap berikutnya, cari ilmunya. Bisa
mengikuti kegiatan parenting atau konsultas dengan konsultan. Lalu,
komunikasikan dengan anak-anak yang ingin kita indent-kan. Bicarakan kepada
anak kita akan narasi-narasi yang diharapkan. Dan yang tidak kalah penting
adalah meminta maaf, jika selama ini ada fase-fase yang terlewat dan banyak
kesalahan yang kita lakukan dalam mendidik anak. Kemudian dilanjutkan dengan mendesain
kurikulum baru, mengisi kekosongan-kekosongan yang hilang. Dan hadirkan TRUST
antara anak dengan orang tua. Sehingga komunikasi bakal lancar terjalin.
Perjalanan untuk mengubah narasi
itu pasti akan panjang, dan butuh komitmen serta keistiqomahan. Menjadi
pasangan halal saja tidak cukup. Tapi harus dirumuskan. Harus dinarasikan.
Ingin menjadi keluarga produktif seperti apa yang diharapkan. Jadi tidak cukup
hanya ingin punya anak saleh saja. Tapi menjadi saleh seperti siapa? Jabarkan
detailnya.
Mari kita belajar dari gurunya
Maryam, yang tidak lain adalah Nabi Zakariya. Sebagai muridnya Maryam selalu
memberi kejutan dengan memberikan buah-buahan yang masak di pohon dan bukan
pada musimnya. Sampai-sampai Nabi Zakariya ingin memiliki anak yang memiliki
kemuliaan akhlak sebagaimana dimiliki Maryam. Padahal rambut Nabi Zakariya
sudah beruban. Istrinya, yang tak lain adalah bibinya Maryam pun mandul. Tapi
ia menarasikan keinginannya, sehingga pertolongan Allah pun terkabul. Dari
rahim istrinya, lahirlah Nabi Yahya.
Kisah ini seperti diabadikan dalam QS
Maryam ayat 7. “Hai Zakaria, sesungguhnya
Kami memberi kabar gembira kepadamu akan (memperoleh) seorang anak yang namanya
Yahya, yang sebelumnya Kami belum pernah menciptakan orang yang serupa dengan
dia.”