Rabu, Februari 13, 2019

Mentalitas Menghadapi USBN


Belum lama ini saya berkesempatan mengisi kegiatan training motivasi anak-anak kelas VI di salah satu SD Negeri di Kota Tegal. Acara ini digagas untuk mempersiapkan mentalitas anak-anak menghadapi ujian nasional yang akan berlangsung pada 22-24 April 2019. Saat ini banyak sekolah dilanda kecemasan, karena selama ini pembelajaran yang diterapkan menggunakan Kurikulum 2013, tapi ujiannya KTSP.

Ada satu pernyataan yang perlu digarisbawahi dalam training tersebut, yakni tentang mempersiapkan mental.  Apakah training motivasi ini mampu menguatkan mental secara permanen? Tentu saja tidak! Saya kembali tegaskan di sini, tidak berdampak permanen terhadap kondisi mentalitas, ketika kegiatan pemberian motivasi dilakukan hanya ketika akan menghadapi ujian saja.

Mentalitas Anak
Penguatan mental itu justru perlu ditumbuhkan setiap hari, dan sangat baik ditumbuhkan sejak dini. Sehingga pada saatnya tiba anak lebih siap secara mental menghadapi ujian sekolah, termasuk ujian kehidupan. Mentalitas berasal dari asal kata mental. Mental dalam Kamus Besar Bahasa Indoesia adalah segala hal yang bersangkutan dengan batin dan watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Mentalitas sendiri punya arti keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan. 

Saat pelaksanaan training kemarin, saya mengamati mentalitas anak-anak kita cukup memprihatinkan. Banyak jiwa anak yang belum terbangun, nalar yang belum terasah, dan perasaan yang belum tersentuh. Mungkin ini penilaian subjektif saya, tapi kondisi ini tidak menutup kemungkinan mirip dengan fenomena gunung es. Saya terhenyak saat meminta anak-anak menuliskan keinginan, mereka kebingungan, tidak memiliki keberanian mengambil keputusan. Sekedar menuliskan keinginan saja tidak keluar, apalagi untuk mengungkapkan. Dari kondisi psikologis yang belum tuntas, kini mereka dituntut untuk siap menghadapi ujian nasional.

Padahal keberanian memilih dan keberanian mengambil keputusan adalah skill penting menghadapi kehidupan. Tanpa keduanya, mustahil keberhasilan akan diraih. Tidak memiliki keberanian memilih membuat anak menjadi tidak punya pilihan. Tidak memilki keberanian mengambil keputusan akan membuat anak menjadi seorang peragu. Adakah jatah bagi para peragu? Tetap ada, tapi sisa dari orang-orang yang yakin.  

Anak-anak kita belajar di Sekolah Dasar selama 6 tahun, mestinya sudah cukup mental menghadapi ujian nasional yang hanya berlangsung 3 hari. Kita tahu, ujian nasional yang saat ini masih diterapkan, memfokuskan pada menajamkan satu domain kognitif, sementara penumbuhan domain lain yang merupakan representasi dari penumbuhan jiwa, cara berpikir (akal), dan berperasaan belum menjadi perhatian, mungkin karena belum diujiankan.

Barangkali perlu mengubah paradigma tentang pendidikan. Jika selama ini pendidikan lebih diarahkan untuk melanjutkan pendidikan jenjang berikutnya atau mencetak tenaga kerja, harus kita ubah bahwa pendidikan adalah upaya untuk kembali memanusiakan manusia. Pendidikan bukan semata mendapatan nilai sebatas angka, melainkan nilai sebagai sebuah  value kehidupan.

Mentalitas Guru

Anak bermental baja tentu tidak lepas dari peran guru-gurunya dalam mendidik. Guru perlu membangun dan menguatkan kembali trust anak yang akan menghadapi ujian. Ketika trust ini tidak muncul, yang ada hanya distrust. Anak jadi minder, tidak punya semangat, tidak punya motivasi. Kunci membangun trust ini ada pada pemberian kasih sayang, dan juga perhatian baik dari para gurunya, karena sejatinya anak-anak tidak hanya butuh motivasi, tapi juga sentuhan-sentuhan untuk membuatnya lebih percaya diri menghadapi kenyataaan.

Persoalan mendasar lain yang diperlukan mereka adalah menumbuhkan lifeskills yang benar-benar diperlukan dalam menghadapi ujian. Focus and Self Control (Fokus dan Konsep Diri), Persepective Taking (Kemampuan melihat situasi dari berbagai sudut pandang), Communicating (Kemampuan meyampaikan), Making Connection (kemampuan menghubungkan satu hal dengan hal yang lain) adalah beberapa contoh lifeskill yang mestinya sudah melekat dalam anak. Ia semakin lengkap jika ditambah dengan skill Critical Thinking (Kemampuan berpikir kritis), Taking on Challenge (Berani mengambil tantangan), dan Self Directed & Engaged Learning (Arahan Diri, dan menjadi seorang pembelajar).

Ketujuh lifeskills ini akan tumbuh ketika para anak mendapat stimulus pendidikan yang baik dari para guru, dan tentu saja orangtuanya. Di sekolah yang kami kelola, 7 essential lifesekills ini ditumbuhkan dalam kegiatan pembelajaran yang menerapkan metode sentra. Setiap guru dituntut menguasai Tahap perkembangan Anak, menguasai bagaimana cara menumbuhkan kecerdasan jamak, memiliki kemampuan berbahasa yang efektif, memahami kerja otak, dan sebagainya. Sehingga dengan kemampuan ini, sekolah mampu menjadi tempat anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai tahap perkembangan usianya.

Penting dipahami bersama, sekolah itu menumbuhkan, sekolah itu memanusiakan. Sekolah yang memanusiakan tidak mempersiapkan anak menjadi robot, melainkan mempersiapkan mereka menjadi manusia. 

Artikel ini sudah dimuat Radar Tegal 11 Februari 2019

Mentalitas Menghadapi USBN