Belum lama ini saya berkesempatan
mengisi kegiatan training motivasi anak-anak kelas VI di salah satu SD Negeri di
Kota Tegal. Acara ini digagas untuk mempersiapkan mentalitas anak-anak
menghadapi ujian nasional yang akan berlangsung pada 22-24 April 2019. Saat ini
banyak sekolah dilanda kecemasan, karena selama ini pembelajaran yang
diterapkan menggunakan Kurikulum 2013, tapi ujiannya KTSP.
Ada satu pernyataan yang perlu
digarisbawahi dalam training tersebut, yakni tentang mempersiapkan mental. Apakah training motivasi ini mampu menguatkan
mental secara permanen? Tentu saja tidak! Saya kembali tegaskan di sini, tidak
berdampak permanen terhadap kondisi mentalitas, ketika kegiatan pemberian
motivasi dilakukan hanya ketika akan menghadapi ujian saja.
Mentalitas Anak
Penguatan mental itu justru perlu
ditumbuhkan setiap hari, dan sangat baik ditumbuhkan sejak dini. Sehingga pada
saatnya tiba anak lebih siap secara mental menghadapi ujian sekolah, termasuk
ujian kehidupan. Mentalitas berasal dari asal kata mental. Mental dalam Kamus
Besar Bahasa Indoesia adalah segala hal yang bersangkutan dengan batin dan
watak manusia, yang bukan bersifat badan atau tenaga. Mentalitas sendiri punya
arti keadaan dan aktivitas jiwa (batin), cara berpikir, dan berperasaan.
Saat pelaksanaan training
kemarin, saya mengamati mentalitas anak-anak kita cukup memprihatinkan. Banyak
jiwa anak yang belum terbangun, nalar yang belum terasah, dan perasaan yang
belum tersentuh. Mungkin ini penilaian subjektif saya, tapi kondisi ini tidak
menutup kemungkinan mirip dengan fenomena gunung es. Saya terhenyak saat
meminta anak-anak menuliskan keinginan, mereka kebingungan, tidak memiliki
keberanian mengambil keputusan. Sekedar menuliskan keinginan saja tidak keluar,
apalagi untuk mengungkapkan. Dari kondisi psikologis yang belum tuntas, kini
mereka dituntut untuk siap menghadapi ujian nasional.
Padahal keberanian memilih dan
keberanian mengambil keputusan adalah skill penting menghadapi kehidupan. Tanpa
keduanya, mustahil keberhasilan akan diraih. Tidak memiliki keberanian memilih
membuat anak menjadi tidak punya pilihan. Tidak memilki keberanian mengambil
keputusan akan membuat anak menjadi seorang peragu. Adakah jatah bagi para
peragu? Tetap ada, tapi sisa dari orang-orang yang yakin.
Anak-anak kita
belajar di Sekolah Dasar selama 6 tahun, mestinya sudah cukup mental menghadapi
ujian nasional yang hanya berlangsung 3 hari. Kita tahu, ujian nasional yang
saat ini masih diterapkan, memfokuskan pada menajamkan satu domain kognitif,
sementara penumbuhan domain lain yang merupakan representasi dari penumbuhan
jiwa, cara berpikir (akal), dan berperasaan belum menjadi perhatian, mungkin karena
belum diujiankan.
Barangkali perlu mengubah
paradigma tentang pendidikan. Jika selama ini pendidikan lebih diarahkan untuk
melanjutkan pendidikan jenjang berikutnya atau mencetak tenaga kerja, harus
kita ubah bahwa pendidikan adalah upaya untuk kembali memanusiakan manusia.
Pendidikan bukan semata mendapatan nilai sebatas angka, melainkan nilai sebagai
sebuah value kehidupan.
Mentalitas Guru
Anak bermental baja tentu tidak
lepas dari peran guru-gurunya dalam mendidik. Guru perlu membangun dan menguatkan
kembali trust anak yang akan menghadapi ujian. Ketika trust ini tidak muncul,
yang ada hanya distrust. Anak jadi minder, tidak punya semangat, tidak punya
motivasi. Kunci membangun trust ini ada pada pemberian kasih sayang, dan juga
perhatian baik dari para gurunya, karena sejatinya anak-anak tidak hanya butuh
motivasi, tapi juga sentuhan-sentuhan untuk membuatnya lebih percaya diri
menghadapi kenyataaan.
Persoalan mendasar lain yang
diperlukan mereka adalah menumbuhkan lifeskills yang benar-benar diperlukan
dalam menghadapi ujian. Focus and Self
Control (Fokus dan Konsep Diri), Persepective
Taking (Kemampuan melihat situasi dari berbagai sudut pandang), Communicating (Kemampuan meyampaikan), Making Connection (kemampuan
menghubungkan satu hal dengan hal yang lain) adalah beberapa contoh lifeskill
yang mestinya sudah melekat dalam anak. Ia semakin lengkap jika ditambah dengan
skill Critical Thinking (Kemampuan
berpikir kritis), Taking on Challenge (Berani mengambil tantangan), dan Self Directed & Engaged Learning (Arahan
Diri, dan menjadi seorang pembelajar).
Ketujuh lifeskills ini akan
tumbuh ketika para anak mendapat stimulus pendidikan yang baik dari para guru,
dan tentu saja orangtuanya. Di sekolah yang kami kelola, 7 essential
lifesekills ini ditumbuhkan dalam kegiatan pembelajaran yang menerapkan metode
sentra. Setiap guru dituntut menguasai Tahap perkembangan Anak, menguasai
bagaimana cara menumbuhkan kecerdasan jamak, memiliki kemampuan berbahasa yang
efektif, memahami kerja otak, dan sebagainya. Sehingga dengan kemampuan ini, sekolah
mampu menjadi tempat anak-anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai tahap
perkembangan usianya.
Penting dipahami
bersama, sekolah itu menumbuhkan, sekolah itu memanusiakan. Sekolah yang
memanusiakan tidak mempersiapkan anak menjadi robot, melainkan mempersiapkan
mereka menjadi manusia.
Artikel ini sudah dimuat Radar Tegal 11 Februari 2019