Sabtu, Desember 24, 2016

Tempat Asyik Menikmati Durian

Apa yang terbayang pertama kali ketika mendengar kata durian?
Tepat! Aroma wanginya!

Ada sensasi yang membahagiakan manakala melewati pedagang durian yang mangkal di pinggiran jalan. Menikmati wanginya adalah sebuah kesenangan tersendiri. Mencium aromanya saja sudah bikin bahagia, apalagi kalau langsung menikmati durian ya…

Bahkan durian itu ternyata menyimpan keunikan tersendiri. Ia mampu mengubah benci menjadi cinta. Lama tak jumpa menjadi rindu. Untuk ini sudah cukup banyak contoh, orang yang semula bencinya minta ampun dengan durian, setelah mencicipi durian justru malah jadi pecinta durian.


Dan saya salah satunya. Dulu, mencium aroma wanginya saja bikin kepala kliyengan. Namun ketika melihat bapak dengan lahapnya menyantap durian nyaris tanpa sisa membuat saya penasaran. Bahkan durian yang masih menempel di jari pun dilumatnya habis. Rasa penasaran saya semakin menjadi-jadi manakala satu buah durian bisa habis seorang diri. Seenak apa sih makan durian sampai sebegitunya? Akhirnya saya mencoba durian hanya seujung jari.

Dan ternyata wauw! Setelah mencoba mencicipi daging durian, saya langsung ketagihan ingin lagi, lagi, dan lagi! Sejak saat itu pula saya menjadi suka durian. Yang namanya cinta, pasti pernah pula dibuat kecewa. Iya, kecewa karena durian saat itu hanya bisa dinikmati ketika musim durian. Sudah begitu harganya yang relatif mahal membuat kantong jadi tidak bersahabat. Belum lagi saya seringkali kecewa ketika membeli buah durian, rasanya tak sekuat aroma wanginya. Parahnya sudah capek-capek mengupas, bahkan sampai kulit terluka terkena duri, ternyata duriannya tidak manis.

Saya bayangkan sepertinya enak ya kalau ada durian tinggal santap, tanpa harus mengupas, tanpa harus khawatir kulit terluka tertusuk duri. Sepertinya enak ya saya bisa menikmati durian seperti menikmati es krim. Sampai akhirnya saya menemukan satu tempat yang asyik untuk menikmati durian. Sebuah tempat yang benar-benar menjawab apa yang telah saya bayangkan. Tempat itu tidak lain adalah Kedai Durianlover.

Di sini saya bisa sepuasnya makan durian, dan tepat seperti yang saya bayangkan sebelumnya. Tinggal santap. Kedai Durianlover ini very recommended menjadi destinasi wisata kuliner bagi para pecinta durian. Di sini anda tak perlu repot-repot mengupas kulit durian, karena di Kedai Durianlover, menyediakan durian beku Medan siap santap dengan rasa yang sudah terjamin mantap. Kedai Durianlover juga menawarkan varian olahan durian seperti es cincau durian, es nyiur durian, dan pancake! Racikan menunya menawarkan rasa original. Nikmatnya durian bahkan sampai tak kenal musim.

Saat ini Kedai Durianlover menempati sebuah ruko di Jl. Srigunting 60. Anda penasaran, silahkan rasakan dan buktikan saja sendiri. Bisa buat ramai-ramai. Buka sampai jam sembilan malam.

KEDAI DURIANLOVER
Cara asyik menikmati durian.
Jl. Srigunting, 10 meter dari perempatan Jalan Sriti dan Jalan Merpati. Randugunting.
Buka mulai pukul 09.00 – 21.00 WIB
Menerima delivery order untuk area Tegal
Kontak Person : 081391873536

Jumat, Desember 09, 2016

Bukan Sekedar Trend, Bukan Pula Urusan Modis



Istri saya tercinta membelikan sepatu sandal baru untuk Echa. Usia si cantik hampir 2 tahun. Bentuk sandalnya menarik, modern, dan warnanya cerah, pokoknya kid minded! Dapat menarik siapa saja, tidak hanya anak tapi juga orang tua tak terkecuali ya istri saya itu. Dan dugaan saya benar, Like, sang kakak tertarik dengan sandal baru adiknya. Akhirnya Like meminta ijin untuk memakai sandal adik untuk dipakai ke sekolah. Tapi…  disinilah masalah itu terjadi.

Like tampak kerepotan saat hendak memakai sandal sepatu itu. Entah berapa lilitan yang melingkari pergelengan di area mata kaki sehingga butuh waktu banyak bagi si kakak untuk mengenakannya. Saat itu saya sudah siap-siap mengantar ke sekolah. Sudah siap tancap gas. Tinggal menunggu si kakak. Saya yang sudah menunggu cukup lama, akhirnya mulai bereaksi. “Ini sudah jam berapa? Kalau Like kerepotan bisa pakai sepatu yang biasa Like pakai.”

Model sandal itu ternyata terlalu merepotkan saat akan dipakai. Alih-alih tampil modis, kekinian, tapi justru mengabaikan hal prinsip yang bisa melatih kemandirian anak. Sandal itu ternyata tidak sesuai dengan tahap perkembangan kebutuhan anak. Bahkan dalam hati saya sempat berpikir yang tidak-tidak tentang anak saya. Tidak biasanya bisa selama ini hanya untuk urusan memakai sepatu. Hampir saja saya mengatakan kalau anak saya lambat, tidak sigap, kurang menguasai klasifikasi waktu, belum bisa menentukan prioritas, sungguh pikiran yang perlu dibuang jauh-jauh karena mengarah kita untuk tidak berpikir positif.

Karena keterdesakkan waktu yang sudah siang, akhirnya saya juga yang turun tangan membantu memakaikan sandal sepatu itu. Saat sampai di sekolah, ternyata Like merasa kesulitan juga untuk melepasnya. Saya pula yang bantu melepaskan. Akhirnya saya berkesimpulan bahwa sandal ini sangat tidak tepat buat anak. Karena tidak melatih kemandirian. Tidak efisien.

Kasus serupa juga pernah terjadi tapi dengan produk yang berbeda. Tas roda. Di sekolahnya, banyak teman-temannya mengenakan tas yang didesain seperti koper dengan roda di bagian bawah. Yang namanya anak-anak, mudah tergiur dengan apa yang dibawa teman seusianya. Karena tas yang sudah rusak juga resletingnya, uminya Like pun membelikan tas. Dan pilihan Like jatuh pada tas roda. Seperti punya teman-temannya. Apa yang salah dari model tas itu? Coba perhatikan baik-baik!

Roda dalam koper itu memang didesain untuk meringankan beban yang berat. Sementara fungsi tas itu digendong. Cara membawanya diseret. Coba kita kembalikan pada fakta atau fungsinya. Tas beroda itu untuk koper. Koper untuk membawa beban yang berat. Misal mau pergi ke luar negeri, naik pesawat, yang butuh bawa banyak barang, sangat dianjurkan pakai koper beroda. Lagian, apakah beban yang dibawa anak TK seberat itu, sehingga memerlukan roda? Tidak kan?

Dan saat naik motor pun Like merasa kerepotan mau diletakkan dimana tas roda itu. Akhirnya beberapa kali tas itu berada dipangkuannya, dan membuat tidak nyaman. Sampai akhirnya ia tidak mau pakai tas itu lagi. Dan lebih memilih tas gendong biasa yang lebih ringan dan mudah dicangkolkan di sepeda motor.

Satu lagi masalah baju. Kali ini memang murni kesalahan saya yang punya anggapan kalau baju bermerek itu bagus. Ternyata tidak demikian. Bajunya sih modis, branded, sayangnya tidak ramah anak. Bagaimana mau ramah, kancing baju usia anak 4 tahun letaknya di belakang. Orang dewasa saja pasti kerepotan jika model kancing atau resleting bajunya ada di belakang, apalagi anak-anak? Lebih menyedihkannya lagi ketika saya sendiri yang menyaksikan saat baju itu dibawa ke sekolah sebagai baju ganti. Selesai mandi, anak saya lama sekali memegangi baju itu, ternyata ia kebingungan cara memakai bajunya karena posisi kancing yang di belakang. Dari sini saya merasa bersalah!

Jangan memilih sesuatu untuk anak sesuai dengan persepsi kita. Tapi perlu dipandang juga dalam perspektif anak.  Baju atau sandal yang kita pilih itu ramah anak atau justru malah merepotkan anak atau bahkan merepotkan orang lain? Pertimbangannya tidak lagi sekedar urusan modis, lagi trend, tapi lebih kepada fungsinya. Lebih kepada  manfaat. Jauh dari itu adalah yang bisa membuat anak bisa berlatih mandiri sesuai tahap perkembangannya. 

Ketika anak kita tumbuh menjadi pribadi yang tidak mandiri anak juga kan yang repot nantinya. Ketika anak terbiasa dimudahkan, maka anak tidak akan memiliki daya juang. Ketika pada usia anak terbiasa dimudahkan segala urusannya maka kelak ketika anak besar tidak akan menjadi pribadi yang tangguh. Sedikit menemui kesulitan langsung mengeluh.
                                                                             

Kamis, Desember 08, 2016

Ketika Anak Bermasalah, Siapa yang Harus Diterapi?

Sebagai ayah atau ibu, mari kita mengevaluasi diri. Ada satu pertanyaan yang cukup merisaukan saya.  Ini sekaligus bisa menjawab rasa penasaran saya akan kebenaran tesis ini. Sebagian besar orang tua baru bereaksi ketika anaknya bermasalah. Lalu saya lemparkan pertanyaan kepada para peserta pelatihan, benarkah kebanyakan orang tua baru bergerak ketika anak-anaknya mulai bermasalah? Ternyata hampir sebagian besar orang peserta pelatihan menjawab, “Ya!”

Kemana orang tua saat anak-anak belum bermasalah? Deg! Skak Mat!  Pertanyaan ini seakan menjadi pukulan telak.

Anak terlambat bicara, terlambat jalan, anak masih belum mandiri, apa-apa maunya dilayani terus, anak tidak mau mengalah, dan masih banyak lagi masalah-masalah lain. Ketika anak bereaksi diluar dari yang orang tua harapkan, barulah kita mulai memberi label nakal untuk anak-anak kita.
“Anak saya kok ga mandiri-mandiri ya, maunya disuapin terus kalau makan,”
“Anak saya itu kalau permintaannya tidak dituruti, hobinya marah-marah.”
“Anak saya itu tidak pernah mau mendengarkan omongan saya sebagai ibunya.”

Lantas kita bereaksi dengan memarahi, karena tindakannya tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita melarang anak melakukan sesuatu yang kita anggap keliru. Padahal anak dengan imajinasinya yang tinggi bisa jadi punya gambaran-gambaran besar yang tidak diketahui kita sebagai orang tua. Tapi ketika dimarahi, maka runtuhlah imajinasi anak.

Ketika masalah-masalah itu muncul, maka orang tua mengambil tindakan bahwa anaknya perlu diterapi. Dalam arti lain yang bermasalah anak jadi yang diperbaiki adalah anaknya. Maka didatangilah psikolog, terapis, lalu dihadirkanlah guru les, guru ngaji untuk ‘memperbaiki kesalahan anak.’ Orang tuanya hanya sebagai penonton, menunggu hasil. Tapi sayangnya, semua pilihan itu tidak memberikan hasil maksimal sesuai harapan.

Kalau sebagian besar berpikir ketika anak bermasalah yang diterapi adalah anaknya, bagaimana kalau logika berpikir itu kita balik dengan melemparkan satu pertanyaan?  Siapa sebenarnya yang harus diterapi? Anaknya atau orang tuanya?

Bukankah anak yang bermasalah itu akibat dari pola asuh yang salah. Ketika kebutuhan dasar anak akan kasih sayang tidak terpenuhi, besar kemungkinan anak akan bermasalah. Ketika kebutuhan sensori motor anaknya tidak dipenuhi besar kemungkinan dia akan menjadi anak yang hiperaktif, karena mencoba memenuhi kebutuhan itu dengan caranya. Ketika anaknya pendiam bisa jadi karena interaksi komunikasi orang tua dengan anaknya sangat kurang.

Dan ini pernah terjadi pada salah satu ibu yang punya anak tapi omongannya tidak pernah didengar anaknya yang saat ini usianya sudah 3 tahunan. Setelah ditarik ke belakang, ternyata saat masih dalam kandungan, tidak pernah sekalipun anaknya diajak berbicara, tidak pernah disentuh, karena waktunya habis bekerja. Setelah melahirkan pun, momen kebersamaannya tidaklah lama, karena selesai cuti melahirkan sang ibu kembali bekerja. Yang membuat hati miris lagi, saat menyusui sekalipun, ya menyusui saja, tanpa mengajak bicara.

Ketika ditanya, kenapa tidak diajak bicara? Jawabannya bikin menyesakkan dada. “Tidak sempat…” Padahal anaknya ada diketiak ibunya.

Jika sudah demikian, maka yang layak untuk diterapi lebih dulu adalah orang tuanya, ketika ayah ibu sudah memiliki pola pengasuhan yang benar, otomatis akan mendidik anaknya dengan benar. Tapi selama ayah bunda tidak memiliki bekal ilmu parenting yang mencukupi, maka kesalahan-kesalahan yang semestinya tidak perlu terjadi, pasti terjadi, dan menjadi sebuah kesalahan kumulatif yang dampaknya akan dirasakan anak-anak, bahkan orang tua sendiri.

Salah satu pelatihan yang saya rekomendasikan adalah pelatihan penggunaan bahasa, Bagaimana mendidik tanpa melarang, tanpa memarahi, tanpa menyuruh. Dan pola ini yang hampir dilakukan oleh sebagian besar orang tua. Saking banyak para pelaku yang menerapkan 3M ini maka itu dianggap sebagai hal yang biasa, meski sebenarnya menyimpan banyak masalah.

Kenapa harus dimulai dari penggunaan bahasa?
Sederhana sekali, karena akar dari semua permasalahan bisa diselesaikan dengan bahasa.

Mentalitas Menghadapi USBN